14:36

879 198 39
                                    

Toilet umum di pinggir bukit itu memiliki bau karat yang tidak bisa hilang. Parfum kualitas mahal milik Naya bahkan tidak mampu membuat gatal di hidung lenyap. Belum lagi nyeri di pinggang. Berkali-kali dia mengutuk diri sendiri karena mematikan notifikasi ponsel seluruhnya, dan lupa bahwa peringatan mengenai kedatangan bulan yang ada di alarm kalender. Sekarang dia harus terjebak di sini, mengganti setelan di kamar mandi kotor dengan lantai berwarna saru dengan tanah merah.

Empat sisinya dikelilingi kayu. Cahaya matahari masuk dari lubang-lubang termakan rayap. Naya sedikit bersyukur karena setidaknya dia bisa duduk di WC, tidak lupa dialaskan tisu supaya ia tidak perlu pulang membawa penyakit kulit.

Dia menarik napas, lima kali berturut-turut. Berusaha meredam kekesalan dan air mata. Menjadi perempuan memang sulit. Menjadi seorang Naya lebih lagi. Akan tetapi setelah melihat 13 panggilan tidak terjawab dan 20 pesan dari Janna di gawai bututnya, Naya memutuskan bahwa sepertinya akan lebih sulit menjadi perempuan yang terlibat dalam kehidupannya.

Kanaya, gue iri sama lo. Kenapa lo memilih kabur saat lo disayang semua orang, sedangkan gue kabur hanya untuk nerima kenyataan kalau gak akan ada yang nyariin gue?

Omongan Satria terngiang lagi. Benarkah ia disayang semua orang? Padahal kerap kali ia kira perhatian lebih dari Janna atau kawan-kawan yang lain sebatas karena ia membuat masalah. Memang sudah sering begitu. Entah karena lupa memberi kabar, atau karena lenyap dimakan kesibukan. Sepenting apakah gue? Pikir Naya berkali-kali, sebelum akhirnya menekan tombol telepon di sebelah kontak Janna, dan menunggu jawaban.

Tidak butuh tiga dering, Janna sudah mengangkat telponnya.

"Oh, ternyata lo masih idup."

Yep, jawabannya benar-benar Janna sekali, pikir Naya.

"Lo nelpon gue 13 kali karena ngira gue mati?"

Janna di ujung telepon tengah sibuk dengan es teh manis dan ramen panasnya. Terdengar beberapa bunyi tiupan dan seruput mi selama mereka bercakap. Makanan selalu jadi prioritas utamanya. Jika sebungkus cireng atau Raihan tergantung di ujung jurang, Janna akan meminta Raihan mengambil cireng tersebut, baru membantu sang pacar untuk naik ke tempat yang aman.

"Gak. Gue mau marah-marah tadinya," kata Janna, sambil mengunyah, "tapi gak jadi, soalnya gue udah makan."

Kekehan pelan dikeluarkan oleh Naya. "Oh, iya? Marah-marah tentang apa?"

Terdengar hening sesaat. Kemudian ada suara menenggak air, banyak sekali. Es teh manis itu dihabiskan oleh Janna sebelum dia kembali memasang mode datar di wajah. Semua karena sifat sembrono Naya yang harus membuatnya menghadapi derita, dan mengingatnya lagi.

"Lo bisa-bisanya pergi ke Banyuwangi gak izin ke pacar lo sendiri? Sampai-sampai gue harus ngasih tau dia lo kemana?"

Teror dalam raut Naya terpampang begitu jelas. "Lo ngasih tau Theo gue pergi ke Banyuwangi!?" pekiknya, hingga membuat Janna harus menjauhkan ponsel dari telinga.

"Iyalah, lo kayak gak tau Theo aja seremnya kayak apa kalau gue gak laporan. Lagian lo juga kenapa gak laporan? Lo pacar apa Bang Toyib sih, kerjanya kabur-kaburan."

Alih-alih menjawab pertanyaan dari Janna, Naya mengucek matanya dan menghela napas kasar. "Aduh, sekarang pasti dia bakalan nyusul gue."

Kanaya, gue iri sama lo. Kenapa lo memilih kabur saat lo disayang semua orang?

Lagi-lagi, suara Satria kembali terputar dalam otaknya.

Mungkin apa yang disebut Satria sebagai rasa sayang itu, telah dianggap Naya sebagai beban. Ia pernah baca bahwa untuk menyayangi seseorang, kita harus menyayangi diri sendiri. Tentu, Naya sangat suka pada dirinya, ia senang menjadi apa adanya. Namun bersama orang yang "katanya" sayang kepadanya, dia sama sekali tidak pernah menunjukkan jati dirinya itu. Naya yang kadang berubah arah, yang sembrono. Lantas, siapakah yang benar-benar mereka sayang?

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang