18:34

840 175 55
                                    

Saat giliran mengemudinya kembali tiba, Satria membawa mobil keluar jalur.

Awalnya Naya membiarkan hal itu terjadi. Ada banyak kemungkinan kenapa Satria memilih berbelok lebih awal. Mungkin karena dia lapar dan menginginkan restoran bagus yang tidak terletak di rest area bau pesing. Bisa juga karena dia mau menunjukkan salah satu rumah kenalannya yang terletak di dekat jalan tol menuju arah sini. Yang lebih masuk akal sekali, Satria memang ingin berhenti mengambil jalur cepat, dan menikmati jalanan pedesaan Kota Batu serta lima jam sisa waktu mereka sampai ke Banyuwangi.

Langit magenta dan awan tipis menyambut sore mereka, pemandangan itu rawan berubah karena kecepatan si mobilio hampir serupa dengan sepeda ontel di sebelah. Siulan santai dari Satria menambah kepastian bahwa dia tidak akan berbicara jika tidak ditanya.

Rasa penasaran Naya pun membuatnya menyerah.

"Lo mau nyulik gue ke mana?" tanyanya.

Siulan lagu Cublak-Cublak Suweng yang hampir selesai satu baitnya berganti dengan dengus tawa yang ditahan. Satria tersenyum lebar, membuat dua mata menyipit seperti tertusuk kilauannya sendiri. "Dari awal gue yang di culik di sini, sekarang gue sedang mencoba bikin penculik gue seneng," jawabnya.

"Kenapa lo mau bikin gue seneng?" tanya Naya lagi.

Satria merasa bahwa hal itu adalah kewajiban. Walaupun gejala patah hati ( re: 3G, galau gundah gulana ) belum terlihat hadir pada diri Naya, rasa-rasanya salah jika menganggap apa yang tidak ada itu benar-benar tidak terjadi. Naya masih lah seseorang yang baru kehilangan dua tahun kenangan indahnya. Jika dia tidak bisa menangis karena sedang berkendara dengan orang asing, maka Satria merasa punya kewajiban untuk membuatnya selalu tertawa.

"Serius, lo mau bawa gue ke mana?" selidik Naya.

"Rumah," adalah jawaban Satria.

Semakin lama mobil hitamnya semakin masuk menuju jantung kota. Kompilasi jalanan bata dan kabel-kabel listrik yang kendur memenuhi kanan-kiri mereka. Pengamen cilik sudah mulai bangkit dari waktu bersantai, ketika mentari benar-benar tidur mereka semakin banyak jumlahnya.

Lampu jalan berwarna kuning dan putih mulai berkobar. Tikar-tikar pemilik warung angkringan sudah hampir melewati trotoar. Kenapa malam selalu terasa seperti menyambut kedatangan hamba Tuhan? Di saat itu semua mulai turun ke jalan, demi secangkir kopi atau sejumput uang. Naya dan Satria adalah segelintir yang lewat sahaja, tapi jiwanya tertinggal di antara mereka; terpikat pada kehangatan bulan dan ramah-tamah orang-orang itu sendiri.

Sampai akhirnya, mereka menepi di sebuah gedung yang agak tua. Perpaduan cahaya kuning dengan cat merah memanggil seluruh rakyat untuk berkumpul di sana. Dentum musik gamelan bahkan sudah terdengar dari titik mereka parkir dan mencopot sabuk pengaman. Sebuah gedung kesenian, tempat yang Satria sebut sebagai rumah.

Mereka duduk di pojok belakang. Entah dari mana Satria mendapat dua tiket pertunjukkan itu, mungkin tiba-tiba muncul dari kantongnya. Naya berteori bahwa dia sudah membeli sejak sebelum pergi, tapi melihat cetakannya yang masih halus, sepertinya tiket itu baru diambil tadi sore. Tidak terlalu buruk harganya, 20.000 untuk sepasang bangku berbantalan merah yang sering ditemukan di kondangan. Harga terjangkau itu juga yang membuat si studio terisi secepat kilat, apa lagi katanya ini malam terakhir pagelaran.

"Kita mau nonton apa, sih?" tanya Naya, setelah 15 menit menunggu si tirai terbuka. Satria menangkap ucapannya kurang jelas, maka dia meminta Naya mengulangi pertanyaannya, dengan telinga yang sudah didekatkan kepada wajah perempuan itu untuk memudahkannya kali ini. Dari jarak mereka yang menipis, Naya bisa mencium aroma Satria yang selalu dikatakan Joshua sebagai bau "khas". Campuran pelembut pakaian dan minyak bayi, sesuatu yang tidak bisa ditemukan di tubuh pria dewasa pada umumnya.

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang