7. RUMIT

451 72 0
                                    

                Semalam suntukku sudah habis memikirkan Mas Panji. Pikirku ingin sekali aku cepat-cepat bertemu Sumarni, akan kutanyai apapun yang mengganjal dihatiku tentang Mas Panji. Siapa sebenarnya dia? apa hubungannya dengan Gendhis? Bagaimana pula dia bisa kenal dengan Mas Eka?

Kutunggu-tunggu sedari tadi tapi tak kulihat Sumarni datang kesini. Kuberanikan diri ke rumah Sumarni seorang diri dengan sepeda onthel disamping rumah. Ibu tak tahu menahu perihal aku keluar menemui Sumarni.

Ku ketuk-ketuk pintu rumah Sumarni, tapi lama tak terdengar suara orang yang menyahut.

"Kulonuwun Sumarni..Sumarni.. ini aku Gendhis, buka pintunya sebentar Sum" kali ini ku keraskan suaraku supaya terdengar.

Tiba-tiba dari arah samping ku dengar Sumarni memanggil namaku

"Gendhis, dari sini saja" katanya dari depan pintu samping rumahnya sambil tangannya melambai memanggil aku. Kuhampiri Sumarni ke arah samping rumahnya.

"Sum" kalimatku terpotong karena aku bingung memulai pertanyaan dari mana

"Ngopo toh ndis? Cerito. Kamu kaya orang bingung ngene, aku juga jadi bingung. Ono opo eh?" Pertanyaan dari Sumarni kudengar makin menekan kebingunganku

"kamu sik ngopo? Repot tah?"

"Lah cuma mau tanya itu?"

"Bukan bukan, aku cuma takut mengganggu kesibukanmu."

"Yo bioso aku lagi bantuin mbahku membuat kecap. Ngopo toh ndis? Aku iso mati penasaran koyo ngene."

"Mas Panji"

"Mas Panji ngopo?"

"Sebenarnya ada yang harus aku kasih tau ke kamu Sum, tapi kita ndak bisa ngomong disini." Ujarku dengan raut wajah kebingungan.

"Ayo.." Sumarni meraih tanganku dan mengajakku menjauh dari dapur di samping rumahnya.

"Mbah, Sum pergi sebentar yo" Sumarni setengah berteriak berharap mbahnya mendengarnya dari balik dapur, walaupun terdengar tak ada sahutan dari mbahnya Sumarni tak menghiraukan, dia tetap menarik tanganku dengan langkah tergesa-gesa, kemudian mengambil sepeda dan kemudian menyuruhku duduk di boncengan sepeda yang kubawa dari rumah.

Dia mengayuh sepeda dengan tatapan serius seribu bahasa. Hilang seketika Sumarni yang khas dengan celoteh dan guyonannya. Aku pula turut diam sambil sesekali melihat dan terkagum dengan hamparan sawah yang hijau ditanami padi bak permadani yang mungkin tinggal menunggu dua atau tiga bulan lagi menggembung dan menguning kemudian dipanen. Sungguh indah Hindia-Belandaku dahulu. Jika bukan karena para Kompeni yang datang ke negeriku dan merampas hak-hak rakyat serta penyiksaan terhadap rakyat seperti yang dilakukan oleh Daendels untuk membangun jalan Anyer-Panarukan yang menghilangkan begitu banyak nyawa, tanam paksa, kerja rodi hingga badan kurus kerempeng. Semua karena kompeni-kompeni keparat itu, jika tidak negeriku ini adalah kepingan surga dengan begitu banyak kekayaannya. Tapi sekarang bukan itu yang seharusnya kupikirkan, lamunanku buyar seketika.

Dibawah pohon besar dipinggir kali kecil Sumarni menghentikan sepedanya. Aku turun dan kemudian mengikutinya duduk di atas batu tak jauh dari situ.

"Ngopo ndis? Mas Panji ketangkep?" pertanyaan Sumarni sebenarnya mengagetkanku, bahkan dia tau persis isi dari surat-surat yang kubaca. Berarti pikirku Sumarni bisa dipercaya oleh Gendhis.

"Mboten Sum, Mas Panji ndak popo."

"lah jadi kamu mau ngomong opo toh Ndis, aku sampai ketakutan"

"Sum.. denger yo, aku harap kamu ndak kecewa, ndak marah sama Gendhis, aku juga berharap kamu bisa nyimpen rahasia ini."

"lah opo toh Ndis? Rahasia opo? Aku ra iso koyo ngene, cerito'o" Sumarni semakin mendesak dan aku semakin bingung.

"Sebenernya aku bukan Gendhis. Aku bingung. Aku ndak ngerti gimana jelasinnya ke kamu Sum"

"Maksudmu kepiye? Edan kowe yo Ndis. Jelas-jelas kamu Gendhis koncoku"

"Begini Sum, dengerin aku sik. Aku ini juga bingung kenapa bisa kaya gini. Nama asliku Vida. Aku ada disini, aku datang dari tahun 2019. iya Sum, aku dari masa depan. Kemarin.." kalimatku terpotong karena Sumarni spontan langsung tak percaya

"2019? Ngaco kamu yo Ndis? Ndak cocok tau kamu bersandiwara. Ndak lucu"

"Aku ndak bohong Sum, aku juga ndak lagi ngelucu. Makanya aku cerita sama kamu Sum, karena aku ga tau mau cerita sama siapa Sum, aku bingung." Ku coba meyakinkan Sumarni, tanpa sadar kurasai air mataku sudah menetes dari sudut mata dan mengalir ke pipi. Sumarni juga hanya memandangiku dengan tatapan kosong penuh rasa tak percaya.

"Beberapa hari yang lalu aku terbangun dari tidur dan sudah ada dalam tubuh ini, tubuh Gendhis maksudku. Aku ndak tau apa-apa tentang hidup disini, kebiasaan-kebiasaannya, bahkan aku juga ndak kenal orang-orang disekitarku. Aku cuma mencoba Sum menjalani hidup disini, aku udah nyoba gimana caranya supaya kembali ke kehidupanku disana, tapi ndak bisa." Semoga kau mengerti Sum, aku ingin setidaknya ada yang tau keadaanku yang sebenarnya disini, harap-harapku dalam hati seperti itu.

"Jadi Gendhis yang asli sebenernya ada dimana?" Tanya Sumarni dengan tatapan kosong seperti orang linglung.

Aku juga tau tak mudah diterima akal sehat, aku juga semula tak percaya tapi yang sebenarnya terjadi memang terjadi. Aku disini sekarang. Aku Gendhis Sasmaya bukan Vida. Aku bukan seorang mahasiswa, hanya wanita berkebaya dan berjarit batik. Aku harap Sumarni mengerti, aku harap dia bisa menerima keadaan temannya seperti sekarang.

"Aku ndak tau Sum. Mungkin saja jiwa kami bertukar tempat, aku juga ndak tau"

"Baiknya kau pulang lah dulu Ndis atau Vida. aku terkejut, sepertinya aku butuh waktu untuk memikirkan ini semua, atau kau hanya bersandiwara. Aku ndak marah sama kamu, aku juga ngerti ini bukan kemauanmu. Ku antar kau pulang?"

"ndak papa Sum, aku pulang sendiri saja, kau bantu lah mbahmu kembali. Aku pamit yo"

"iyo, hati-hati"

Aku tak mungkin menyalahkan Sumarni karena responnya terhadap apa-apa yang telah kuceritakan, aku juga tau dia pasti terkejut dengan hal yang tak masuk akal ini. aku jelas tak mengerti ini kenapa bisa terjadi, jika ada penjelasan ilmiahnya pun aku tak tahu.

Ku kayuh sepedaku pelan tapi serius, anak-anak jumpalitan dari atas pohon belimbing ke dalam kali pun sudah tak ku hiraukan lagi. Keinginanku untuk bertanya-tanya tentang Mas Panji pun ku simpan lapang dulu dalam dadaku. Sumarni butuh waktu pikirku. Matahari sudah menyambut senja, orangtua dan anak-anak kecil berlarian riang ke langgar menunggu waktu maghrib. Tak percaya aku masih melihat hal seindah ini.

Dari kejauhan ku lihat gerbang depan rumahku terbuka, ternyata Biungku menungguku dan barangkali khawatir mencariku. Maafkan aku bu.

"Dari mana kamu nduk? Ibu dari tadi bingung mencari kamu, Karsih dan Sarip juga ndak tau katanya. Kamu ndak izin sama ibu" raut wajahnya sendu nan teduh itu membuatku semakin sedih.

"Maafkan Gendhis bu, tadi Gendhis buru-buru ke rumah Sumarni"

"Memangnya ada apa? Kenapa sampai terburu-buru?"

"Ndak ada apa-apa bu, Gendhis hanya takut kesorean."

"Bukan ibu tak suka melihatmu dekat dengan Sumarni, tapi ibu hanya takut nduk"

"Takut apa bu?"

"Sumarni sepertinya bakal dijadikan Gundik'e wong Londho."

"Hahhh, piye bu? Gendhis ndak salah denger toh?"

"Ssstt suaramu ojo kenceng-kenceng, di dalem ada tamu Romomu, Meneer Van Dalen dan temannya. Jangan sampe di denger mereka" ku miringkan kepalaku untuk sedikit mengintip tamunya Romo, ya benar saja memang Meneer Van Dalen dan pemuda londho ganteng itu, Henrick Dehaan.

"Mereka ngapain bu?"

"Memeriksa kesehatan ayahmu."

Baru ku taui juga ternyata Meneer Van Dalen adalah dokter, dan Henrick Dehaan tak lain adalah dokter muda yang sedang magang dengan Meneer Van Dalen. Tapi pikiranku masih kacau memikirkan Sumarni yang desas desusnya bakal dijadikan Gundik. Sementara tentang mas Panji belum terpecahkan dalam kepalaku, begitu juga dengan identitasku.

SENJA DI LANGIT HINDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang