07:25

802 177 35
                                    

Tidak ada yang bisa membangunkan Naya selain aroma bumbu dapur pada pukul 5 pagi.

Tubuhnya menggeliat, sampai seluruh sendi mengeluarkan suara kretek-kretek. Matahari belum sepenuhnya siap untuk bekerja, namun langit sudah mengganti baju dengan warna biru dongker. Tirai di atap kamar Satria sudah tersibak, entah sejak kapan. Keberadaan si lelaki juga tidak ada di atas matras udaranya, entah sejak kapan.

Langkah gontai Naya memilih untuk langsung menghampiri dapur. Ruang itu jauh lebih terang dari kamar lain, mata enggan terbuka menyambut antusias lampu. Pria yang dipertanyakan tadi sudah duduk di atas meja makan kayu, dengan mangkok panas yang isinya diaduk-aduk. Satria sadar bahwa rekan perjalanan—dan menginapnya—sudah bangun, tapi sapaan tidak dituturkan. Prioritasnya hanya tertuju pada si bubur jagung dan potongan ayam.

Bahkan belum satu suapan dicicip, tangan Naya sudah mengambil sendok.

"Heh," tepis Satria, ketika perempuan itu mulai ikut terjun untuk makan, "Kebiasaan banget suka minta. Ambil sendiri di panci. Gue masak dua porsi."

Naya mendesis, tapi kemudian menurut dan segera mengambil sup dari panci yang masih duduk manis di atas kompor. Satria menyisakan lima ciduk untuknya, lengkap dengan ekstra telur rebus yang belum dikupas; makanan wajib Kanaya setelah bangun tidur.

"Lo masak sendiri ini?"

Satria mengangguk.

"Enak," jawab Naya setelah menghabiskan setengah porsi. "Resep Tante?"

"Bukan. Mama mana bisa masak? Ini sih resep Si Mbah."

"Nenek lo?"

"Si Mbah. Mbah Google maksudnya."

Naya mengangguk dan terkekeh.

"Si Tante apa gak kita bangunin aja? Nanti marah lagi kita makan duluan."

Sendok yang dipegang Satria sudah kembali terbaring di atas meja. Sembari dua tangan membentuk tanda silang dan menggeleng keras, dia menjawab, "No, you wouldn't want to wake my mom. Dia galak banget kalau tidurnya keganggu. Kerja malem soalnya."

"Iya, kah? Kerjanya apa?"

"Penjaga bar."

Nyaris saja Naya menyemburkan kuah sup. Untung masih sanggup dia telan, tetapi terlalu cepat, sehingga menimbulkan batuk-batuk basah yang membutuhkan lebih banyak air untuk menyembuhkannya.

"Loh? Kok kaget? She's just a bartender, not the whore."

"Ya tapi tetep aja gak biasa, Satria," komentar Naya sambil memukul-mukul dadanya, mengeluarkan sisa angin yang mungkin masuk dan menetap, "Gak heran dia seneng banget minum wine."

"Gak heran juga dia gak bisa ngurus diri sendiri," tambah Satria.

Setelahnya, Naya mendapat giliran menyuci piring. Dengan tangannya yang menyentuh air dingin, kini Naya bisa melek mata betul-betul dan tidak perlu kembali lagi ke tempat tidur. Beda halnya dengan Satria. Dia kembali berleyeh-leyeh di atas sofa, menelusuri channel TV yang kebanyakan diisi kartun anak-anak atau berita pagi.

Tidak butuh waktu lama bagi Satria untuk meminta, "Nay, jalannya sorean aja, ya. Gue mau nguli."

Dan tentu Naya menyahut, "Hah, nguli apaan?"

Lantas, Satria langsung menunjuk ke arah halaman belakang. Tangannya bermaksud meng-highlight sebuah bangunan setengah jadi yang ditopang dua buah pohon sawo tinggi.

------

Satria menyebutnya Storge Station, karena rumah pohon itu pertama kali dibangun bersama sang ibu waktu dia kabur untuk yang ketiga kalinya. Bertahun-tahun bangunan itu tidak pernah jadi, namun Satria bercerita bahwa dia mulai membangunnya kembali sejak satu tahun yang lalu.

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang