08. Taman

188 26 1
                                    

Setelah mengendarai mobilnya tak tentu arah, kini Laura duduk di salah satu bangku taman. Menghirup udara dalam-dalam. Melihat beberapa orang tua dan anaknya sedang bermain bersama. Miris sekali dirinya tak pernah merasakan kasih sayang kedua orangtuanya.

Seorang anak laki-laki menghampirinya. Dan duduk di samping nya.

Laura sedang asik dalam lamunannya, sampai tak sadar akan kehadiran seseorang di sampingnya.
"Kakak sendiri?" Laura terkejut, sejak kapan anak ini duduk di sebelahnya.

Laura membalasnya dengan anggukan sesaat. Menatap anak laki-laki tersebut.

"Kakak gak punya teman ya?"
Lagi lagi Laura mengagguk.

"Sama dong kayak aku,"

"Kenapa?" tanya Laura penasaran.

"Karena aku gak punya Mama,"

"Papa kamu?"

"Papa aku kerja, kerja, dan kerja. Dia gak pernah ada di rumah,"

"Kamu di sini sendiri?"

"Aku sama mbak Lala, itu dia," ujarnya sambil menunjuk salah satu wanita berpakaian baby sitter berwarna biru muda. Laura mengikuti arah yang di tunjuk anak laki-laki tersebut. Baby sitter yang di panggil Lala itu kelihatan sedang mencari keberadaan anak laki-laki di sebelahnya.

"Mbak Lala cari kamu tuh, kamu gak ke sana?"  Anak kecil itu menggelengkan kepalanya. Baby sitter itu menemukan anak majikannya, lalu berlari ke arah Laura dan anak kecil tersebut.

"Aduh, den Ray kok di sini, mbak Lala udah cari aden dari tadi,"

"Hihihi, aku tadi sama kakak ini." Laura yang dimaksud pun terpaksa harus tersenyum ke arah baby sitter tersebut.

"Oalah, makasih mbak udah jagain den Rey,"

ternyata anak ini bernama Rey, batin Laura. Laura mengagguk lalu ingin beranjak pergi saat tangan kecil menghentikannya.

"Nama kakak siapa?" tanya Ray

"Nama kakak, Laura." Laura tersenyum tulus kepada Rey. Laura pikir Ray sama seperti dirinya. Tidak mendapat kasih sayang kedua orangtuanya. Dia mengelus pucuk kepala Ray lalu pergi dari sana.

****

"Sudah Papa bilang, jangan ikutan genk motor apalah itu lagi." Sebuah tamparan mengenai pipi seseorang sampai membuat sudut bibir orang tersebut memar.

"Mau jadi apa kamu hah!!?" Satu tonjokan mendarat di perutnya. Orang tersebut masih diam menerima perilaku Papanya.

"Pah, STOP! Arkan bisa terluka," ucap wanita paruh baya di samping orang tersebut yang tak lain adalah Arkan.

Orang tua Arkan memang tak menyetujuinya ikut genk motor. Mereka berpikir bahwa genk motor membawa pengaruh buruk untuk anaknya. Padahal, genk motor yang Arkan bentuk adalah genk yang selalu membantu masyarakat. Bukan balap liar atau sebagainya. Jujur, memang genk motor itu pernah tawuran, dan itu juga demi keamanan sekolah. Pihak sekolah pun tau itu, tapi orangtuanya seakan menulikan telinga mereka.

"Kalau sampai Papa tau kamu masih ikut genk genk motor itu, Papa cabut fasilitas kamu." Setelah mengatakan itu Papa Arkan masuk ke dalam kamarnya.

"Ar .. tolong sekali ini turuti kemauan Papa kamu, ini juga kebaikan kamu." Arkan diam menanggapi ucapan Mama nya, lalu pergi ke luar rumah.

Arkan berjalan di sepanjang jalan, menahan sakit di perutnya. Dan lagi, dia belum makan sejak pagi. Niatnya sekarang adalah pergi ke tempat makan. Namun karena tadi ia diburu amarah, sampai ia lupa akan motornya. Sebuah mobil berhenti di depannya, membuat Arkan mundur beberapa langkah.

Terlihat jelas terdapat seseorang yang mengendarainya. "Arkan! Kenapa kamu di sini?" tanya Laura yang turun dari mobilnya.

"Bukan urusan lo," ketus Arkan.

"Wajah kamu kayak dulu lagi?" Menatap miris ke arah wajah Arkan, "kamu mau kemana?" sambungnya.

"Gue bilang bukan urusan lo!"

Hening melanda ke duanya, tiba-tiba sebuah suara terdengar cukup nyaring.

Kruyuk ...

Suara itu muncul dari perut Arkan, Laura menahan tawanya. Ternyata cowok di depannya sedang kelaparan. Laura menarik tangan Arkan untuk masuk ke dalam mobilnya.

"Lo mau apa?" tanya Arkan begitu aja.

"Udah ikut aja, kamu lapar 'kan?" Tak bisa dipungkiri bahwa memang dia lapar, Arkan menurut dan masuk ke dalam mobil Laura.

"kemana?" singkat Arkan.

"Nanti kamu juga tau," ucap Laura.

Di dalam mobil hanya hening, tak ada yang berniat mencairkan suasana.

"Kenapa?" tanya Arkan.

"Kenapa?" Kini Laura menimpalinya, karena pertanyaan Arkan tak jelas untuk dimengerti.

"lo suka sama gue?"

"Karena kamu Arkan,"

"Gue serius,"

"Aku juga serius." Arkan terdiam sesaat, sampai Laura melanjutkan perkataannya.

"Karena kamu Arkan, kamu adalah kamu, bukan orang lain. Kamu tau Ar, kamu gak pernah berusaha untuk jadi orang lain. Itu kenapa aku suka sama kamu." Laura melirik Arkan sesaat lalu tersenyum menghadap jalanan di depan.

"Dan bukan seperti aku," batin Laura.

Arkan membeku, untuk pertama kalinya ada orang yang paham akan dirinya.

"Gue gak bisa," ucap Arkan, dan Laura tau apa arti itu.

"Apa aku pernah maksa kamu? Gak 'kan? jadi kamu hanya perlu diam dan aku yang berjuang. Pasti ada saatnya aku lelah dengan sendirinya mengejar kamu," ujar Laura tersenyum kecil.

"Tapi ... Kalau aku udah lelah, aku mohon sama kamu buat jangan pernah merasa kehilangan, hahaha dan mungkin rasa itu tidak akan pernah ada." Arkan diam, tak tau harus mengatakan apa.














Jangan lupa vote dan komen ya semuanya. Follow akun author juga supaya gak ketinggalan ceritanya.😘

Alone AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang