“Istirahatlah, aku akan menemanimu sampai Mbak Aisha datang. Setelah itu, aku akan menghilang dari hidupmu.”
Setelah berkata demikian Adel beranjak dari duduk, berjalan menuju pintu. Begitu berada di luar ruang rawat Fathan, lunglai seluruh tubuhnya. Lemah ia membawa kedua kakinya melangkah menjauh. Hendak menenangkan diri barang sesaat.
“Adel, kenapa menangis sayang? Kalian bertengkar lagi?”
Ibu Fathan tergesa menghampiri Adel. Memeluk perempuan yang matanya tak berhenti mengeluarkan cairan bening. Tangis Adel tumpah ruah dalam dekapan Ibu dari lelaki yang teramat ia cinta.
Dalam keadaan yang serba salah ini, apalagi yang bisa mereka lakukan selain bertengkar? Tak mampu lagi Adel berharap mereka bisa saling melempar senyum dan tertawa hangat saat bertemu.
“Adel telah membuat keputusan, Bu. Ini adalah pertemuan terakhir kami.”
Ibu Fathan membelai rambut Adel lembut. Sesekali mengusap punggungnya, berusaha menyalurkan kekuatan agar perempuan tersebut menjadi lebih tenang.
“Mengapa membuat keputusan yang menyakiti perasaan kalian? Ibu bahkan siap membantu seandainya kamu bersedia kembali pada Fathan, Nak.”
Adel menggeleng. “Tidak, Bu. Jangan mendukung sesuatu yang salah. Menikah dan bertanggung jawab pada Mbak Aisha dan kandungannya adalah konsekuensi yang harus Mas Fathan terima. Sejak awal ini merupakan kemauan Adel, Adel yang salah sebab masih terombang-ambing dalam perasaan ini. Jika tidak, mungkin sudah sejak lama kami sepenuhnya berpisah. Karena itu Adel ingin memantapkan tekad. Tolong Ibu mengerti.”
Perempuan seusia ibunya itu tak menjawab, hanya menarik kembali Adel dalam rengkuhan. Tubuh Ibu Fathan bergetar, ada yang hangat di punggung Adel. Perempuan itu, sama sepertinya. Mereka menangisi keputusan ini.
“Lakukan apa pun yang bisa membuatmu bahagia, Nak. Jika terlalu sulit, hubungi Ibu. Walau mungkin tak bisa membantu banyak, Ibu tidak mau kedekatan kita berubah. Kamu pun tahu, bagaimana Ibu begitu menyayangimu.”
Adel mengangguk. “Adel pasti akan menghubungi Ibu sesekali.”
Setelah tangisnya reda dan merasa lebih baik, Adel pamit. Hendak keluar sebentar sebelum nanti kembali menemani Fathan. Perempuan itu berniat pulang ke rumah. Menemui kedua orang tuanya serta sang kakak. Biarlah kali ini ia yang meminta maaf terlebih dahulu.
Seandainya Ayah masih murka, tak pula ia ragu untuk menarik keputusan yang serupa. Maka kembalinya ia hari ini akan menjadi perjumpaan terakhir pula. Tak apa, Adel akan menguatkan hati. Sudah melepas Fathan, kehilangan masa depan dan bila harus menjauh dari keluarga akan ia lakukan.
Matahari bersinar terik saat Adel tiba di depan rumah. Tidak ada yang berubah dari kediamannya. Adel memasuki pekarangan rumah dengan perasaan rindu. Di halaman yang luas ini dahulu mereka berempat sering menghabiskan waktu bersama. Meski terkadang perhatian Ayah dan Ibu tak tertuju padanya, tetap saja ia merindukan masa-masa indah yang telah berlalu.
Suasana rumah tampak sepi, hanya ada mobil miliknya di pekarangan rumah. Hadiah ulang tahun ketujuh belas dari Ayah. Hari itu, pergi dengan amarah dan melupakan kendaraan ini. Seharusnya Adel bawa saja jadi tak perlu repot membuat Galih mengantar jemput tiap pergi bekerja.
Adel memencet bel, menunggu beberapa menit. Kemudian mengulang hal yang sama setelah tak seorang pun datang membuka pintu. Ia terus mengulang kegiatan serupa hingga merasa muak sendiri. Kemana penghuni rumah ini? Apa memang sudah tak sudi menerima kepulangannya?
Sebagai usaha terakhir, perempuan yang sejak kemarin belum mengisi perut itu mencoba menghubungi Ibu. Suara khas operator yang menyebutkan nomor tersebut tidak aktif membuat Adel resah. Apalagi ketika nada yang sama juga terjadi saat menghubungi nomor sang kakak. Hanya nomor Ayah yang terhubung namun tak pernah ada jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyambut Hari Esok
RomanceAdelia tak pernah menduga bahwa pernikahannya yang tinggal menghitung hari terpaksa berakhir karena calon suaminya tertangkap basah menghamili kakaknya. Dalam luka yang tak berkesudahan, Adelia terjebak dalam rasa yang rumit pada Arzan, lelaki yang...