Adel menghempaskan tubuh mungilnya di atas sofa, lelah menyergap. Mengenyahkan debu-debu membandel memang menghabiskan banyak energi. Terlebih lagi sembari berdebat dengan Fathan yang tak kunjung mendapatkan titik terang.
Tak tahu apa yang merasuki pikiran lelaki itu hingga berniat mengakhiri pernikahan yang bahkan belum genap seminggu. Fathan banyak berubah, terkadang Adel merasa tak lagi mengenali lelaki itu.
Dahulu, Fathan merupakan perwujudan lelaki sempurna. Tak hanya di mata Adel, juga menurut pandangan sebagian besar teman-temannya. Empat tahun menjalani hubungan, tak sekali pun lelaki itu membuat Adel kecewa.
Perhatian, pengorbanan serta perjuangan Fathan menjadi alasan mengapa Adel teramat mencintai lelaki itu. Bersama Fathan ia merasa utuh dan dihargai. Di saat Ayah dan Ibu mengabaikannya, Fathan justru memperlakukan Adel seolah perempuan itu adalah pusat dunianya.
Sampai detik ini, ada kalanya Adel merasa semua yang terjadi bak mimpi. Padahal selangkah lagi, ia dan Fathan akan merajut mimpi bersama. Sayang, takdir berkata lain. Mimpi-mimpi indah dan manis itu, entah kemana perginya. Barangkali menguap bersama pengkhianatan dan kekecewaan.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Adel. Sembari memegang pinggang yang terasa pegal perempuan itu bergerak menuju pintu.
“Loh, Dokter Galih?”
Siapa sangka di tengah kesibukannya dokter ganteng ini mampu meluangkan waktu untuk bertandang ke kediamannya. Agak sungkan Adel mempersilahkan Galih masuk. Sebab kondisi rumah masih sedikit berantakan.
“Sudah makan?” tanya Galih. Adel menggeleng. “Kebetulan, aku bawa makanan.”
“Dokter—”
Galih menyela cepat. “Panggil Galih saja,” pintanya.
Adel mengangguk paham. “Galih?”
“Nah, begitu.” Galih tersenyum puas.
Dokter muda itu lantas menata makanan di atas meja. Adel tak tahu harus berbuat apa, malu menyergap. Ia bahkan belum sempat membalas kebaikan lelaki ini usai membantu menemukan tempat tinggal baru. Sekarang kembali berhutang makan siang.
“Memikirkan apa? Arzan?”
Adel menggeleng cepat. Aneh juga, Galih muncul malah Arzan yang menghilang. Tampaknya lelaki pemilik tawa renyah tersebut memang doyan hilang dan muncul tiba-tiba. Sungguh pandai membuat orang lain kesal dengan kelakuannya itu.
“Ngapain mikirin Arzan.” Adel mengambil posisi duduk di depan Galih dan mulai mencicipi sepotong ayam goreng.
“Gimana? Enak?” pertanyaan Galih dijawab dengan anggukan kepala. “Bunda yang masak, makanan kesukaan Arzan.”
Oh, jadi makanan kesukaan Arzan itu ayam goreng. Sesederhana itu?
“Semua masakan Bunda merupakan kesukaannya. Tapi yang nggak boleh ketinggalan ya ayam goreng.” Tampaknya pikiran Adel terbaca oleh lelaki ini hingga tanpa diminta langsung menjelaskan.
“Kalian sedekat apa?”
Jika ditilik kembali, baik Arzan maupun Galih nampaknya saling membanggakan satu sama lain. Ingat saat Arzan terus mengutip kalimat-kalimat Galih ketika menyemangati Adel? Sedang Galih, setiap kali berbincang dengannya entah sengaja atau tidak tak pernah tak membawa nama Arzan.
“Bagiku Arzan lebih dari sekedar teman. Sejak pertama kali kami bertemu, dia seperti seorang adik laki-laki yang harus kujaga.”
“Wah, manisnya.” Adel berucap iri. Senang sekali memiliki seseorang yang akan menjaganya. Sebelumnya ia memiliki Fathan yang selalu siap jadi tamengnya, sekarang? Ah, sudahlah. Adel tak ingin terus mengingat lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyambut Hari Esok
RomanceAdelia tak pernah menduga bahwa pernikahannya yang tinggal menghitung hari terpaksa berakhir karena calon suaminya tertangkap basah menghamili kakaknya. Dalam luka yang tak berkesudahan, Adelia terjebak dalam rasa yang rumit pada Arzan, lelaki yang...