Setelah 2 jam perjalanan sunyi, mereka tiba di Banyuwangi.
Keadaan dalam mobil tidaklah secanggung yang kalian bayangkan, mengingat sedetik setelah Naya duduk di atas kursinya, awan mimpi langsung membawa kesadaran pergi. Nama tempat untuk mengembalikan tumpukkan properti di bagasi sudah Naya setel ke GPS Satria bahkan sebelum mereka tancap gas. Semua baik-baik saja.
Tempat peminjaman properti itu terletak di sebelah hutan bambu. Hawa dingin nan melambai kulit lembut beralaskan dedaunan kering. Sebuah gudang tua dengan pintu baja, tinggi dan kokoh. Isinya khusus benda-benda tidak penting, karena rumah teater yang meminjamkan lebih terletak di tengah kota. Pak Bambang, pemiliknya, menyambut Naya dengan ramah dan meminta tiga anak buahnya untuk membersihkan bagasi si mobilio.
"Kalian istirahat aja, ada danau kok deket sini. Kalau mau ngademin kaki bisa ke sana."
Rupanya definisi dekat orang desa sangatlah berbeda. Sekitar 10 menit berjalan kaki, sumber mata air itu akhirnya terlihat di ujung tanah daun kering. Setelah ditinjau ulang, danau itu berwarna hijau dan berair jernih. Ikan sapu-sapu damai menempel di bawah batu, mengemut lumut-lumut yang tumbuh dan tenggelam. Bersamaan dengan lintah tersembunyi, siap untuk memakan kaki siapa saja yang datang. Mungkin ada beberapa ikan jenis air tawar, namun bersembunyi di bagian terdalam dari kubangan besar itu.
Satria berjongkok di pinggiran danau, mengambil beberapa percik air dan mengarahkannya ke Naya. "Biar gak merengut mulu," begitu katanya. Naya memutar kedua irisnya, sembari membersihkan sisa air yang mengenai wajah. Dingin, sama seperti hawa Banyuwangi siang ini.
Lemparan batu pipih mulai meluncur ke danau. Satria berhasil membuatnya memantul sekali dua kali, paling banyak tiga. Naya memilih tidak ikut, toh otot tangannya yang lemah hanya akan membuat batu itu mendarat dan tenggelam. Dia memilih memperhatikan, menghitung tiap pantulan batu dengan tangan terlipat.
"Isn't it fascinating?" tanya Satria.
"Apa yang menarik?" jawab Naya.
"Ngeliat benda sekeras batu bisa digerakin oleh air." Satria melempar batu pipih yang lain. "Kalau dipikir-pikir, kita juga mirip kayak gitu. Berawal dari makhluk keras kepala yang lama-lama sadar kalau kita enggak nentuin arah kita kemana sepenuhnya. Kadang, justru keadaan yang nentuin kita harus ke mana."
"Kita ini makhluk hidup, Satria. Gak bisa disamain kayak batu."
"Ini namanya analogi, Kanaya. Think about it," Satria berhenti dengan aktifitas melempar batu, memilih berdiri menghadap si perempuan yang berdiri tegap serta membisu, "Berapa banyak waktu dimana kita ngerasa kalau kita yang harusnya megang keputusan dalam hidup, tapi ternyata hidup gak berjalan semudah itu?"
"Few times, yes."
Jawaban Naya menyambut sunyi yang tercipta antara mereka berdua. Masing-masing memilih melihat ke arah air, yang tidak bergeming dan damai. Sembari berkaca tentang empat hari yang telah mereka lewati, dan yang akan berakhir sebentar lagi. Burung camar melintasi awan-awan, memberi bunyi untuk setiap momen yang mereka reka ulang dalam pikiran.
"I'm sorry. Gue tau maksud lo ngomong gitu karena lo merasa tingkah gue tadi pagi memberatkan pilihan lo buat tinggal di sini," tutur Naya, melihat ke arah manapun kecuali ke mata Satria. "Gue gak pandai mengutarakan apa yang gue rasain ke orang."
"Seenggaknya coba dulu."
"It sounds ridiculous."
"Emang hati bunyinya gitu," kata Satria, memberikan sebuah batu pipih kepada tangan Naya. "Sampai kapan pun, bunyi suara hati lo akan kedengeran konyol, karena hati emang gak pernah akur sama logika. Tapi walau konyol, bukan berarti suara itu gak penting. Bisa jadi, justru suara hati lo yang sedang orang lain butuhin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Silih Selindung
Teen FictionDua kerusakan beridentitas Satria Chandrawedi dan Kanaya Basundari, serta 1.007 kilometer yang harus mereka babat habis dengan mobil dan batu bekas untuk menahan kandung kemih supaya tidak kencing. Ini cerita tentang kepala yang tidak bisa bekerja d...