Galih tak menjelaskan lebih lanjut, hanya meminta Adel untuk ikut tanpa menerima penolakan. Perempuan itu mengalah, membiarkan sang dokter menarik paksa tubuhnya bangkit dari kasur. Bahkan lelaki itu pula yang menyarungkan sepatu di kedua kaki Adel. Membawanya setengah berlari menuju mobil yang terparkir sembarangan.
Adel mencoba menerka, separah apa sakit yang diderita Arzan hingga Galih membawa mobilnya dalam kecepatan tak biasa. Bergulat dengan pikiran sendiri tentu hanya akan menciptakan berbagai kemungkinan buruk. Itu pula yang terjadi pada Adel.
Bagaimana jika Arzan tengah berjuang melawan penyakit mematikan yang tidak bisa disembuhkan? Oh, Adel akan mati dalam penyesalan. Belum meluruskan permasalahan di antara mereka. Belum pula menjelaskan rasa yang ada.
Serta sekian bagaimana yang jika dibiarkan akan semakin memenuhi isi kepala Adel. Perempuan itu benci dengan cara berpikirnya. Begitu sulit memikirkan hal baik. Terlebih lagi jika melihat ekspresi tegang Galih yang mustahil dibuat-buat.
“Galih, hati-hati!” Adel menjerit histeris saat mobil yang dikendarai Galih nyaris menyerempet seorang pengguna jalan.
Lelaki itu menginjak rem. Keningnya berkeringat. Adel mengulurkan botol air mineral yang memang selalu tersedia di mobil lelaki tersebut. Galih meneguknya cepat, kening lelaki itu basah oleh peluh. Adel menghela napas panjang.
“Kamu tenangkan diri dulu. Biar aku yang minta maaf.” Adel menepuk bahu Galih pelan sebelum beranjak pergi.
Adel sengaja berlama-lama di luar, membiarkan Galih menikmati waktunya. Setidaknya lelaki itu harus menenangkan pikirannya jika ingin mereka sampai dengan selamat di rumah sakit. Sementara ia pun melakukan hal yang sama. Baru beberapa waktu berlalu sejak ia mendengar kabar paling mengejutkan. Belum tahu hendak berbagi dengan siapa.
Bukan bagaimana pendapat orang lain tentang Aisha yang menjadi beban pikiran Adel. Melainkan, siapa yang percaya pada kebenaran ini? Siapa yang bisa membuktikan bahwa apa yang ia katakan tak sekedar omong kosong?
Aisha adalah sosok sempurna. Bahkan setelah aksi pengkhianatan dan perceraiannya pun Aisha masih tetap dipuja-puja. Perempuan itu usai menangisi kepergian calon buah hati dan Fathan, masih tetap bersinar seperti biasa.
Karena orang yang akan menjadi topik pembicaraan Adel adalah Aisha yang sempurna, semuanya terasa mustahil. Kebenaran pun bisa berubah menjadi tak berarti. Adel sungguh ingin menutup mata. Tapi itu kejahatan!
“Del! Ayo!” teriakan Galih mengambil alih fokus Adel.
Setengah berlari perempuan itu kembali ke mobil. Galih terlihat sudah lebih tenang, meski pucat masih membayang di wajah tampannya. Adel tak berani bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada Arzan
Mereka tiba di pelataran rumah sakit tak sampai lima belas menit. Kejadian paska nyaris menabrak seseorang rupanya tak membuat Galih mengubah caranya mengendarai mobil. Sekarang bukan hanya wajah dokter itu saja yang pucat, Adel pun sama saja.
Jantung perempuan itu berdebar kencang akibat ketakutan-ketakutan yang kian membayangi. Beberapa kali ia nyaris tersandung kakinya sendiri akibat mengimbangi langkah Galih yang lebar dan cepat. Galih baru menyadari jika Adel kesulitan mengikuti langkahnya usai tak sengaja memergoki perempuan itu memegang lututnya.
“Maaf, pikiranku kacau.” Galih mengulurkan tangan, membimbing Adel berjalan di sisinya. Langkah lelaki itu diperlambat.
“Aku juga.” Adel jujur. Tak ingin berbohong lagi pada Galih jika rasa takut menyelimutinya. Setidaknya Galih harus tahu, Adel tak benar-benar membenci Arzan. Ia hanya membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyambut Hari Esok
RomanceAdelia tak pernah menduga bahwa pernikahannya yang tinggal menghitung hari terpaksa berakhir karena calon suaminya tertangkap basah menghamili kakaknya. Dalam luka yang tak berkesudahan, Adelia terjebak dalam rasa yang rumit pada Arzan, lelaki yang...