“Kamu pasti sering mendengar kalimat ini. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Sebenarnya, tidak ada seorang pun yang ingin dipisahkan satu dengan lain. Hanya saja, ini bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan. Del, aku ingin kamu menjadi perempuan yang kuat.”
Adel melempar tasnya sembarang arah, kemudian menjatuhkan tubuh ke atas kasur. Memejamkan mata sembari menghirup udara sebanyak mungkin. Kalimat Arzan sebelum mereka kembali ke cafe terus terngiang.
Arzan serupa teka-teki. Terkadang lelaki itu membuatnya tertawa lepas hingga lupa akan masalah pelik yang menimpa. Lalu tak jarang pula membuat Adel bertanya-tanya dan menerka. Apa yang tengah disembunyikan Arzan.
Banyak hal aneh yang mengundang tanya. Adel terlalu abai sebab fokus pada luka-luka yang hendak disembuhkan. Ada kala Arzan memberi isyarat jika pertemuan mereka hanya sebatas pertemuan tanpa kelanjutan. Sewaktu-waktu terasa pula jika lelaki itu menginginkannya.
Ada masa-masa di mana Arzan terlihat tak nyata baginya. Layaknya dunia mimpi, lelaki datang dengan secercah harap. Mengembalikan warna-warni hidup Adel yang sempat pudar. Menciptakan benih-benih rasa tak terduga.
Bukan Adel tak menyadari, ia mulai terbiasa dengan kehadiran lelaki itu. Lalu sampai pula pada pemikiran untuk membentengi diri guna menghindari jatuh pada luka yang serupa.
Perihal perasaan, memang sulit dikendalikan. Ia merasa nyaman dengan kehadiran Arzan, namun hanya ingin sebatas itu saja. Terlalu dini untuk mengembangkan rasa sedang hatinya masih bergejolak. Belum mampu menentukan pilihan.
Rintik hujan di luar sana membuyarkan lamunan Adel. Sigap ia berlari menuju jendela, menyibak gorden dan memandangi langit yang tengah menumpahkan isinya.
Adel membuka jendela, membiarkan angin menelusup masuk. Sementara ia menadahkan tangan, menampung bulir-bulir air langit. Perempuan itu menatap jalanan yang mulai basah, juga orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri dari tetes hujan.
Perempuan itu lantas kembali ke pembaringan. Memainkan ponsel tanpa minat, lantas tertawa ketika teringat sesuatu. Baik dirinya maupun Arzan tak memiliki nomor telepon satu sama lain. Benar-benar hubungan yang aneh.
Sebuah pesan masuk. Dari Galih.
“Adel, maaf tadi lupa bilang kalau aku nggak bisa nemenin kamu. Tapi berkat itu kamu jadi bisa menghabiskan waktu berdua dengan Arzan, kan?”
Adel memutar bola mata kesal. Melempar ponselnya hingga tersuruk di bawah selimut. Dokter muda yang satu ini juga tak ada bedanya dengan Arzan. Datang tiba-tiba dan langsung akrab begitu saja.
“Kamu di mana? Aku traktir makan malam tapi jemput, ya?”
Tak sampai lima belas menit usai pesan tersebut sukses dikirim, lelaki itu tiba di depan rumahnya. Seperti biasanya, masih dalam balutan seragam kesayangan. Adel mulai berpikir apakah dokter ini tak memiliki pakaian selain jas putih itu.
“Makan di restoran mana?” tanya Galih begitu Adel masuk ke dalam mobil.
Adel tertawa. “Aku ini pengangguran. Kita makan di tempat murah saja. Aku tahu tempat yang bagus.”
Galih mengendalikan mobilnya dalam kecepatan sedang. Jalanan tak seramai biasa, barangkali efek hujan. Adel turut bersenandung mengikuti alunan lagu yang diputar Galih. Terkadang kepala dan tubuhnya bergerak sesuai irama.
“Apa yang terjadi tadi? Kelihatan kamu senang sekali?” Galih penasaran.
“Apa Arzan berencana pergi jauh?” Adel mengabaikan pertanyaan Galih dengan mengajukan pertanyaan lain.
Galih menghela napas, mengetuk jari telunjuk pada kemudi. Sedang sepasang bola matanya bergerak gelisah. Memupuk kecurigaan dalam benak Adel.
“Dia bicara tentang perpisahan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyambut Hari Esok
RomanceAdelia tak pernah menduga bahwa pernikahannya yang tinggal menghitung hari terpaksa berakhir karena calon suaminya tertangkap basah menghamili kakaknya. Dalam luka yang tak berkesudahan, Adelia terjebak dalam rasa yang rumit pada Arzan, lelaki yang...