02:12

803 186 52
                                    

"Jangan tidur dulu, tanggung," kata Satria kembali menangkup pipi Naya dengan satu tangannya.

Semenjak mengetahui bahwa pipi perempuan itu terasa lebih kenyal dari kelihatannya, Satria mulai memasukkan agenda menangkup pipi ke dalam daftar hal yang Satria ambil dari perjalanan menuju Banyuwangi. Tingkat keseringannya memang masih jauh dari menumpuk tangan di atas kepala Naya, tapi jauh lebih sering dari membeli ekstra satu bungkus makanan yang ia suka, karena Naya kalau meminta suka tidak tahu diri.

"Mau kemana lagi sih kita?" keluh Naya yang nyawanya tinggal setengah.

"Gue udah dua hari tidur di mobil. Pegel. Kita cari tempat tidur yang enak kali ini."

Naya terkesiap, "Lo mau ngajak gue ke hotel? Dasar laki-laki kurang ajar—," lalu memukul lengan Satria bertubi-tubi.

"Hush, sembarangan. Emang gue cowok apaan? Gue juga gak punya duit buat bayar hotel," ujarnya sambil menghindari pukulan-pukulan itu.

"Terus kemana? Jangan sok misterius deh, Satria. Udah malem banget, dan lo sama sekali belom masuk tol. Lo mau nyulik gue beneran, ya? Sumpah, Om gue ada yang kerjanya jadi polisi, jangan sampe gue telpon, nih."

"Relax, girl. Santai dulu, bisa? Kita ke rumah gue di Jember. Gue udah ijin Ibu Negara."

Mereka sampai sekitar pukul dua lewat sedikit. Rumah itu di cat biru seperti laut, dan sudah berlumut di sana-sini. Halamannya yang luas membuat sebuah mobil terparkir dengan aman dan meninggalkan sisa beberapa meter untuk bermain bulu tangkis. Rumput liarnya sudah hampir menyentuh jendela, lebih mirip alang-alang kalau tanya pendapat Naya.

Rumah itu berpintu kayu tua yang bau pernisnya sudah hilang, setiap dibuka akan berderit. Meski sudah tua sekali, senyum Satria tidak pudar saat semakin dekat dengan pintu itu. Dia bahkan punya kuncinya, terbuat dari perunggu—mungkin juga dari besi, namun sudah terlalu karatan, Naya tidak tahu pasti.

"Semoga aja Ibu gue udah tidur, jadi kagak ribet kenalan," bisik Satria sembari membuka si pintu.

Sayangnya, sesosok perempuan paruh baya itu sudah menunggu di ruang tamu yang terhubung langsung dengan tempat mereka berdiri. Dia terlunjak, bangkit dari kursi ukir tua tanpa peduli bahwa tangannya masih memegang separuh gelas wine. Perempuan itu hanya setinggi bahu Satria, maka untuk memeluknya dia butuh berjinjit.

"Oh, My Little Sunshine! Kok baru dateng? Untung Mama belum tidur. Mau ngapain dulu? Mandi atau makan? Udah makan belum? Kalau belum mama angetin rawon ya, tadi siang Mama beli. Atau mau langsung tidur aja? Ih kamu nyetir berapa jam? Pegel? Mau direbusin air anget?" Pertanyaan itu bertubi-tubi ia ucapkan, sembari mengelus pipi Satria yang terkekeh mendengar keributannya. Tiba-tiba matanya terarah kepada Naya. "Well, Hello? Siapa ini? Kok gak bilang mau bawa cewek kamu ke sini?"

Naya menatap horror sorot tajam dari Mamanya Satria. Sebenarnya Si Mama tidak ketus, tapi bentuk eyeliner-nya yang runcing cukup membuat Naya terpojok. Untungnya, Satria dengan sigap menjawab, "This is Kanaya. Kanaya, kenalin ini ibu gue. Also, Mah, she's not my girlfriend," Satria mendekat ke telinga Ibunya dan berbisik, "Dia baru putus sama pacarnya kemaren. We should be nice to her." Tentu saja itu masih terdengar jelas di telinga orang sekitar.

"Oh, Dear. What an awful situation! Mau wine?" tawar Si Mama.

Kini Naya tahu senyum cerah milik Satria didapat dari siapa. Ibunya punya senyum yang persis seperti itu. Dengan gusi terlihat dan mata menyipit, Si Mama menyodorkan gelas yang dari tadi ia bawa ke depan tubuh Naya. Naya menjawab dengan helaan napas berat, dan mengangguk, "Yeah, I do need few sips of that reddie."

"Yeah you do. Ayo masuk, ada beberapa botol lagi di belakang. Nanti kita cerita-cerita. Biarin Satria ini mandi dulu, baunya udah kecium dari sebelum buka pintu," decih Si Mama sambil merangkul Naya ke belakang, meninggalkan Satria yang terbengong di depan pintu.

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang