01:01

890 174 50
                                    

Sama halnya seperti mahasiswa lain yang mendaftar sebagai anggota Teater Wirasa, Naya memulai tahun awalnya sebagai tukang angkat barang. Biasanya dia kebagian angkat-angkat karung goni berisi pasir seberat 20 kilo. Kalau beruntung, dia mendapat papan kayu yang dipakai sebagai rongga latar kardus. Dengan menjadi tukang angkat barang itu, dia selalu punya dua kesempatan untuk melewati depan panggung—ketika datang dan ketika pergi.

Di dua kesempatan itu, dia selalu diam untuk sesaat. Empat lampu sorot menyala dan mengarah ke satu titik tengah pada panggung megah. Tempat dimana dia selalu ingin berdiri, menyanyikan Send in The Clowns atau Don't Cry for Me Argentina dengan atau tanpa penari di sekitarnya.

Di dua kesempatan itu dia selalu melihat Kak Sasikirana. Mengaguminya yang diserang spotlight dan selalu bersinar.

Dua tahun setelah masa angkat beban itu, Naya akhirnya juga punya kesempatan.

"Di akhir semester ini gue akan ngegarap angkatan kalian. It's time for one of you guys to be the star. Pentas yang kita akan lakukan adalah; Alice in Wonderland," kata Kak Sasikirana, mengumpulkan mereka semua melingkar duduk di panggung.

Jangka waktu seminggu untuk latihan itu Naya pergunakan 3/5 waktunya untuk mempersiapkan diri menjadi Alice: gadis kecil berambut pirang yang terperosok ke lubang kelinci ajaib. Dia berlatih. Sampai lupa tidur, sampai lupa makan. Beberapa kali pun Joshua perlu mengingatkannya untuk tetap berkumpul di ruang teater. Semua anak positif bahwa Naya adalah pemeran utama selanjutnya.

Sayangnya, semesta berkata hal lain.

"Naya, you got the role Red Queen." Manuskrip setipis makalah disodorkan ke tangannya oleh si Ketua Teater.

Ratu Merah. Perempuan dengan kepala besar yang merupakan tokoh antagonis kisah tersebut, itu yang harus Naya perankan.

"Ini bener, Kak? Tapi kan saya audisi buat jadi Alice kemarin?" protes Naya.

"Iya, tapi Alice udah aku kasih ke Zahra perannya. Kamu lebih cocok jadi Red Queen."

Luapan kecewa yang Naya dapat membuatnya menghabiskan sisa jam kegiatan teater itu dengan merenung di kursi penonton paling belakang. Melihat kertas berisi dialog-dialog keji yang tidak bisa berubah. Merasa matanya semakin buram tertutup air yang datang sendirinya.

Sampai suara berat datang duduk di sebelah Naya.

"Ditolak juga sama Kak Sasi?"

Naya menoleh. Dia menemukan lelaki dengan setangkai mawar merah di tangannya, berplastik rusak sana-sini. Pasti terinjak. Pria itu berambut sedikit ikal dan urakan. Hoodie hitam bergambar monyet khas band Gorillaz itu menambah kesan suram dalam rautnya. Namun entah mengapa, Naya merasa pria ini tidak galak sama sekali, melihat dari tingkah spontan main duduk di sebelahnya.

"Emang gue bolehin lo duduk di sini?" jawab Naya.

Dia melengos. "Well, I thought you might need some company. Lo nunduk aja dari tadi, karena gue juga lagi sedih jadi gue pikir... why not just sharing our sadness together?"

"You're nuts."

"No. Gue Theo. Theodorus Valerio," katanya, sambil menjulurkan tangan. Dia punya senyum seperti anak kecil, karena gigi rapihnya selalu terlihat. Naya membalas jabatan tangan itu, sambil mengutarakan namanya. Theo punya tangan kasar. Sangat kasar, sampai Naya harus memeriksa apa jarinya tergores kulit kapalan.

"Sorry about that. Di fakultas teknik kebanyakan anak-anaknya punya tangan kuli."

"Oh, lo yang digosipin pacarnya Kak Sasi itu?" ujar Naya setelah sadar.

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang