Bab 13 : Adel, Tetap Hidup

974 82 4
                                    

Sekali lagi, Adel terbangun terbangun di atas ranjang pesakitan. Punggung tangan yang belum seminggu bebas dari selang infus terpaksa kembali bersua. Jemarinya bergerak lemah, menyentuh kening yang dibalut perban. Masih sakit, sesekali berdenyut nyeri.

Dari kejauhan, samar terdengar derap langkah kaki  disusul bunyi pintu dibuka. Kepala gadis berwajah pucat tersebut bergerak pelan mengikuti sumber suara yang perlahan kian mendekat. Pandangan Adel masih buram, samar seseorang berseragam putih —yang diperkirakan seorang dokter— menghampiri. Memeriksa kantong infus lalu ganti menatapnya.

“Bagian mana yang terasa sakit?” Lelaki berseragam putih tersebut bertanya ramah.

Adel tak menjawab, sibuk mengingat apa yang terakhir kali terjadi hingga berakhir di ruang beraroma obat-obatan ini. Ah, ia baru saja bertemu Aisha. Mereka bertengkar, lebih tepatnya Aisha mempermalukannya di depan umum. Perempuan itu mengatainya hina. Adel gemetar, menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.

Sekarang rasanya Adel tak punya keberanian bertatap muka dengan siapa pun. Terlalu malu serta ketakutan akan pendapat orang lain terhadapnya. Bukan hanya orang-orang, bagaimana dengan Ayah dan Ibu. Apa pandangan mereka saat mendengar ini? Adel takut Ayah dan Ibu kembali menjauh. Meninggalkannya hingga benar-benar sendirian.

“Adel!”

Adel menggeleng, menutup telinga. Benci sekali berhalusinasi seperti ini. Meski kenyataannya ia teramat berharap suara yang terdengar menenangkan itu bukan sekedar halusinasi semata.

“Dokter, Adel gimana? Apa yang terluka? Seberapa parah?”

“Mas siapanya Mbak Adel?”

“Saya tunangannya.”

“Baik, kalau begitu Mas bisa ikut saya keruangan ya. Ada yang hendak saya bicarakan.”

Adel tak berani bergerak hingga yakin betul kedua orang tersebut benar-benar telah pergi. Perempuan itu menyibak selimut, lantas mengerang pelan sebab secepat itu kilat terik matahari menyambar kulitnya. Berjalan tertatih menuntun tiang infus. Menonton keramaian melalui jendela kamar. Sambil sesekali menarik napas berat.

Fathan, mengapa lelaki itu berada di sini? Bahkan berani berbohong mengenai hubungan mereka. Jika Aisha tahu, apa lagi yang akan ia perbuat terhadap Adel?

Di sisi lain memang menyenangkan mendengar kata tunangan terlontar dari bibir Fathan. Saat itu seolah seluruh rasa sakit terangkat dengan sendirinya. Namun kenyataan yang berbanding terbaliklah yang meminta Adel kembali terisak sembari menantang panas sang surya.

“Adel….” Fathan telah kembali.

Adel berbalik, menatap nanar lelaki yang entah sampai kapan bisa dilupakan. Di antara luka dan letihnya ini, ingin sekali meletakkan kepala di pundak Fathan sembari menceritakan keluh kesahnya hari ini. Seperti dulu, sebelum Tuhan memisahkan mereka melalui ikatan yang disebut takdir.

“Kamu kenapa? Dokter bilang kamu sengaja melakukan ini. Apa yang terjadi? Mengapa mencoba melukai dirimu sendiri?” Fathan memberondonginya dengan berbagai pertanyaan.

“Mbak Aisha—”

Mendengar nama Aisha, Fathan langsung memotong pembicaraan Adel. “Apa yang terjadi?” Lelaki itu terlihat semakin khawatir.

Pada akhirnya Adel memilih tak menjawab dan kembali menutup tubuh dengan selimut. Meninggalkan Fathan yang mendesah kesal lalu tergesa keluar kamar usai mengatakan akan segera kembali. Di balik selimut Adel terisak. Menyiksa sekali, hatinya ingin memberi tahu Fathan apa yang terjadi. Berharap lelaki itu bersedia membantunya. Jika hal itu terjadi maka Aisha akan kehilangan muka. Kelak, bukankah Adel akan merasa semakin bersalah bila melihat sang kakak menderita?

Menyambut Hari EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang