“Kamu sungguh tidak akan memberi tahuku?” Fathan bertanya untuk kesekian kalinya.
Adel kembali mengangguk sebagai jawaban. Menghindar dari tatapan penuh selidik Fathan, pura-pura memainkan ujung selimut. Lelaki itu baru kembali, dan tanpa basa-basi kembali bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Berarti perkiraan bahwa Fathan menemui Aisha tidak benar, buktinya lelaki ini masih mempertanyakan keributan apa yang sedang terjadi. Bukankah ini tandanya Fathan tidak mengetahui apa pun. Tetapi ini sedikit mustahi.
“Mbak Aisha bilang apa?” Adel penasaran sekali tentang ini. Tidak mungkin Fathan tidak bertanya, kan?
Fathan menggeleng lemah. “Kakakmu itu, apa yang bisa ia lakukan selain menangis? Aku hanya bertanya, tapi responnya seolah tengah dianiaya.”
“Mbak Aisha itu orang yang lembut, tidak bisa diperlakukan kasar.” Adel mencoba menjelaskan. Padahal di hati tengah menduga apakah sang kakak benar masih seperti dahulu. Pasalnya kemarin ia nyaris tak mengenal Aisha dan sikap tak terduga itu.
“Aku benar-benar penasaran. Apa yang sebenarnya kalian bicarakan hingga kamu bertindak sebodoh itu.”
Adel menatap tepat di bola mata Fathan. “Aku hanya lelah.”
“Aku mengerti. Tidurlah, jika nanti ingin memberitahu segalanya, aku siap mendengarkan.” Fathan membantu Adel berbaring, menyelimuti tubuh perempuan itu. “Aku sayang kamu,” bisiknya sebelum pergi.
Aku sayang kamu.
Sampai detik ini kalimat tersebut masih berhasil membuatnya merasa tersanjung. Perasaan memang tidak bisa diprediksi, sulit dipahami. Adel ingin melupa, tetapi lelaki itu masih berkeliaran di sekitarnya. Tetap seperti dulu, perhatian layaknya seorang kekasih. Perbedaannya terdapat pada status lelaki itu, suami orang. Benar-benar tidak tergapai.
Gagal memejamkan mata, Adel bangkit dari ranjang. Keadaannya sudah lebih baik, nyeri-nyeri di tubuhnya perlahan hilang. Menuntun tiang infus dan melangkah perlahan ke luar ruang rawat. Keberadaan tak terdeteksi, mungkin kembali bekerja. Lebih baik seperti itu, jadi tak perlu memaksakan diri bersikap ramah pada lelaki itu.
Menyusuri sepanjang koridor rumah sakit, perempuan ini disuguhi berbagai pemandangan. Mulai dari tawa bahagia hingga tangis pilu akibat kepergian anggota keluarga. Beragam ekspresi tergambar jelas pada wajah-wajah yang ia temui. Jika ia mati nanti, bagaimana reaksi orang-orang terdekatnya?
“Arzan! Mau kemana kamu!”
Teriakan seseorang yang suaranya terasa cukup familiar mengalihkan fokus Adel. Ia berbalik, tak ada siapa pun. Perempuan berseragam pasien itu mendesah pelan. Mengeluh sebab terus memikirkan lelaki yang entah di mana keberadaannya saat ini.
Tiga kali dipertemukan dalam keadaan tak terduga tampaknya menjadi alasan mengapa tak ada informasi yang diketahui selain nama masing-masing. Benar-benar hanya sebatas itu. Jika bukan karena takdir Tuhan, sulit rasanya bagi mereka untuk saling bertemu. Setelah pertemuan ketiga, masihkah Adel memiliki kesempatan untuk bertemu Arzan?
“Aduh!”
Adel mengaduh pelan, memegang bahunya yang baru saja ditabrak seseorang. Sementara punggungnya menempel di dinding, beruntung tidak terjerembab di lantai rumah sakit seperti si pelaku.
“Arzan! Kamu ini—”
Kening Adel berkerut, lekas membalik tubuh lelaki yang tengah meringkuk di lantai. Perempuan itu tak bisa mengatakan apa pun saat lelaki yang memang merupakan Arzan itu melempar cengiran tak bersalah.
“Kembali ke ruangan kamu sekarang! Benar-benar sulit diatur, membuat resah saja. Kemari kamu!”
Pandangannya beralih pada seorang dokter yang tengah mengomel. Sekali Adel dibuat terpana tak percaya, dokter tersebut tak lain adalah dokter yang berpesan agar dirinya tetap hidup. Dokter yang memintanya menunggu tapi malah belum berkunjung ke kamarnya sejak hari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyambut Hari Esok
RomanceAdelia tak pernah menduga bahwa pernikahannya yang tinggal menghitung hari terpaksa berakhir karena calon suaminya tertangkap basah menghamili kakaknya. Dalam luka yang tak berkesudahan, Adelia terjebak dalam rasa yang rumit pada Arzan, lelaki yang...