17:17

887 192 22
                                    

Satria kenal siapa pacarnya Naya.

Theodorus Valerio. Tahun terakhir di Jurusan Teknik Informatika. Biasa berangkat naik motor CBR merah yang knalpotnya berisik. Sewaktu masa OSPEK, Theo sangat familiar karena menjadi korban pangkas rambut kating di alun-alun kampus. Rambut berwarna merah menyala dan kasar itu dianggap menantang kedisiplinan, serta memperjelas sifat songongnya.

Satria juga tahu kalau Theo tidak pernah absen nonton pentas Teater Wirasa sejak tahun pertama. Ada seseorang bernama Johnny, korban ajakan Si Theo sepanjang tahun, yang kebetulan satu jurusan dengan Satria. Rumor beredar Theo sedang mengincar kakak tingkat, produser teater waktu itu, tapi entah kenapa nama Kanaya Basundari menjadi pemberhentian terakhir kereta asmaranya.

Naya jarang terlihat di fakultas si pacar, setidaknya Satria kira begitu. Dia pernah mendengar dua kali saja seorang Ratu Teater mampir ke Fakultas Teknik. Pertama, katanya mau mengantar bekal, terjadi saat masa-masa awal jadian. Terakhir terjadi beberapa bulan lalu, hal yang sama, namun dengan sedikit gerutu di wajahnya. Theo yang lebih sering mampir ke FISIP, dengan atau tanpa maksud. Satria tahu ini karena setiap pria itu mampir, Joshua akan menggerutu menimbang sifat keduanya tidak benar-benar cocok.

"Dia tuh agak sotoy, kalau menurut opini gue." Begitu kata Joshua. Tidak ada informasi lain.

Satria sendiri belum pernah punya percakapan sungguhan dengan Theo. Namun, dia yakin lelaki itu tidak terlalu buruk. Sosial medianya—ya, Satria memang follow akun instagram Theo—dipenuhi banyak foto bagus, kebanyakan diambil lewat kamera film. Dia punya highlight khusus untuk Naya. Judulnya kosong, namun terpampang senyum gigi kelinci si gadis sebagai cover album itu.

Kampus menyebut mereka sebagai Couple of The Year. Mungkin karena sama-sama terkenal, atau mungkin karena dua-duanya cocok dilihat bersama. Mana pun alasannya, saat ini Naya sedang bersama Satria. Bukan Theo. Bukan pacarnya. Bukankah itu adalah hal aneh?

"Pacar lo gimana kabarnya?"

Pertanyaan dari Satria menghentikan aktivitas Naya. Hujan yang turun deras di luar membuat seluruh kaca berembun. Jemari lentik miliknya menelusuri endapan air itu, membentuk berbagai macam panorama: gunung, sungai, sawah. Naya baru saja akan menggambar burung camar berbentuk huruf "M" diberi garis, sebelum akhirnya menjawab, "Baik, kayaknya."

"Lo kenapa gak berangkat bareng dia aja, Nay? Kan seru, liburan sama pacar," lanjut Satria.

Naya mengeluh, "Kalau berangkat bareng dia, dua hari juga udah nyampe di rumah. Dia gak akan mau pake mobil ke sana, membuang waktu katanya."

Satria mengangguk.

Dulu padahal gak gini. Bila properti-properti berat itu harus dikembalikan dua tahun yang lalu, mungkin Satria tidak ada di sisinya sekarang. Theo akan mengemudi dengan cepat, sehingga mereka sampai tujuan sesuai rencana.

Naya jatuh cinta kepada Theo saat dunianya sesak. Terlalu kecil, bahkan belum banyak ruang untuk dirinya sendiri di sana. Theo datang seperti angin ribut. Meruntuhkan dindingnya satu persatu. Namun di setiap angin ribut, selalu ada cuaca cerah yang hangat.

Theo tau lebih banyak. Dia tahu cara kerja dunia seperti apa. Dia tahu apa yang harus Naya lakukan dalam mengambil langkah. Tanpa ragu dia memberi tahu kenyataan itu pada Naya. Lama kelamaan dunianya lapang, sampai ujung batasan itu tidak lagi terlihat oleh matanya. Theo menghancurkan batasan itu untuk Naya, menghancurkan apa yang menurutnya tidak bisa menjadi bisa.

Akan tetapi, bila tidak ada dinding lagi yang tersisa, maka apa yang tornado hancurkan?

"Have you ever unliking someone for the same reason you like them?" gumam Naya tanpa sadar.

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang