Pemandangan berupa pembatas jalan dan kebut mobil semakin surut, berganti dengan rumah-rumah dan pepohonan ronggak yang melengkapi kesan kota tidak tersentuh pemerintah. Alunan lagu Fast in My Car oleh Paramore terputar dari galeri musik Satria, menemani Naya yang begitu antusias di kursi supir. Sesekali, Satria pun ikut mendendangkan lagu itu, kebanyakan dengan bisikan-bisikan. Lebih sering dia hanya diam, melihat GPS yang sekarang sudah tidak jelas arahnya.
We're driving fast in my car~
We've got our riot gear on,
But we just want to have fun~Nyanyian Naya lebih keras dari suara Hayley Williams di speaker. Tubuhnya berjingkrak meski tidak akan kemana-mana. Gigi kelincinya mulai terlihat. Satria bahkan baru sadar perempuan itu punya dua kacip besar karena senyumnya baru melebar setelah dia mengubah rute jalan.
"Seneng?" tanya Satria. Yang ditanya menjawab dengan mengangguk cepat, tapi perkataannya tetap berisi lirik lagu yang ingin dia habiskan.
Setelah euforia itu mereda, Naya kembali menjadi dirinya sendiri.
"Udah nyanyinya?" tanya Satria lagi.
"Yep," tanggap Naya.
"Kalau udah balik lagi ke tol, yuk?" bujuk Satria.
"Nope," Naya menggeleng, dan melanjutkan kalimatnya dalam satu napas, "udah gue bilang kalau kita bakalan kabur. Perjalanan ini bakal lama dan jauh banget, dan lo gak boleh protes. My car, my rules."
Satria menepuk dahinya frustasi, lalu membawa tubuhnya untuk bersandar ke kursi yang sudah dia turunkan menjadi rendah. Lututnya tidak bisa diam, berkali-kali naik turun dan bergetar. Ditariknya napas tiga kali, lambat dan teratur. Sabar, Satria. Sabar. Jangan marah. Lo yang mau ikut, lo harus tanggung konsekuensinya. Matanya kemudian jatuh ke figur Naya, hanya terlihat separuh wajah perempuan itu. Satria sadar sesekali Naya akan meluruskan tubuhnya, sehingga tegap sempurna. Tidak beberapa lama kemudian pinggulnya jatuh kembali ke sandaran, dan rautnya sedikit meringis.
Hal itu sudah terjadi beberapa kali, tapi semakin sering terlihat ketika Naya mengambil giliran mengemudi. Satria pun menegakkan joknya, kini sejajar dengan Naya dan dengan jelas bisa menatap wajahnya. Naya jelas sedang punya masalah.
"Did something happened?" tanya Satria, mengatup kedua tangannya di depan paha.
"Everyhting is fine," katanya. "Gue gak mood aja tiba-tiba."
"Oh, gitu," angguk Satria. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Satria tumbuh dengan kakak laki-laki dan ayah, serta menuntut ilmu bersama kumpulan mahasiswa teknik mesin. Mereka jelas tidak pernah mempermasalahkan mood yang hilang sepanjang waktu. Anehnya, sejurus setelah Naya berkata hal langka itu, otak Satria bersikeras mencari jalan keluar atas masalahnya. Gimana cara bikin Naya seneng? Dengan ponselnya dia mulai mengetik jawaban.
"Nay, ke bukit aja yuk?" sarannya.
Dibalas dengan sangat antusias oleh Naya, "Ayuk!"
------
Salah satu gunung landai milik Kota Udang adalah tujuan mereka. Mobil terparkir rapih di lembahnya, karena kata Satria, esensi dari menikmati bukit adalah usaha dalam mendaki. Maka di sinilah mereka, berusaha menghabiskan tiga level anak tangga untuk mencapai puncak. Naya memegang lututnya di setiap level karena pegal.
"Lambat," ledek Satria, dua anak tangga di atas Naya.
"Diem lo," ancamnya, dengan napas setengah karena lelah.
Untuk mempercepat waktu, dan juga menunjukkan rasa hormat kepada wanita, Satria menyumbangkan satu lengannya untuk dijadikan penopang tubuh ringkih Naya. Dua tangan si puan merangkul lengannya, sehingga mereka dapat melewati anak tangga dengan kecepatan yang sama. Meski sudah mendapat dorongan, napas Naya tidak berhenti menjadi lebih stabil. Dia masih terengah-engah, sesekali berkata hadeh dan heeehhhh tanpa tersadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silih Selindung
Teen FictionDua kerusakan beridentitas Satria Chandrawedi dan Kanaya Basundari, serta 1.007 kilometer yang harus mereka babat habis dengan mobil dan batu bekas untuk menahan kandung kemih supaya tidak kencing. Ini cerita tentang kepala yang tidak bisa bekerja d...