Bab 5 : Luka Adel

1.2K 133 53
                                    

Sungguh benar bahwa untuk setiap pilihan ada harga yang harus dibayar. Adel memilih melepaskan Fathan, dan sekarang ia harus menebusnya. Perempuan tersebut tak berdaya dalam kubangan derita yang terus mencoba mematikan akal sehatnya. Tak ada jalan kembali, Fathan telah setuju. Ayah dan Ibu terlihat lega sekali, begitu pula Aisha.

Jika demi kebahagiaan orang-orang terkasih Adel harus mengorbankan kebahagiaannya. Biarlah, sebab separah apa pun luka yang ia derita kelak akan sembuh juga. Ya, Adel mencoba menabahkan hati. Bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Padahal, hampir setiap malam ia meratap. Bertanya sanggupkah ia menghadapi semua ini nantinya?

Menghela napas berat, perempuan yang sejak kepulangannya tak pernah tidur nyenyak itu meraih selembar pakaian. Gaun berwarna abu-abu yang disiapkan Ibu pagi-pagi buta. Harus dan wajib ia kenakan. Usai membalut tubuhnya dengan gaun indah, Adel mematut diri di depan cermin. Cantik, wajah sembab berhias kantung mata tetap tak mampu menolak pesona menawannya.

Adel tertawa pelan, menertawakan pantulan dirinya.

“Apa gunanya aku terlihat cantik hari ini? Sebaik apa pun penampilanku, orang-orang tetap akan membicarakan kemalanganku.” Perempuan itu bermonolog seorang diri.

Riuh rendah di kamar sebelah menggilas perasaan Adel. Suara Ibu yang tak henti memuji kecantikan Aisha mendominasi, itu semakin menyakitkan. Seharusnya ini hari bahagia Adel. Ya, seandainya takdir tak menggariskan mereka untuk bertukar posisi. Ah, jangan bicarakan takdir. Tak tahukah kalian betapa muaknya Adel?

“Del, kamu sudah beres, kan?” Ibu meringsek masuk. Adel mengangguk. “Sebentar lagi pak penghulu datang. Kamu juga harus ikut turun dan menjadi saksi hari bahagia kakakmu. Ingat, jangan rusak momen sakral dengan  wajah sedihmu itu. Senyum, yang lebar dan tulus. Ibu tahu kamu bisa diandalkan.”

“Ya.”

Hanya jawaban singkat itu yang bisa Adel berikan. Toh, Ibu memang tak akan menerima jawaban selain itu. Usai menyampaikan nasihat tersebut Ibu berlalu. Adel menunduk, menyembunyikan matanya yang perlahan berair. Besar harapannya Ibu akan memeluk dan memberikan dorongan kekuatan. Membantu menguatkan hatinya, atau paling tidak meminta maaf sebab tak bisa berbuat banyak untuk anaknya yang tengah terluka. Ia terlalu berharap.

Segelas air di atas nakas menyelamatkan Adel. Setelah meneguknya hingga tandas, akal sehatnya kembali. Meski sulit, mari tunjukkan bahwa seorang Adel begitu kuat dan tegar menghadapi masalah apa pun. Perempuan itu tengah mensugesti diri untuk tersenyum lebar saat seseorang menyeruak masuk.

Adel terkesiap, seluruh syarafnya berhenti berfungsi.
Tepat di depan matanya, Fathan berdiri dengan gagah dalam balutan tuxedo hitam. Sekuat tenaga Adel menahan diri untuk tidak menghambur ke pelukan Fathan. Demi apa pun, lelaki itu persis seperti seorang pangeran yang siap menjemput sang putri. Sayang, putri yang beruntung tersebut bukan Adel.

“Kamu seharusnya nggak ke sini, Mas. Orang-orang akan berpikir buruk tentang kita.”

Fathan mengangguk, setuju dengan tanggapan Adel. Tetapi bukannya pergi, lelaki itu malah menjatuhkan diri di atas ranjang. Duduk menghadap Adel yang tentu saja menolak dengan tegas dan beralih ke posisi lain. Menjaga jarak dengan lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suami sang kakak. Ironis memang.

“Jangan khawatir. Aku sudah izin pada Bapak dan Ibu.” Fathan mengurai ketakutan Adel.

“Tetap saja, ini tidak baik.” Ya, keberadaan Fathan dengan penampilan mempesona seperti ini sungguh berbahaya untuk hati Adel.

“Del,” panggil Fathan pelan.

Adel memalingkan wajah, enggan menatap wajah Fathan. Takut pendiriannya goyah seperti sebelumnya saat menemukan sepasang mata lelaki itu berkaca-kaca. Ia terlampau susah menolak Fathan. Mungkin ini efek samping dari hubungan yang demikian kuat.

Menyambut Hari EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang