11:23

3.4K 285 63
                                    


Dilarang berlari di lorong.

Tulisan itu menggantung setiap dua meter di atas langit-langit gedung tiga Fakultas Teknik. Asal muasalnya, untuk mengurangi risiko menabrak anak Arsitektur yang lewat bersama maket penting mereka. Akan tetapi pada hari itu, tulisan itu goyah oleh angin yang berasal dari kecepatan Satria Chandrawedi.

Serbuan langkah lebarnya terdengar dari jauh, membuat orang-orang siap minggir dari jalan. Mereka merapatkan diri ke dinding, atau bergeser masuk ke dalam loke. Kemana pun, asal tidak ditabrak oleh pria bertubuh semi-kekar yang melakukan sprint menuju kelas Studio Komputasi,

Satria melirik jam tangannya. Ia temukan angka 12 lewat 36 terpampang jelas dalam bentuk analog. Itu berarti sudah lewat enam menit semenjak kelas milik Asta, orang yang dicari, berakhir. Empat menit lagi sebelum pria dengan hasrat tinggal di kampus yang lemah itu akan pulang, dan Satria datang untuk mencegahnya. Setidaknya, sampai informasi tentang kepanitiaan arsi yang Asta pegang didapat.

"Sat, jangan lari-lari, anjing." Makian dari warga lokal itu dia hiraukan. Sebetulnya Office Boy Teknik juga sudah menegur dengan seember air pelan kotor yang segera dilempar. Hanya kurang satpam yang mengejar, sekedar untuk menambah efek dramatis. Untung, dramatisir dan cobaan itu tidak diperlukan lagi karena Satria berhasil menemukan Asta.

Lelaki kurus berambut model mullet itu sedang memasukkan buku-buku tebal ke dalam loker. Satria tebak pasti hanya diktat yang tidak akan dibaca karena malas. Dengan itu, aksi Satria mengagetkan Asta dengan menubruk loker tidak akan jadi berbahaya sama sekali.

"Ta," sapanya, menyandarkan diri pada loker. Yang dipanggil melompat sedikit oleh suara parau dan terengah-engah.

"Buset, Bang? Lo dikejar setan atau mau nagih utang? Segala lari..." sindir Asta sambil mengusap dada. Kemudian dia mengambil buku yang dibuat Satria jatuh ke lantai tadi, saking rusuh pria itu menghampiri. Metode Perancangan Arsitektur, salah satu judul si buku berdebu. Hipotesa Satria sepenuhnya benar.

"Yeee... Gue kan lari buat nyamperin lo." Setelah napasnya itu teratur, Satria kini bisa menjawab sindiran adik tingkatnya dengan baik. Namun, sebuah harap yang dia simpan kepada Asta adalah hal yang mencegahnya untuk menukarnya dengan sindiran lain. "Ta, gimana hasil seleksi panitianya?"

Asta menghela nafas, menutup loker itu dan menatap Satria dengan dingin. "Alhamdulillah, lancar." Kakinya lantas berjalan menjauh dari loker dan menuju tempat favorit golongan ingin tidur: parkiran. Ya, karena ia ingin pulang. Sedangkan Satria masih mengintil sebab belum mendapat jawaban yang diinginkan.

"Gue masuk, gak?"

"Hadeh." Pemuda jurusan arsitektur yang berjalan di depannya tadi berhenti dan berbalik. Kedua tangan terlipat di hadapan perut, serta kaki jenjangnya menahan tubuh sedikit miring ke depan. Asta menatap Satria dari ujung rambut sampai ke bawah. Menyedihkan banget ini orang. Tidak akan dia biarkan suara hati tergumam sejelas itu, namun bukanlah Asta bila dia berbohong akan kenyataan.

"Sadar umur, Bang."

------

Tiga kata dari Asta itu berhasil membuat kedua kawannya terhibur ketika Satria menceritakan kembali bagaimana cara dia ditolak masuk kepanitiaan fakultas arsitektur, dan bagaimana Asta berakhir menjadi yang marah-marah kepadanya (kurang lebih selama 15 menit)

"Ya Tuhan, Si Asta mood banget."

"Aduh, Saaat, Saaat. Apes banget lo diomelin Asta sampe kaki pegel berdiri."

Berturut-turut Joshua dan Raihan-dua teman yang dimaksud-terpingkal pada nasib buruk Satria. Ramai kantin tidak menghentikan mereka berdua untuk menjaga sikap, apalagi menghibur. Tidak. Tidak. Menertawakan seperti ini justru adalah tradisi. Tidak peduli berapa banyak orang yang melihat ke arah ketiganya, atau seberapa malu Satria terhadap suara jelmaan toa masjid yang datang dari dua kawannya.

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang