"Henrick aku sangat merindukanmu." Ujar Julianna sambil berlari ke arah Henrick memeluk dan mencium pipinya. Mendadak hatiku seperti terpilin melihat kejadian yang baru saja kulihat, serta pelukan itu dibalas oleh Henrick, apa yang dilakukan mereka berdua tidak salah itu memang budaya mereka. Aku tak ingin Henrick menyadari raut wajahku yang tak bisa kusembunyikan saat ini, aku membalikkan badan mengajak William masuk ke dalam rumah. Tapi tiba-tiba suara wanita londo itu terdengar memanggilku dengan sebutan Babu. Akupun dengan naifnya menunduk menghampiri wanita itu.
"Bawa barang-barangku ke dalam." Wajah putih pucat berbintik bintik dengan pipi kemerahan itu memandang sinis kepadaku
"Ja, Juffrouw." Jawabku memenuhi perintah
"Tak perlu Gendhis, biar aku yang membawanya." Pinta Henrick sembari mengambil barang-barang Julianna ditanganku
"Hei Henrick biarkan dia melakukan pekerjaannya."
"Apa kau berniat tinggal disini?" Tanya Henrick kepada Julianna dengan tatapan gelisah sembari melihatku
"Tentu, tapi tidak akan lama, ayo masuk aku akan menceritakan kenapa aku ada disini."
Julianna, aku agaknya iri kepadanya, mereka terlihat serasi dengan kulit seputih susu, gadis londo yang sebangsa dan setara statusnya, yang bisa dibawa ke Gereja untuk dinikahi tentunya. Menikahiku jelas sangat rumit untuk Henrick, agama yang berbeda, status yang berbeda, belum lagi dipandang hina menikahi orang dari bumi yang dijajahnya. Aku tau hal-hal seperti ini akan terjadi. Aku baru saja selesai membereskan kamar untuk Julianna, kemudian bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Henrick masuk ke dapur dan memelukku dari belakang, dagunya disandarkan di pundakku sesekali dibarengi kecupan-kecupan kecil yang membuat bulu-bulu halus disekitar tengkukku meremang.
"Ada apa?" tanyaku singkat
"Kenapa kau memberinya kamar di samping kamarku?"
"Dia yang memintanya." Jawabku acuh sambil tanganku sibuk memotong kentang yang akan ku rebus.
"Tapi itu kamarmu."
"Tak apa, aku bisa tidur dengan William. Sudahlah Henrick aku akan menyiapkan makan malam ini."
"Apa kau marah? Kau cemburu?" goda Henrick sambil memainkan pipiku
"Tidak meneer. Aku harus terbiasa memanggilmu meneer di depan Julianna bukan?"
"Ayolah, kau tau aku tidak menyukainya."
"Apa kau tidak menyukai Julianna? Dia cantik, kulitnya seputih susu, sebangsa dan setara denganmu."
"Gendhis, apa harus ku katakan lagi aku hanya mencintaimu?"
"Sudah sana, temani Julianna-mu, aku tak ingin tertangkap basah seperti ini."
Tak membutuhkan waktu lama aku menghidangkan Stamppot dengan daging untuk membuat Henrick terkesan sekaligus membuat Julianna merasa iri karena aku bisa memasak makanan khas mereka. Aku mahir memasak makanan kesukaan orang Nederland, Smooren, bruinebonensoep, fricandelle atau dikenal di Indonesia sebagai perkedel, risoles, kroket, klappetaart, dan masih banyak lagi. Itu semua berkat Henrick yang suka mengajariku memasak.
"Mmmm, dit is lekker. (ini enak), kau pintar memilih babu Henrick." Henrick tak menanggapi ocehan Julianna tapi juga tak menepis pernyataan aku adalah babu dan itu membuatku benar-benar kecewa. Aku sendiri tak berniat makan bersama mereka, kurasa Henrick tau alasannya. Aku menyuruh William makan di kamarnya, sedang aku masih duduk di dapur untuk menikmati makananku sendirian. Aku bisa melihat dan mendengar pembicaraan mereka dari balik rak kayu yang dipasang sebagai pembatas antara dapur dan ruang makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA DI LANGIT HINDIA
Historical FictionHidup disini ku kira akan mengobati hatiku. Ternyata aku juga tak punya kuasa atas diriku sendiri. Tahu apa mereka tentang perasaan? ~ Gendhis Sasmaya Historical Romantic (Cerita ini fiksi dan hanya berdasarkan imajinasi penulis) Background Picture...