20:21

859 189 51
                                    

Satria makan seperti dia dalam perang.

Semangkok indomi kari ayam, lengkap dengan telor dan tambahan nasi, habis tidak sampai sepuluh menit. Lidahnya kebal panas, hanya butuh tiga tiupan untuk memasukkan mi mengepul itu ke perut. Saat makan pula dia tidak awas. Matanya hanya mengarah pada mangkok, sendok, dan si kudapan sendiri.

"Buset. Doyan atau laper?" tanya Naya, tidak dapat menahan satirnya.

Satria, dengan wajah berkeringat dan hidung meler karena uap panas dari kuah mi, menjawab sambil tersenyum malu, "Sorry. Kebiasaan."

Bukan hanya mi rebus, seluruh makanan pun dia makan dengan cara yang sama. Naya mungkin terlalu meleng untuk menyadari bahwa hanya butuh waktu 8 menit bagi Satria untuk makan nasi padang di resto tadi siang.

Naya menyeruput kuah ayam bawangnya pelan-pelan, menatap pria yang kini sudah beralih ke kerupuk kulit dengan sengit. Dia bertanya-tanya, kapan Satria akan tersedak.

Jawabannya adalah.... sekarang.

"Ohok!"

Hitungan kunyahan Satria kurang banyak dari yang seharusnya. Suara batuk-batuk itu membuat Naya tersenyum puas. Mampus, rakus sih. Ditunggui Satria sampai berair matanya, barulah Naya mengoper es teh manis setengah gelas untuk membantunya tetap hidup.

"Gak usah buru-buru makanya, itu makanan gak bakalan pergi kemana-mana," omel Naya sembari menunggu Satria menyurutkan si krupuk dari tenggorokannya. Setelah napasnya normal, Satria memukul dada tiga kali, mengeluarkan tahak yang membuat Naya sedikit bergidik.

"Ketika lo tinggal sama dua lelaki disiplin, ngapain aja rasanya kayak dikejar waktu," jawabnya. Satria kemudian meminta abang-abang warkop untuk membuatkan lagi kukubima berwarna ungu, meski dia sudah habiskan satu sebelumnya. Dia menyambung, "I'm used to this kind of life-style; menyelesaikan sesuatu sebelum orang lain selesai. Supaya mereka gak lama nungguin."

"Does that life-style includes kecanduan kukubima energi roso-roso?" delik Naya.

"Kalau itu sih bukan life-style. Gue suka aja minum ini, bikin gak ngantuk. Sama kayak lo suka minum jahe anget sebelum tidur," banding Satria, menunjuk bungkus minuman jahe yang belum Naya seduh isinya. Dia memang menunggu kantuk sebelum melakukan hal itu.

Naya mengangguk. "So, you're living with two guys? Your father and... let me guess, a brother?"

"Yep."

Pria selalu Naya kaitkan dengan rokok dan sifat pengatur. Bagian terakhir sudah jelas tidak ada dalam diri Satria. 12 jam perjalanan yang mereka tempuh semua putusan berasal dari mulut Naya. Sedangkan, untuk bagian pertama, Naya sama ragunya.

Warkop tempat mereka bercakap menampung empat meja panjang, penuh semuanya. Kipas angin berputar lambat dan oleng di atas kepala mereka, dengan banyak lubang-lubang udara di tembok, cocok sekali untuk merokok. Faktanya, seluruh pengunjung tempat itu kini sedang melakukannya. Semuanya, kecuali Satria dan Naya.

"Kakak lo gak pernah ngajarin lo ngerokok?" tanya Naya langsung ke intinya.

Pria itu menggeleng. "Dia berusaha dipandang baik sama Ayah. Dia gak pernah ngelakuin hal-hal yang bikin Asian Parents kecewa."

"How about you? Do you do the same?"

Semenjak Ibunya pergi, Satria pikir Ayah adalah orang paling berharga dalam hidupnya. Imaji Ibunda pergi menggeret koper entah kemana menjadi hal yang paling dia takuti, dan dia tidak ingin hal itu terulang lagi dengan Ayah. Satria selalu mengikuti keinginan sang ayah sebagai akhirnya. Kalau Ayah bilang jadi manusia harus punya guna, dia bekerja keras untuk itu. Jika Ayah bilang jangan pernah mengecewakan, Satria menangis sejadi-jadinya jika dia gagal.

Silih SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang