Pagi-pagi sekali kulihat mas Eka sudah bangun dan memandikan burung-burung peliharaannya. Aku hanya berdiri di depan pintu sambil memperhatikan dengan seksama. Di luar pagar juga sudah berhenti tukang surat kabar langganan Romo, tapi anehnya tukang pengantar surat kabar itu tak masuk melainkan melambaikan surat kabarnya seolah memberi tanda kepadaku untuk menghampirinya dan mengambil surat kabar itu.
"Ngopo Ndis?" Tanya mas Eka yang mungkin juga dibuat heran oleh tukang surat kabar itu
"Ndak tau mas, aneh gitu tukang surat kabarnya"
"Yo wis biar mas aja yang ambil"
"Yo wis rapopo, aku saja" ujarku langsung berjalan menghampiri tukang surat kabar itu.
"surat kabar hari ini kan pak?"
"iyo." Tangannya memberi surat kabar tapi sedikit ditahan
"Pak kenapa ini? jangan macem-macem yo pak, atau saya panggil mas saya."
"Jangan Gendhis, tunggu dulu, jangan takut, ini aku.."
"Siapa kamu? Nama Gendhis kamu tau dari mana?"
"Sebenernya aku iki Dayat, temennya Panji"
"Mas Dayat? Temene mas Panji toh? Sudah pulang toh mas? Mas Panji bagaimana? Sudah pulang juga mas Panji?" tanyaku dengan suara pelan tapi semangat karena setidaknya ada yang membawa kabar tentang mas Panji.
"Nggih. Ada kabar baik dan kabar buruknya."
"Maksudnya mas?"
"kabar baiknya, Panji udah berhasil kami bawa pulang, tapi saat ini kondisinya parah, itu kabar buruknya"
"Lah gimana bisa toh mas?" Tanyaku gugup dan penuh kekhawatiran
"Penyamaran Panji diketahui oleh antek-anteke wong londho iku, pribumi bangsat, pengkhianat. Panji disiksa di penjara kumpeni-kumpeni itu"
"Jadi mas Panji sekarang dimana mas?"
"Dia di rumah persinggahannya yang biasa, ku mohon kau bisa dateng melihat kondisinya Panji, dia terus-terusan memanggil namamu."
"Nggih mas segera secepatnya saya akan kesana,"
"Gendhis..... ono opo dik? Ngambil surat kabar sebegitu lama?" tiba-tiba suara mas Eka mengejutkan aku dan Mas Dayat. Kulihat kebelakang ke arah mas Eka, tatapan matanya tajam ke arah Mas Dayat, seperti orang yang sedang menerka-nerka.
"Ndak popo mas, bapak ini cuma tanya rumahnya pakde Musri mau mengantarkan surat kabar juga."
"Yo wis dik Gendhis, saya pamit dulu, saya Cuma mau menyampaikan itu."
"Nggih mas. Terimakasih yo mas."
Pikiranku kalut mendengar kabar dari mas Dayat. Aku memikirkan sejuta alasan agar bisa pergi menemui mas Panji. Aku berjalan mondar-mandir didalam kamar, mungkin saja sudah lebih seratus kali. Aku bingung, apa alasanku kepada Ibu, Romo dan mas Eka.
"Le, berkas-berkas ini harus segera dikirim ke buitenzorg, suruh Sarip mengantarkannya ke kantor pos." Perintah Romo kepada mas Eka, yang sedari pagi masih sibuk dengan burung-burung peliharaannya.
"Nggih Romo, tapi Eka siapkan dulu memberi makan burung-burung ini"
"Kesuwen ngger."
"Romo biar Gendhis saja yang antar, Gendhis juga mau sekalian ngirim surat buat Sumarni." Pintaku kepada Romo
"Kamu yang mau nganter toh cah ayu?"
"Nggih Romo."
"Suruh Sarip mengantarkanmu, berkasnya juga jangan sampai hilang atau rusak."
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA DI LANGIT HINDIA
Historical FictionHidup disini ku kira akan mengobati hatiku. Ternyata aku juga tak punya kuasa atas diriku sendiri. Tahu apa mereka tentang perasaan? ~ Gendhis Sasmaya Historical Romantic (Cerita ini fiksi dan hanya berdasarkan imajinasi penulis) Background Picture...