13:22

1.5K 230 77
                                    

Matahari masih bersinar terik meski seluruh lampu studio jatuh dan pecah ke lantai.

Siang itu, empat pasang lampu sorot terputus talinya dan menimpa lantai panggung, mengakibatkan ratusan kepingan kaca berhambur dengan mematikan. Beruntung, divisi perlengkapan sudah menepi dengan papan-papan latar mereka, meninggalkan keselamatan kepada semua orang, kecuali Kanaya Basundari.

Sebagai Ketua Teater Wirasa, Naya sepenuhnya bertanggung jawab bagi segala hal yang terjadi saat dan setelah pentas terjadi. Dengan begitu, walau tubuhnya aman dari tikaman beling, nasibnya tetap dalam bahaya. Harga dua lampu sorot itu setara dengan satu ginjal, dan Naya masih ingin bisa kencing besok pagi. Tidak ada yang mampu disalahkan, bahkan walau ia tahu siapa yang salah dalam kejadian ini.

"Maaf, Kak."

Perempuan itu punya wajah mirip anjing, bukan dalam arti makian. Cara alisnya bertaut dan matanya berlinang membuat Naya teringat akan jenis Shiba Inu yang tahu tidak akan diberi makanan karena mengacau. Rambut dicat jingga yang menjuntai sebahu itu kerap dipelintir dan menggelungi jari telunjuknya, dia jelas merasa bersalah.

"Gak apa-apa, Sania," janji Naya, mesti tangan tidak kunjung berhenti memijat pelipis.

Hari di mana Sania diterima sebagai anggota Teater Wirasa, Naya diwanti-wanti untuk mengawasi perempuan itu secara khusus. Tangannya terlahir untuk merusak barang, seperti dikutuk oleh nenek sihir yang iri akan wajah cantiknya. Sementara Naya adalah ibu peri yang kerap menanggung kecerobohannya di lapangan.

"Kak, ini gimana lampunya?" ucap lelaki dengan sepatu boots hitam, berdiri di atas beling itu untuk memperhatikan lampu yang benar-benar sudah tidak bisa dipakai. Namanya Arjuna, mungkin setengah atlit debus dengan keberanian itu.

Sebelum bisa menjawab, telepon genggam milik Naya berdering. Ia menghela nafas setengah, melihat nama Jojo di layar tidak begitu memberatkan. Setidaknya, kali ini bukan telepon aneh dari nomor tidak dikenal yang mengaku sebagai penggemarnya.

"Sapuin aja dulu belingnya, Jun. Bahaya kalau dibiarin. Yang lain tolong bantuin, ya. Gue ke belakang bentar nanti ta' lapor ke Pak Beni kalau lampu pecah."

Beberapa detik kemudain Naya sudah mengistirahatkan diri di tribun atas. Pemandangan megah ruang teater selalu membuatnya tenang. Ketika orkestra mengalun, dan jajaran binocular menuju ke arahnya, di sana Naya merasa paling aman. Namun bila itu sedang tidak terjadi, Naya memilih untuk mengintai semua dari sini, tribun atas tempat kedua orangtuanya menonton pentas pertama. Tempat yang mampu menampilkan setiap gerak-gerik kecil manusia yang berusaha untuk membuat keajaiban itu terjadi di satu malam.

Masa kejayaan Naya di teater sudah berakhir, lebih tepatnya sejak tahun lalu. Kewajibannya untuk mengisi panggung kini berganti dengan mendorong para junior menjadi bintang juga. Entah itu Sania, Arjuna, Setya si bawel, Dika si duta lagu galau, atau Jihan dan wajahnya yang mirip Nike Ardilla. Semua bagai bidak catur yang tidak boleh mati, tidak boleh dimakan. Tentu, untuk membuat sang ratu sama bersinarnya.

"Halo, Ganteng," kata Naya, setelah menekan tombol terima telepon.

"Hai, Cantik. Apa kabarnya?" Timpalan Joshua sukses membuat bola mata Naya berputar.

"Parah. Sania mecahin lampu sorot."

"Satu? Dua?"

"Semua."

Joshua di ujung paggilan hanya menggelengkan kepala. Dia tidak lagi berkata yang sabar ya, Nay bila itu menyangkut urusan teater. Empat tahun sebagai rekan, Joshua tahu kata sabar hanya tambah buat naik darah. Maka, diam adalah solusi, daripada bacot tapi tidak membantu.

"Kenapa nelpon?" tanya Naya, memecah hening Joshua.

"Oh. Itu," Joshua menelan ludah, membiarkan momentum sedikit membantunya, "nanti ke Banyuwangi dianterin temen gue aja, ya?"

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang