Matahari sudah lama naik, sinarnya menelusup melalui celah-celah gorden yang jarang disibak. Sebab, beberapa hari terakhir Adel banyak menghabiskan waktu di rumah sakit, kediaman Galih dan kini kafe.
Namun, hari ini perempuan itu terlalu enggan sekadar beranjak dari kasur hangatnya. Tubuhnya masih dibalut selimut, diangkat hingga sebatas leher. Adel berbaring menyamping, menatap bayang-bayang gorden di lantai. Sesekali mengeluh silau, tetapi terlalu malas bergerak merapikan tirai jendela.
Semalam Arzan mengajaknya mendengarkan banyak hal. Sampai sekarang pemilik rambut lurus itu masih merasa telinganya berdengung. Kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir lelaki itu terus terngiang-ngiang.
“Aku mencoba menutup mata meski terdengar aneh saat mendengar dia mengetahui kehamilan Kiara. Kami berteman baik, jadi, bukan tak mungkin Martin akan memberitahunya. Tapi kemarin, saat kamu datang membawa gelang itu. Aku sadar, ada yang salah. Gelang itu seharusnya ikut terkubur bersama Kiara, kecuali ada yang datang mengambil benda itu kembali.”
Demikian hari itu Arzan mengawali kisah panjangnya. Adel terlempar pada ingatan saat ia mengamuk di kafe sambil melempar gelang tersebut. Gelang berinisial huruf A, yang ternyata bukan milik Aisha. Melainkan milik Kiara. Tetapi mengapa harus menggunakan inisial A bukannya K?
“A untuk Arzan. Aku ingin dia terus mengingatku, walau hanya sebatas sahabat.” Arzan menjelaskan sambil tersenyum malu.
Adel berdecak, “Terus, bagaimana kamu bisa yakin kalau orang yang mengambil gelang itu Mbak Aisha, bukan Martin?”
“Karena Martin tak pernah terlihat sejak hari itu. Dia lenyap, bersama dengan Kiara. Jadi, aku mengasumsikan kalau Martin merasa bersalah karena menolak bertanggung jawab dan tidak berani kembali. Di samping itu ternyata dia juga punya tanggung jawab terhadap perempuan lain. Dia tidak bisa kemana-mana.”
Adel mendesis, Arzan ini cara berpikirnya ternyata lebih lemah dari Adel. Atau mungkin lelaki ini memang selalu gagal dalam mengenali seseorang?
Dari apa yang terlihat, lelaki bernama Martin itu tak terlihat merasa bersalah sama sekali. Justru ia malah menjadikan hal itu sebagai kesempatan untuk menarik banyak keuntungan. Tak tahu lagi sudah berapa nominal yang digelontorkan Aisha untuk menutup mulut lelaki itu.
“Kamu sudah memastikan kalau itu Mbak Aisha?”
Arzan menggeleng lemah. “Tapi aku sudah memastikan kalau dia tidak suka dengan kedekatan kita.”
Galih sudah lebih dahulu membuka cerita. Meskipun panjang, apa yang diungkapkan Arzan hanyalah sisa-sisa berupa jawaban atas pertanyaan yang tidak mampu Galih jawab.
Adel hanya bisa menyimpulkan jika baik Arzan dan Galih sama-sama hanya menduga-duga jika Aisha terlibat. Seharusnya Adel bersyukur. Namun, apa yang ia dengar sendiri malah melemparkan Adel pada ketakutan yang paling dalam.
Percuma ia meminta pendapat orang lain jika sepasang telinganya telah lebih dahulu mendengar kebenaran lain. Sesuatu yang tak ingin Adel akui walau ia benci melakukannya. Bagaimana pun Aisha adalah kakaknya. Anggota keluarga yang berhubungan darah dengannya.
Keluarga mereka sudah terlalu banyak mendapat cibiran dan menanggung malu. Jika hendak membela kebenaran Adel tak dapat memastikan apakah kedua orang tuanya masih bisa bertahan. Mereka ibarat tunggul yang telah lama berhujan panas. Sedikit senggolan hanya akan membuat akar yang telah lama mati itu luruh. Adel tak siap, ia yakin kedua orang tuanya juga sama.
Bunyi ketukan di depan pintu memutus lamunan panjang Adel. Meminta perempuan itu sekejap melupakan bayang-bayang masa lalu. Dengan mata setengah terpejam karena masih mengantuk dan belum siap menerima terpaan sinar mentari, Adel bangkit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyambut Hari Esok
RomanceAdelia tak pernah menduga bahwa pernikahannya yang tinggal menghitung hari terpaksa berakhir karena calon suaminya tertangkap basah menghamili kakaknya. Dalam luka yang tak berkesudahan, Adelia terjebak dalam rasa yang rumit pada Arzan, lelaki yang...