05:36

859 179 21
                                    

Tidak butuh waktu lama bagi panggilan itu terhubung, jaraknya setengah dering.

Dari telinga Naya terdengar suara serak yang sudah sering didengar setiap pagi. Sejak mulai aktif merokok empat tahun lalu, Theo memiliki nada yang sangat rendah dan kadang terdengar kering. Beberapa kali dia ingin berhenti karena hal itu, tapi seiring waktu, sisi buruk dari kecanduan sebatnya itu tidak terdengar merugikan. Jadi, Theo berhenti mencoba.

"Oh, udah mau ngomong sekarang?" sindirnya.

"Yes, Theo. Kata Joshua kamu punya hal penting buat diomongin?" Naya membenarkan bantal lehernya, sudah bersandar benar ke jok dengan nyaman, "you better hurry, cause I want to sleep."

Tanpa jeda, Theo menjawab, "I want to break up with you."

Banyak yang harusnya terlintas di pikiran Naya pada saat itu. Bisa jadi wow, akhirnya gue gak perlu menghadapi ini manusia lagi atau loh, baru malam ini dia muaknya. Masalahnya, kalau yang baru saja berakhir adalah hubungan selama 2 tahun, maka yang terlintas di pikiran semua orang pasti pertanyaan yang sama.

"What? Why?"

Theo lagi-lagi menjawab cepat. "Kok masih nanya? Naya... You went to Banyuwangi without telling me! Itu gak deket jaraknya! Dan kamu pergi sama siapa? Aku kenal gak orangnya? Enggak! You went with a total stranger, plus that he's a man. Kamu ngasih tau Joshua sama Janna hal ini sedangkan aku... enggak? Kamu tau gak itu artinya apa?"

Naya meresponsnya setengah hati. "Apa?"

"Tandanya kamu nempatin aku lebih rendah dari temen-temen kamu."

Sebenarnya Naya ingin mengeluarkan protesnya di tengah jeda yang telah diambil Theo. Tidak ada yang kedudukannya lebih tinggi, atau lebih rendah. Menurutnya, mengurutkan kadar kepentingan seseorang sangatlah jahat sekali. Semua orang yang telah ada di hidupnya dia anggap penting. Theo, Janna, Joshua, bahkan Satria.

Namun keengganan untuk mengatakan hal itu semakin kuat karena Naya tau, justifikasi tidak akan membawa mereka kemana-mana.

"Aku minta maaf karena gak ngomong dulu kalau aku pergi, tapi Theo... You told me I have to choose my own way and this is what should I do! Ini tanggung jawabku sebagai Ketua Teater buat—"

Sayangnya kalimat itu tidak berhasil Naya selesaikan karena Theo sudah menyerobot dengan premis utamanya: "Udah berapa kali aku bilang, sih? You won't get anything from theatre! It's no use anymore! Mungkin satu-satunya yang kamu dapetin cuma cowok baru yang lagi nyetirin kamu sekarang."

"So you're saying..."

"Yes. I'm saying you already find my replacement, considering how fast for you to replace things before."

Ucapan Theo seperti pedang yang menusuk dan terputar. Seketika kenagngan baik tentang pria itu menghilang dari pikiran Naya. Tersisa saat-saat dimana mereka berteriak ke arah masing-masing, argumen-argumen tidak masuk akal, harapan-harapan yang tidak dapat terkabul, dan masa depan yang terencana bukan sesuai keinginan Naya.

Meski begitu, Naya benci bagaimana dia masih ingin memberi Theo kesempatan.

"How can you assume I'm replacing you? Don't you trust me?" tanya Naya, dengan suara goyah dan berair.

"No, I don't," Theo menjawabnya datar, "Kamu adalah orang terakhir yang paling bisa aku percaya untuk ngambil keputusan, Naya. We both know that."

Salah lagi. Naya baru tahu kalau dia sangat tidak terpercaya.

"I'm a grown ass woman. I know what should I do on my own!" bela Naya.

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang