Acara pernikahanku dengan Raden Mas Wedana tinggal beberapa hari lagi, persiapan-persiapan juga sudah mulai ramai di rumahku. Harusnya menjadi manten adalah impian gadis-gadis jawa yang sudah mulai dewasa. Di tempat ini umur 15 tahun adalah umur yang sudah siap untuk menikah, jika tidak akan dikatakan perawan tua sepertiku.
"ujare sing tak rungokno manten wedok'e dipekso kawin karo bapak'e. (Katanya yang saya dengar pengantin wanitanya dipaksa nikah oleh bapaknya)"
"Dipekso piye maksudte? (Dipaksa bagaimana maksudnya?)"
"Opo ra kerungu wertone wis santer ning dusun iki. Manten wedok wis meteng'o tapi bapak'e si jabang bayi udhuk calon manten lanang kuwi, tapi liyo meneh. (Apa ga dengar kabarnya sudah heboh di desa ini. Pengantin wanitanya sudah hamil tapi ayah si jabang bayi bukan calon pengantin lelaki itu, tapi lelaki lain)"
"Wiladalah... kok yo eneng-eneng wae toh yo. (Ya ampun kok ya ada-ada saja)"
"Mestine yo terimo wae, syukur-syukur ono sing gelem nerimo keadaan ngono kuwi. Wedono meneh, opo ra anteng uripe mengko. (Harusnya ya terima saja, syukur ada yang mau nerima keadaannya seperti itu. Wedana lagi, apa tidak nyaman hidupnya nanti)"
Disana sini kudengar ibu-ibu bergunjing tentang diriku. Bahkan kadang suaranya dibuat agar bisa kudengar. Tak hanya itu tatapan tajam dan sinis juga seolah mencemoohku. Jujur saja aku malu menghadapi keadaan ini. apa enaknya jadi istri Wedana, yang mereka pikir adalah akan berkecukupan, tak takut miskin dan tak kelaparan, serta bergelimang perhiasan dan jarit-jarit sutra.
Akan lebih bahagia mungkin jika aku pergi dari sini dengan mas Panji.
Tiba-tiba pikiran ini selalu terngiang-ngiang dikepalaku. Ku cari pena dan secarik kertas untuk mengirimi surat kepada mas Panji. aku tak akan bahagia jika terus seperti ini, anakku nanti juga bakal jadi gunjingan banyak orang. Hidup susahpun akan ku jalani, makan singkong setiap hari juga tak jadi masalah. Tak berjarit sutra dan berkebaya bagus juga ndak papa. Seandainya keputusan ini salah pun tak akan kusesali, harus kuterima akibat dari keras kepalaku.
Surat itu segera ku suruh Kang Sarip diam-diam mengantarkan ke rumah mas Panji. aku juga berharap mas Panji lekas membaca dan membalasnya. Kusuruh Kang Sarip menginap di sana agar bisa langsung membawa surat balasan dari mas Panji.
"Sarip..." Panggil ibu kesana kemari sambil mencari Kang Sarip
"Tadi sore Sarip pamit pulang ke rumah dan menginap satu malam." Jelas Romo
"Lah gimana toh mas, wong lagi repot di rumah kok malah dibolehin pulang." Rengek ibu kepada Romo
"Sarip sekalian manggil Warok dari kampungnya." *Warok : tokoh pagelaran seni
"Oh Yowis."
***
Sepanjang malam mataku tak nyenyak tidur seperti mata ayam, sebentar tertidur, sebentar lagi terbangun. Suara kokokan ayam disusul suara roda dokar yang dibawa kang sarip kemarin sore sudah sampai di halaman depan rumah. Malam yang gelap itu menambah cemas perasaanku.
"Kang Sarip ..." Panggilku dengan suara bisik pelan dari arah jendela kamar.
Kang Sarip yang memang sudah tau apa yang kuminta langsung bergegas ke arahku dan menyerahkan sebuah amplop yang tak lain isinya surat balasan dari mas Panji.
"Piye kang? Aman toh? (Gimana kang? Aman kah?)" tanyaku pada Kang Sarip
"Aman Ndoro." Jawab kang Sarip sambil kepalanya melongo ke arah kanan dan kiri dengan wajah pucat pasinya.
"Kenapa kang? Kok raine pucet ngono? (Kok wajahnya pucat begitu)"
"Rapopo Ndoro, hawane isuk adhem banget. (Tidak apa-apa Ndoro, Angin pagi dingin sekali.)"
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA DI LANGIT HINDIA
Historical FictionHidup disini ku kira akan mengobati hatiku. Ternyata aku juga tak punya kuasa atas diriku sendiri. Tahu apa mereka tentang perasaan? ~ Gendhis Sasmaya Historical Romantic (Cerita ini fiksi dan hanya berdasarkan imajinasi penulis) Background Picture...