The Way They Walk

1.6K 215 81
                                    

"Naya, apa kamu keberatan kalau aku tutup teleponnya?" tanya Satria sambil mengapit gawai antara telinga dan pundak. Kedua tangannya mengetik untaian kata-kata ilmiah, lancar jaya karena otak dan perut sudah kongkalikong dengan mi rebus.

"Oh, yaudah gapapa," sahut Naya, dan keduanya sama-sama mengucapkan selamat tinggal.

Satria juga tidak ingat sejak kapan malamnya dipenuhi oleh panggilan-panggilan telepon dari Naya. Awalnya saja yang dia ingat, Satria menelpon karena terlalu malas untuk mengetik solusi masalah Naya dengan Theo (lagi). Begitu masalahnya usai, ritual menelpon itu masih berlanjut. Semenit berhanti satu jam, lo-gue beralih menjadi aku-kamu.

Selain perubahan waktu dan bahasa, Naya merasa Satria tidak berubah banyak. Dia masih suka mendatangi Naya untuk sekedar menaruh telapaknya di kepala, tersenyum, dan berkata bahwa dia akan berada di kantin bersama Raihan. Dia masih memberi banyak pelajaran yang otak Naya tidak bisa tempuh. Satria pun masih setia menggodanya karena memakai kalung bandul matahari itu kemana-mana.

Satria tahu sebagian dari hatinya sudah setuju bahwa dia menyukai Naya. Teman-temannya tahu itu. Ibunya tahu itu. Bahkan Naya sendiri pun tahu itu. Caranya berkata selamat malam selalu dilantunkan, bagai sebuah pengakuan. Saat dimana motor mengkilapnya dikorbankan demi menjemput Naya di teater. Waktu yang dihabiskan Satria untuk menemani perempuan itu melakukan apapun. Semuanya adalah teriakan, terlalu bodoh jika Naya tidak mendengarnya.

Sedangkan Si Gadis Bumi mempunyai bahasa yang berbeda. Itu adalah kebiasaannya menggenggam tangan Satria di saat-saat paling sulit. Bagaimana Naya memberi hadiah kamera saat ia tahu bahwa mimpi Satria adalah menjadi seorang produser. Tidak pernah ketinggalan setiap cerita yang Naya sebarkan, ada nama si pria di dalamnya. Satria begini, Satria begitu. Sedikit demi sedikit, dunia mereka berdua menyatu.

"Lo apa gak bosen sama Satria, Nay?" tanya Janna di suatu waktu.

"Gak lah, emang kenapa?"

"Gini-gini aja hubungan lo. Gak ada kepastian."

Emang kenapa kalau gini-gini aja? Pikir Naya dalam hati. Dia rasa tidak ada yang perlu diubah. Hatinya tidak akan kemana-mana, tapi bukan berarti dikekang dan terpaksa. Hari-harinya dilewati dengan bahagia, bersama Satria yang sama senangnya menjalankan peran sebagai 'bodyguard 24/7 Kanaya Basundari.' Kepastian tidak berguna, karena semua juga akan sama saja.

Namun ternyata pikiran Naya dapat berubah hanya karena satu peristiwa.

"Besok aku sidang akhir!" Pelukan Satria menyerbunya ketika mereka bertemu pertama kali di dekat taman menuju gedung teater. Tangan Satria masih memegang segepok kertas berisi materi presentasinya dari beberapa menit yang lalu.

Naya tercengang. Sidang terakhir. Semua akan berakhir.

Hari-hari Satria di Universitas Sabda Palon, di kota ini, akan segera berakhir.

"Ayo aku traktir makan. Sekalian selebrasi karena Satria Chandrawedi berhasil melawan hawa mager," ajaknya, menggenggam tangan Naya yang lentik dan tidak bertenaga, sama seperti wajahnya. Tapi Satria tetap menuntunnya, melangkahkan kaki bersama menulusuri jalan menuju kantin.

"Wah. Cepet juga udah mau sidang akhir, ya?" sahut Naya, matanya hanya fokus pada langkah mereka. Meski warna-warna rumput liar sudah mengering dan bunyi burung pipit berkicau tenang, Naya lebih memilih mengantukkan kepala.

"Iya. Padahal rasanya kayak baru kemaren aku turun ke jalan, diomelin rektor sama DPR."

Naya mendenguskan napasnya. "Aku sempet lupa kalau track record kamu emang segede itu. Bukan dosen lagi mainnya, tapi DPR."

"Bener. Gede banget. Prospek kerjanya juga. Tinggal jual nama 'Mantan Ketua BEM USABLON' semua tempat udah pasti semua tempat mau nerima."

"Semua... termasuk di Rumah?" Genggaman tangan Naya berubah lebih mirip seperti cengkraman. Mengatakan bahwa mereka harus berhenti, untuk sementara. Satria mengerti hal itu, dia juga tahu perilaku Naya menggigit bibir punya arti bahwa sesuatu telah mengganggunya.

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang