Hari ini seperti janjiku kepada mas Panji, aku akan datang lagi menjenguknya. Dan mas Eka tau bahwa aku pergi belajar menjahit. Aku juga sudah pamit ke ibu untuk pulang agak lama. Romo mungkin juga sudah tau dari mas Eka. Kayuhan sepedaku kali ini agak santai, tapi tetap saja aku jadi banyak berbohong. Andai saja yang dikatakan Sumarni tidak benar tentang hubungan mas Panji dengan mas Eka dan Romoku pasti tak akan sulit seperti ini untuk bertemu saja.
Kira-kira dari jarak sepuluh meter lagi kerumahnya dan sudah kulihat mas Panji duduk di teras depan rumahnya, menikmati udara yang mungkin selama ini tak sama dengan apa yang dihirupnya di ujung timur jawa selama menjadi tahanan dipenjara kumpeni. Dia juga melihatku datang dari kejauhan, kulihat senyumnya merekah seindah lengkungan pelangi mungkin. Terpancar raut bahagia di wajah manisnya itu. Aku juga ikut tersenyum.
***
Beberapa hari berlalu dan kesehatan mas Panji sudah mulai membaik. Aku sangat bersyukur dia sudah baik-baik saja. Awan mendung sore itu dan rintik-rintik hujan menemani suara kami berdua di teras depan rumahnya. Senja yang sungguh indah dinikmati di langit Hindia ini.
"Mas, kalau misalnya ndak pergi-pergi jauh lagi bagaimana?"
"kenapa? Kamu sangat takut kehilanganku ya?" tanyanya dengan nada meledek sambil tertawa geli
"Bukan gitu, aku takut hal-hal kaya kemarin terjadi lagi, kali ini kamu masih beruntung ditolong mas Dayat, nah kalau besok-besok piye? Atau bisa saja kamu ketemu perempuan yang lebih cantik dari aku piye?"
"hahahaha kamu ada-ada saja ya. Memangnya kalau aku ketemu wanita cantik disana boleh?" tanyanya lagi dengan nada semakin meledek
"ih kamu yo mas, awas aja kalau kamu genit-genit disana."
Mas Panji makin tertawa geli karena perkataanku. "Denger yo Ndis disana banyak wanita cantik juga aku ndak tergoda, kamu disini lebih cantik, bidadari saja iri padamu. Tapi sebenernya memang disana banyak wanita cantik, tapi aku ndak sempat godain mereka karena sibuk"
"Ih kamu bener-bener yo mas, sini ku jewer kuping kamu."
Mas Panji terus tertawa sambil memelukku. Aku suka seperti ini, Aku suka tertawa bersama-sama dengannya. Tawanya, pelukannya aku suka.
Hari semakin larut, hujan bukannya reda tapi malah semakin deras, kilat dan petir juga menyambar-nyambar. Pikiranku kacau, bagaimana aku akan pulang kalau seperti ini. Aku takut Romo, Ibu dan mas Eka khawatir denganku.
"Mudah-mudahan sebentar lagi hujannya reda supaya kamu bisa pulang. Mumpung belum terlalu malam"
"Iya mas"
"Mbok Parmi juga tadi katanya mau kemari tapi mungkin karena hujan jadi belum dateng. Setidaknya aku bisa menyuruhnya menyewa bendi untuk mengantarmu pulang."
"Ya udah ndak usah repot-repot mas, bentar lagi hujannya reda. Lagi kasian mbok Parmi dia sudah capek satu harian kerja."
"Aku khawatir kalau kamu pulang sendirian naik sepeda malam hari ditambah cuaca hujan."
"Ndak papa mas, ini belum terlalu gelap, masih ramai orang dijalanan nanti."
"Yowis kita tunggu hujannya reda sebentar lagi yo"
Kujawab hanya dengan anggukan. kami duduk di ruang tamu tapi hujan bukannya reda malah semakin deras, malam pun turut semakin larut. Mas Panji juga bingung melihatku yang semakin gelisah. Dia juga tau bahwa Romo ,Ibu dan Mas Eka bisa saja marah besar karena aku belum juga pulang, tapi dia juga tak tega melihatku pulang dengan keadaan seperti ini.
"Ndis, gimana kalau kamu bermalam dulu disini, besok pagi-pagi buta aku sendiri yang akan mengantarmu pulang."
"Tapi mas kalau Romo sampe tau bagaimana?"
"Enggak, aku pastikan mereka ndak tau, aku juga ndak sebodoh itu Ndis, kalau seperti itu sama saja aku mendorongmu ke dalam jurang. Gendhis, kamu jadi bingung seperti ini juga karena aku, aku tetep harus bertanggung jawab toh?"
"Yowis lah mas, aku juga bingung ndak tau harus gimana sekarang."
"Yowis nginep disini dulu ya."
"Iya.."
***
"Tidur lah di kamar sebelah sini. Tutup pintunya. Kalau perlu apa-apa jangan sungkan, aku ada di kamar sebelah. Mengerti?"
"Baik mas."
Kurebahkan tubuhku ke atas ranjang tapi mataku belum mau terpejam. Hatiku masih dipenuhi kekhawatiran dan pikiran yang tak tenang. Samar-samar kudengar suara binatang-binatang malam bersahutan dari arah belakang rumah ditemani suara rintikan hujan yang kian deras. Tapi kemudian ku dengar sesuatu dari arah dapur seperti suara kaki sedang berjalan, aku tersentak, "Suara apa itu?" Pikirku. Ingin rasanya melihat tapi aku juga takut. Tiba-tiba saja suara pintu kamarku diketuk beberapa kali.
"Ndis, sudah tidur belum?". Tanya mas Panji dari luar
Segera kubukakan pintu. "Mas, kamu toh? Dari tadi ada suara-suara kaki berjalan dan klotekan di dapur itu kamu mas?" tanyaku memastikan
"Iya, kenapa Ndis?"
"Ndak papa mas, aku piker suara.."
"Suara opo? Suara maling? Atau jangan-jangan kamu mikir hantu ya?"
"Yo ndak lah mas."
"Ini wedang jahe, siapa tau kamu mau, biar ndak masuk angin, diluar hujan dingin."
"Makasih ya Mas." Ku ambil gelas yang disodorkan mas Panji
"Yo wis aku ke kamarku ya"
"Mas.." kutahan tangan mas Panji. "Sini dulu, nanti saja kembali ke kamarmu, aku ndak bisa tidur. Kita ngobrol-ngobrol dulu." Aku tak tau kenapa aku bersikap seperti ini. aku seperti sudah gila saja menahan mas Panji supaya tetap dikamarku pikirku.
"Mmm yasudah aku disini dulu nemeni kamu ya." Ku jawab dengan anggukan pelan. Ku persilahkan mas Panji duduk di kursi di depan meja rias dan aku duduk ditepi tempat tidur.
"Kamu sudah baca bukuku?"
"Buku? Ah iya, Sebagai Pribumi? Sudah sudah. Bagus bukunya mas, kamu hebat. Aku suka."
"Ah kau terlalu berlebihan memujiku, kalau hebat itu mungkin aku sudah sekelas Max Havellar."
"Kamu itu hebat di dalam hatiku." Sedetik setelah kalimat itu keluar dari mulutku, kami berdua hanya saling menatap dan kemudian tertawa. Percakapan tentang apa saja sudah kami bahas, sampai malam benar-benar kian larut.
"Sudah sangat malam Ndis. Kamu.."
"Tapi aku tetap saja belum bisa tidur." Kalimat mas Panji yang belum selesai sudah kupotong. Aku tak tau kenapa tapi saat ini aku ingin dekat dengan mas Panji, seperti orang yang takut kehilangan, seperti ini jadi pertemuan terakhir.
"Jadi kau mau aku disini saja?"
"Iya"
"Ya sudah, tidurlah, aku akan duduk disini menjagaimu."
Ku pejamkan mataku perlahan dan berharap semoga esok bukan hari yang buruk. Ada banyak pikiran yang bercampur dengan mimpi di alam bawah sadarku. Tapi tiba-tiba terhenti karena kurasai sesuatu yang dingin dan lembut menempel di pipi dan keningku. Kubuka mataku perlahan kudapati wajah mas Panji hanya setengah jengkal di atas wajahku. Mataku terbelalak lebar, tapi ternyata keterkejutanku dengan cepat disambut lumatan lembut di bibirku. Ah, mas Panji aku tak kuasa menolak. Mas Panji sudah sama di pembaringan denganku, matanya tajam menatapiku, kami hanya diam saling menatap. Pelukan lembut dan hangat itu kemudian menyelimuti tubuhku yang tiada berbungkus seperti bayi baru terlahir ke dunia. Jantungku begitu kuat debarannya seperti deburan ombak menghantam karang di pinggir pantai. Tak bisa kuimbangi lagi akal sehatku semua lenyap seakan melayang terbang ke udara, hanya aku dan mas Panji yang bergantian berderu nafas. Apa ini obat rindu? Pikirku. Seolah-olah kami saling memiliki dan mengerti satu sama lain hingga akhirnya kami sama-sama telah sampai ke puncak dan dibanjiri oleh gelenyar-gelenyar kenikmatan dan kemudian tergolek berjajar menatapi langit-langit kamar tanpa bicara, dipeluknya lagi aku hingga tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA DI LANGIT HINDIA
Historical FictionHidup disini ku kira akan mengobati hatiku. Ternyata aku juga tak punya kuasa atas diriku sendiri. Tahu apa mereka tentang perasaan? ~ Gendhis Sasmaya Historical Romantic (Cerita ini fiksi dan hanya berdasarkan imajinasi penulis) Background Picture...