Bab 15 : Tinggal Terpisah

978 79 13
                                    


“Adel mau tinggal terpisah.”

Suasana di meja makan berubah aneh setelah Adel mengutarakan niatnya. Meski sempat dibicarakan sebelumnya, tetap saja ini berita yang cukup mengejutkan. Terutama bagi Fathan. Pasalnya perempuan itu baru beberapa jam menginjakkan kaki di rumah usai terkurung di rumah sakit.

Ayah menghela napas, lelaki yang umurnya nyaris setengah abad ini paham benar bagaimana Adel. Anaknya yang satu ini begitu keras kepala, mungkin efek dari didikan kerasnya selama ini.

“Kamu baru beberapa hari keluar dari rumah sakit, belum pulih benar. Beristirahatlah lebih lama.” Ibu mencoba membujuk.

Adel tertawa dalam hati. Tidak tahu saja mereka jika tiga hari terakhir anaknya terdampar di rumah sakit.

“Adel nggak apa-apa, kok. Istirahat bisa di mana saja, bukan hanya di rumah ini.”

“Ya, tapi … Aisha kan sedang hamil. Ayah dan Ibu sibuk, setidaknya kamu bisa membantu Fathan menjaga Aisha.” Ibu tak kehabisan akal untuk menahan Adel. Kali menggunakan Aisha sebagai alasan.

Sayang, Ibu menggunakan alasan yang tidak tepat. Aisha dan Adel tidak berada dalam kondisi di mana mereka mendukung satu sama lain. Hubungan kakak beradik yang semula harmonis ini terancam punah. Lagipula di mata Ibu, Adel sebodoh apa hingga bersedia melakukan ini setelah pengkhianatan yang Aisha lakukan.
“Mbak Aisha tidak butuh Adel, Ma. Kami tidak akrab,”

Adel melirik Aisha, perempuan itu duduk dengan tenang menikmati hidangan tanpa terganggu sedikit pun. Kakak perempuannya memang sudah banyak berubah.

“Ayah, Ibu, mengapa kita tidak menghargai keputusan Adel?” Aisha yang semula diam memperhatikan, buka suara.

“Kamu mau mengusir adikmu sendiri?” Fathan angkat bicara.

“Mas, nggak baik Adel tetap tinggal di sini. Semua orang akan bergunjing. Kehormatan keluarga ini dipertaruhkan. Biarlah Adel pergi, ini memang keputusan yang tepat.” Aisha menjelaskan dengan wajah santai sembari menyendok makanan ke dalam mulut.

“Maksud Mbak Aisha apa?” Adel menangkap sesuatu yang tidak menyenangkan.

Aisha mengangkat bahu. “Orang bilang kamu masih berhubungan dengan Fathan. Bukankah itu aib untuk keluarga?”

“Apa yang terjadi di antara Mbak Aisha dan Mas Fathan, bukankah itu aib yang sesungguhnya? Mengapa terus melempar kesalahan padaku? Kalianlah aib keluarga ini, bukan aku!”

“Kamu tahu Mas Fathan sekarang suamiku. Tapi tetap tidak punya muka dan terus diam-diam bertemu tanpa sepengetahuanku!”

“Kapan Adel begitu? Meski menyakitkan, Adel tetap menghormati Mbak Aisha.”

“Hormat? Lalu kemana kamu tiga hari ini? Mengapa tidak pulang? Dan di saat yang sama Mas Fathan juga tidak pulang! Kalian sudah pasti bersama. Jujurlah, Del. Katakan betapa hinanya kamu di depan Ayah dan Ibu. Supaya mereka tahu seperti apa kamu sebenarnya.”

Sungguh sulit dipercaya mendengar Aisha begitu lancar mengucapkan kata-kata tadi. Tiga hari ini ia terikat selang infus di rumah sakit dan tak bisa pulang, seandainya bisa pun belum tentu Adel pulang. Kecelakaan terakhir yang dialami, Adel tak ingin Ayah dan Ibu tahu. Biarlah, segala sakit ia nikmati seorang diri.

Adel melirik Fathan, mempertanyakan kemana perginya lelaki ini selama tiga hari terakhir. Fathan hanya sesekali menemaninya di rumah sakit, sisanya terkadang ditemani Arzan. Sial sekali sebab Aisha mengaitkan keabsenan Fathan dengan dirinya.

“Adel tidak sehina itu Yah, Bu. Adel berani bersumpah atas nama Allah. Mbak Aisha harusnya berkaca, sudah mencoreng kehormatan keluarga masih berani mengatai orang lain. Bayi di perut Mbak Aisha adalah bukti bahwa perempuan hina yang sesungguhnya adalah Mbak sendiri.”

Menyambut Hari EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang