16. RADEN MAS WEDANA

304 44 2
                                    

Kutatapi diriku di depan cermin di kamarku. Kebaya sutra dan jarit wiron yang terlilit di pinggangku ini, serta yang tak kalah memukau kalung emas bersusun tiga yang menghiasi tulang-tulang selangka di leherku. Kiranya seperti itulah yang disukai oleh perempuan di masa ini. Raden Mas Adiwiryo Kusumo juga tau cara menyenangkan hati para perempuan, tapi tidak denganku. Kebaya, jarit dan kalung emas tidak membuatku terlena, asal mereka tau hal-hal yang kuketahui bersifat materil ini lebih indah di dunia masa depanku.

"Wis rampung cah ayu?" Tanya ibu yang kemudian menghampiriku di depan cermin

Pertanyaan Ibu juga hanya kujawab dengan sekali anggukan. jelas saja dengan raut muka tak semangat.

"Coba lihat wajahmu di cermin itu nduk, kamu punya kecantikan alami seorang gadis pribumi, ndak perlu ada campuran Eropa. Ojo lesu koyo ngono, nanti cepat tua. Ayo lekas metu, bantu ibu menyiapkan makanan untuk tamu kita."

Tamu yang dimaksud Ibu adalah tak lain Wedana itu. Malas rasanya walau sekedar untuk melihat wajahnya. Tampang lelaki mata keranjang haus nafsu dan haus pujaan, ditambah kumis tebalnya yang melengkung di atas bibir hitam itu. Matanya yang tajam dengan liar tapi pasti meneliti setiap jengkal lekuk tubuhku. Bathinku benar-benar ingin lari dan menjerit, tapi apalah daya tubuh yang tak punya kuasa atas diri sendiri ini.

***

"Nduk, cah ayu. Kita boleh berencana setinggi awan yang membumbung tinggi di langit, tapi ingat takdir bukan sesuatu yang bisa dilewatkan. Witing tresno jalaran soko kulino. Ya toh? Lambat laun kau akan mencintainya sebagai Romonya anak-anakmu." Tangan ibu mengusap-usap kedua punggung tanganku berusaha meyakinkan hatiku lagi.

Hatiku gusar memberontak dengan segala macam penolakan. Bagaimana bisa cinta dengan lelaki yang usianya sepantaran dengan Romoku sendiri?, bagaimana bisa pula mencintai lelaki yang sudah beristri? dan bagaimana pula bisa menganggapnya Romo dari anak-anakku, sementara yang ku kandung adalah anak mas Panji?

Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut ibu hanya ku dengarkan saja, aku tak punya semangat lagi untuk menolak perintah Romo. Dan tentu saja Romo juga dapat imbalan dari terjadinya pernikahan ini. Tak hanya beberapa aset kekayaan yang akan berpindah tangan tapi Romo juga bakal dapat gelar kebangsawanan dari keluarga Wedana.

"Dadi minggu ngarep acara kawinane neng kene bakal kita nggedhekake ta mas?" Tanya Raden Mas Wedana kepada Romoku untuk memastikan.

"Ojo celuk mas meneh. Sampeyan bakal mengko dadi putra mantuku."

"Nggih nggih Romo." Percakapan tersebut disambut oleh gelak tawa mereka berdua.

***

Mas Panji.....

Kabarnya juga tak kunjung ada, apakah dia selamat di medan gerilya atau tertangkap oleh para bedebah-bedebah berkulit putih itu, atau dia menemukan tambatan hati lain. Ah tidak tidak, aku tak boleh berpikir seperti ini. Mbok Karsih juga belakangan tak melihat batang hidungnya mas Dayat untuk menanyakan kabar mas Panji. Setidaknya aku ingin mas Panji tau aku mengandung anaknya dan akan menikah dengan pria lain, jadi nantinya dia tak merasa ku tinggalkan tanpa alasan.

"Ndhis, coba kamu lihat sik iki nduk, apik ora?" Tanya ibu kepadaku sambil tangannya memamerkan kebaya beludru berwarna hitam dengan motif benang emas berbentuk bunga.

"Bagus bu."

"Ini nanti buat ibu pake di kawinanmu, bajumu juga luwih apik nduk." Ujar ibu seraya tangannya mengelus pelan pundakku.

"Ndoro ini belanjanya taruh dimana?" Tanya mbok Karsih

"Oh iyo sik, iyo." Sahut ibu dari dalam kamarku

"Sebentar yo nduk, belanjaan untuk acara pernikahanmu sudah datang sedikit-sedikit, Ibu mau merikso sik."

Ditengah sibuknya semua orang di dalam rumah ini, tiba-tiba ku dengar suara ketukan pintu dari luar disusul suara mas Panji.

"Kulonuwun.."

"Nggih monggo" sahut mbok Karsih sambil membukakan pintu

Aku yang mendengarnya langsung beranjak dari tempat tidurku dan hendak melihat dari pintu kamarku. Kulihat wajah mbok Karsih yang begitu terkejut dengan kedatangan mas Panji yang sangat tiba-tiba. Begitupun diriku, aku tak tau apa yang mengundang mas Panji hingga dia datang tiba-tiba ke rumahku. Apa sebenarnya dia sudah tau soal pernikahanku dengan Wedana itu.

"Nak Panji?" ujar ibu dari arah belakang dengan air muka terperangah. Kurasa aku sama takutnya dengan ibu, takut dengan reaksi Romoku terhadap kedatangan mas Panji yang tak diundang itu.

"Sugeng sonten bu." Sapa mas Panji seraya kedua tangannya meraih punggung tangan ibuku lalu diciumnya dengan badan agak sedikit membungkuk, memberi tanda rasa hormat kepada orang tua.

"Nggih." Dengan agak ragu ibu menarik tangannya agak cepat, hal itu tentu saja membuat mas Panji terkejut.

"Sopo bu?" Tanya Romo dari arah ruang tengah.

"A anu.." jawab ibu dengan suara tergagap

Aku yang berdiri di depan pintu kamar melihat Romo menghampiri ibu yang masih berdiri mematung di depan pintu.

"Kowe? Wong Edannn !!!" bentak Romo seketika bengis melihat mas Panji ada di rumah kami.

"Sugeng sonten Romo?" sapa mas Panji sambil menundukkan kepala

"Romo? Ra sudi aku dadi Romomu. Opo sing mbok lakoni nang omahku? Kethek ora nduwe isin." Makian Romo menyiratkan kebencian yang mendalam serta merta mengundang kehadiran mas Adiwiryo.

"Ono opo Romo?" Panggilan Romo itu sungguh janggal bagi mereka berdua.

"Rapopo Raden Mas."

"Saya disini berniat meminta izin Bapak dan Ibu untuk mempersunting Gendhis jadi istri saya. Dan saya harus bertanggung jawab karena Gendhis..." omongan mas Panji terhenti ditengah jalan

"Ngomong opo kowe? Tanggungjawab? Kowe iku podo karo bapakmu. Ra nduwe utek. Wis lungo soko omahku. Lungo." Bentak Romo kepada mas Panji

"Mas rungokno aku sik.. Panji teko mereneh apik-apik, opo salahne diomongin apik-apik juga." Bujuk Ibu kepada Romo

"Ora ono sing perlu diomongke meneh, Gendhis dilut meneh arep rabi karo Raden Mas Adiwiryo, ra eneng hubungane meneh karo awakmu."

"Romo...." Sahutku dengan nada agak meninggi dari pintu kamar

"Awakmu ra usah melu-melu, mlebu nang kamarmu."

"Gendhis." Sahut mas Panji yang sempat mendengar suaraku.

"Uwes saiki kuwe lungo, ojo gawe pekoro nang omahku, selagi aku masih mengusirmu dengan cara yang halus. Lungo."

"Rip, Sarip...."

"Dalem Ndoro, gowo bocah iki metu soko omahku. Saiki."

"Nggih Ndoro." Kata Kang Sarip mematuhi perintah

"Nuwun semu mas Panji." kata Kang Sarip seraya tangannya menarik lengan mas Panji.

"Ndak usah Kang saya bisa pergi sendiri, saya sebenernya juga cukup tau diri ndak diterima di keluarga ini." tangannya melepas pelan kaitan tangan Kang Sarip

"Nuwun sewu Ndoro Ayu, Nuwun sewu Romo. Kedatangan saya sangat mengganggu, Tapi ada yang ingin saya sampaikan, Harusnya Ibu dan Romo yang paling tau apa yang diinginkan Gendhis. saya pamit." Sambil kedua telapak tangannya disatukan untuk memohon diri.

Aku dan mas Panji, kami berdua adalah korban dari keegoisan orangtua. Mereka mengira mereka bisa memberi kebahagiaan kepada putra putrinya dengan mengadu takdir dengan keegoisan mereka. Sejatinya tidak. Mereka akan menyesali setelah tau akibat dari keegoisan itu sendiri.

SENJA DI LANGIT HINDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang