Part 18 : Sweet Melt

40 8 0
                                    

"Kak Dyan. Ish seneng banget tau. Bisa ngobrol bareng kayak gini,"ucap Dhita bahagia. Malam ini ku habiskan waktu di salah satu pusat perbelanjaan di Malang. Riuh nan ramai khas suara mall kadang membuat ku bertanya. Bagaimana pun riuh sekitar, pikiran tetap berfokus pada ponsel yang tak kunjung memberi kabar.

Terakhir kali kemarin begitu sampai di Jatinangor dengan selamat. Tapi semua itu wajar lagian dia kan ke sana karena ada urusan. Harusnya sekarang dia sudah pulang. Tapi ngga tau lah. Mungkin juga sibuk.

"Hayooo tungguin telfon Kak Chandra ya,"yang Dhita membuat ku menggeleng cepat. "Nggak Dhit. Udah mau Magrib. Pulang yuk,"ajak ku. "Ayo. Oiya Kak singgah ke rumah Bunda dulu ya. Baju ku buat nginap ketinggalan. Hehehe ngga papa kan,"tanya Dhita.

"Oke,"ucapku mengangguk sembari fokus dengan tangga eskalator yang tampak monoton. Musik dalam mall terdengar begitu nyaring namun tak sedikit pun membuat ku terasa nyaman. Ponsel yang ku mode getar bergetar halus. "Bentar Dhit,"ucapku menepi.

"Assalamu'alaikum Dek,"

"Wa'alaikumussalam,"ucapku dengan senyum dalam hati. "Maaf baru kasih kabar. Soalnya jadwal padat, tapi ini sudah di bandara kok. Oiya tumben rumah rame?,"tanya Chandra. "Lagi temani Dhita keluar,"ucapku. "Oalah ya sudah. Jangan kemalaman pulang nya. Sama hati-hati,"ucap Chandra penuh perhatian.

Sejenak sebelum menutup telfon, terbesit suatu pikiran. "Mas,"panggil ku berusaha lembut tapi tetap terdengar dingin nan judes. "Iya kenapa Dek,"ucap Chandra menunggu jawaban berikutnya dari ku. "Sudah makan?,"ucapku sambil merutuki diri.

"Sudah barusan,"ucap Chandra. "Mas,"panggil ku sekali lagi mengabaikan suara yang terdengar tajam di telinga. "Iya kenapa Yan. Kamu kangen ya,"tebak Chandra kian membuat ku enggan mengucapkan kata singkat itu. "Safe flight. Kabari kalo sudah sampai,"ucapku langsung menutup telfon.

"Ahay telfon ya telfon aja Kak. Nggak perlu tutup-tutup telfon. Tinggal bilang safe flight Mas ganteng. Cieee udah mulai panggil Mas. Biasanya judes tuh,"ucap Dhita dengan wajah tengil nya. "Ngaco kamu. Ayo pulang,"ajak ku menarik keluar diri nya dari pusat perbelanjaan.

Senja tampak menawan dengan deretan gedung menjulang. Mengelilingi alun-alun kota menunggu kedatangan nya. Kadang bertanya dalam hati. Benar kah kalo sekarang saatnya buat memasuki babak baru lagi?

---

"Wahh Dyan ya ampun,"ucap Nafisa menyambut ku dengan bahagia. "Maaf Bun ngga sempat ke sini. Harus nya Dyan sering ke sini kalo setiap weekend,"ucapku. "Eh nggak papa Dy. Namanya istri kamu ya memang harus mendampingi suami. Tapi Chandra ngga neko-neko kan,"tanya Nafisa.

"Nggak Bun. Mas Chandra baik banget,"ucapku. "Alhamdulilah,"ucap Nafisa mengajakku menuju meja makan yang sudah tersaji banyak jenis makanan. "Mari makan Nduk,"ucap Alagra. "Iya Yah,"ucapku tak bisa menolak. "Dhita ayo makan dulu baru,"ucap Nafisa. "Siap Bun,"ucap Dhita bergegas bergabung di meja makan.

"Lapor Pak. Izin menyampaikan dari tamu yang datang,"ucap Mardi, penjaga gerbang dengan tergupuh gupuh. "Kenapa Mar? Mari makan bareng,"ajak Alagra tenang. "Siap tidak Pak. Den Chandra kecelakaan Pak,"ucap Mardi membuat ku langsung berdiri.

"Kecelakaan dimana Pak,"tanyaku khawatir. "Siap di jalan Panglima Sudirman. Den Chandra perjalanan mau ke Gresik,"ucap Mardi membuat ku bergegas keluar rumah tanpa mempedulikan makan yang belum selesai dan yang lain. "Nduk Nduk. Makan dulu Nduk,"panggil Nafisa menahan ku.

Ku tatap datar wajah Nafisa bingung mengekspresikan. Bahkan untuk menangis pun rasanya nggak bisa. "Sudah Bun. Ayo Dhit kita liat kakak mu,"ucap Alagra mengajak seluruh keluarga. "Istighfar Nduk,"ucap Nafisa mengusap lembut punggung ku. Namun sedari tadi aku bahkan tak bisa bergeming sedikitpun.

Armaya Dvyendu Paksha - Completed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang