08. Pamer (1)

560 86 8
                                    

Juan memberi Eisa tempat tinggal baru. Pria itu juga membelikan Eisa baju baru, makanan, dan bahkan menemani Eisa untuk pergi ke dokter. Lalu sebagai gantinya, Eisa harus siap diajak Juan untuk memamerkan isi perutnya, pada kedua orang tua Juan.

Sebetulnya Eisa tak habis pikir dengan isi pikiran Juan saat ini. Ketika kebanyakan orang yang kecelakaan sebelum menikah, akan menyembunyikan rapat-rapat kehamilan sebagai aib, maka Juan dengan wajah terangkat berniat memamerkan isi perut Eisa.

Pria itu meminta para bawahannya untuk melayani Eisa, layaknya seorang wanita bangsawan. Setelah itu, dia menggenggam erat tangan Eisa, dan mengajak Eisa untuk melangkah memasuki rumah besarnya.

"Ayo kita pamerkan isi perutmu hari ini juga," ajak Juan.

Kaki Eisa menginjak halaman rumah Juan, setelah wanita itu turun dari mobil. Matanya memelotot, menyaksikan puluhan bunga mawar tertata rapi, dikelompokan berdasarkan warna bunganya. Mulai dari warna merah, putih, biru, merah muda, putih, bahkan hitam semuanya berjajar indah, bergoyang ditiup angin seolah menyapa kedatangan Eisa ke rumah Juan.

"Juan," panggil Eisa. Eisa menghentikkan langkahnya, ketika melihat air mancur berlapis emas. Wanita itu sebenarnya sudah tak asing dengan berbagai pernak-pernik mahal pada rumah yang dia injak. Namun, Eisa merasa tidak nyaman ketika menginjakkan kaki di tempat ini.

Suasana rumah Juan dan rumahnya dulu berbanding terbalik. Jika mansion Eisa dipenuhi oleh pernak pernik kuno, dengan suasana gelap dipenuhi aura mencengkam dari para iblis, maka rumah Juan adalah surga bagi para malaikat. Cahaya sinar matahari bisa dengan mudah menyinari halaman rumah Juan, udara berembus tenang, dan halaman yang bersih membuat Eisa ragu pada dirinya sendiri.

"Kenapa? Apa ada masalah? Kau ingin muntah lagi? Perlu aku antar ke kamar mandi?" tanya Juan khawatir.

Eisa menundukkan kepala, lalu melihat ke arah rumput hias yang saat ini dia injak. Bahkan, hanya dengan berdiri di depan rumah, dan menginjak rumputnya saja sudah membuat Eisa merasa tak cocok berada di tempat ini lebih lama lagi. Dia mungkin bisa berpura-pura tenang, tapi tidak dengan perasaan hatinya yang semakin takut diusir tanpa harga diri, oleh keluarga Juan.

"Aku tak percaya jika kau bisa melindungiku dan juga anakku. Bagaimana jika orang tuamu tak menyukaiku, dan mengusir j*lang sepertiku?" tanya Eisa.

Juan menggenggam tangan Eisa, kemudian mengecup punggung tangannya. Dia memberitahu, "Aku ada di sisimu, jika mereka mengusirmu, aku akan ikut bersamamu. Mengerti?"

Eisa mengerti, tapi dia menggelengkan kepala. Entah kenapa, baru kali ini Eisa merasakan kegugupan karena tak percaya diri. Biasanya Eisa selalu tampil berani, dengan topeng akting palsu yang bisa dia lakukan. Namun sekarang? Isi perutnya bukan akting semata. Ini benar-benar nyata, dan Eisa terpaksa melangkah bersama Juan.

"Aku tak mempunyai muka untuk menatap kedua orang tuamu," bisik Eisa.

Sepanjang perjalanan, Eisa bersembunyi di belakang tubuh Juan. Dia membuntuti Juan untuk masuk ke rumah Juan, sembari disapa satu persatu pelayan. Meskipun tampilan Eisa menawan, dan sikapnya agak aneh, tapi para pelayan tetap menyapa Eisa dengan hormat, sampai Juan terkikik dan menarik pergelangan tangan Eisa untuk berjalan berdampingan bersamanya.

"Ke mana sosok Elsa tak tahu malu, yang terang-terangan menggodaku, sampai mengandung anakku? Kenapa kau menjadi anak kucing pemalu seperti ini?" tanya Juan.

"Memangnya kau tidak malu membawaku ke rumahmu?" tanya Eisa.

"Tidak. Sudah kubilang aku datang ke sini untuk memamerkan perutmu, bukan untuk menyembunyikannya," jelas Juan.

"Kau sudah tidak waras," bisik Eisa.

"Ya, ya, beginilah aku," jawab Juan tak ambil pusing.

Pintu rumah terbuka lebar, dan Eisa bisa melihat ruangan tengah rumah Juan. Di sana terdapat beberapa sofa besar, dan foto-foto keluarga yang menghiasi dinding rumah. Selain itu, Eisa juga mengamati puluhan benda mahal yang berada di ujung sudut rumah Juan. Mulai dari patung, vas bunga, baki, gelas dan sampai ke pakaian yang dipakai penghuni rumah.

"Rasanya aku seperti bebek yang menyamar menjadi angsa, lalu diajak pergi ke sarang burung bangau," bisik Eisa melihat penampilannya di cermin rumah Juan.

Juan tersenyum, dan berbisik, "Tenang saja. Sarang burung bangau tak beda jauh dengan sarang angsa atau pun bebek. Itu tergantung pada orang yang merawatnya. Percayalah padaku."

"Bukan itu maksudku!" gerutu Eisa.

Eisa berhenti mengomel, ketika melihat sepasang suami istri paruh baya turun dari tangga rumahnya. Tak perlu waktu lama, bagi Eisa untuk menyadari kedua orang itu siapa. Foto mereka menghiasi dinding, dengan berhias senyuman palsu menipu. Hanya dengan mendengar suara langkah kakinya saja, Eisa sudah merasa terintimidasi.

"Dulu aku berani melangkah ke mana pun, karena ayahku ada di belakangku. Tapi sekarang, aku tak mempunyai wajah untuk melihat orang tuamu, Juan," bisik Eisa sembari meremas telapak tangan Juan.

•••

MAMAFIA  [Junhao] RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang