18. HIDUP BERSAMA HENRICK DEHAAN

312 45 3
                                    

Keluar dari desa ini dan memulai penghidupan yang baru, setengah mati ingin rasanya kulupakan kejadian dan kenangan buruk yang menimpa aku dan mas Panji. Tapi kini hanya kenangan indah yang tersisa, dia yang sedang bermain riang di halaman rumah, William Dehaan, anakku dan mas Panji. Tapi? Kenapa Dehaan? Itu adalah nama yang diberikan oleh papanya, aku juga punya nama pribumi untuknya, Bagus Suryo. Iya, aku tau apa yang sering dibicarakan orang-orang diluar sana, aku sendiripun sering mendengar ocehan para pekerja dan teman-teman William. Bagaimana bisa dengan wajah pribumi asli dan totok seperti itu punya nama belakang keluarga Eropa?

"Ma, mama mereka bilang aku bukan anak papa. Benarkah itu ma?" Celoteh anak tujuh tahun itu dengan wajah manisnya. Ku perhatikan matanya yang tajam mirip sekali dengan mas Panji, serta ujung bibirnya yang manis kalau tersenyum, sebenarnya wajahmu sendiri adalah jawabannya nak. Jawabku dalam hati.

"Jadi kalau bukan anak papa, mereka bilang kau anak siapa?" kutanya dengan tatapan lembut dan hangat

"Selingkuhan mama." Jawabannya kali ini membuatku benar-benar tertawa geli, bahkan sampai membuat William diam terheran-heran.

"Tidak mungkin nak. Apa kau lihat ada yang lebih ganteng dan baik hati dari papamu?"

"Nein mama, tidak ada. Dia adalah papa yang terbaik."

"Yasudah, sekarang kau tau jawabannya kan?"

William yang mendengar itu langsung tersenyum dan mengangguk kemudian berlari lagi mengambil mainannya. Aku yang duduk di teras rumah hanya memperhatikan William yang setidaknya beruntung bisa lahir dengan selamat dan tidak hidup terlantar seperti apa yang sempat kubayangkan. Ku sesap tehku perlahan sambil berpikir bagaimana aku menjelaskan tentang mas Panji kepada Wiliam jika dia besar nanti. Aku ragu untuk memberitahunya sekarang, aku takut keceriaannya yang sekarang akan hilang, aku tidak ingin dia menjadi pemurung karena merasa terbebani dengan hal itu.

"Sedang memikirkan apa?" aku dikejutkan oleh tangan yang merangkul kedua pundakku dari belakang. Suara ini, wangi parfum ini, parfum beraroma khas kayu-kayuan yang menyeruak ke dalam hidungku, ini adalah parfum hadiah dari temannya sewaktu datang dari Eropa, aku tau siapa dia. kutolehkan wajahku ke belakang, kudapati senyum dibibir itu mendarat hangat di keningku.

"Papaaaaaa." Teriak William sambil berlari kearahnya

"Williammmmmm." Sahutnya dengan membuka lebar kedua tangannya untuk memeluk William. Aku berharap keadaan indah ini tidak cepat berlalu, jangan lekas berganti dengan air mata dan kesedihan. Tapi air mata ini sudah jatuh kepipiku, kali ini airmata penuh kebahagiaan. Ku usap air mata yang jatuh kepipiku dengan jari jemariku.

"Mamaaa hier mama, ayo berpelukan." Ajaknya dengan tangan yang melambai ke arahku, aku bergegas menghampiri mereka berdua dan ikut hanyut dalam pelukan itu.

"Apa yang sedang kau pikirkan tadi Mevrouw Dehaan?" tanyanya sambil menyerahkan tas serta jasnya kepadaku.

"Kau belum bisa memanggilku Mevrouw Dehaan, Henrick." Jawabku santai

"Ja, dat week ik (Iya, aku tau), aku belum menikahimu, tapi bukan itu jawaban dari pertanyaanku tadi Gendhis."

"Baiklah, akan kujawab setelah aku mengetahui alasanmu sampai saat ini belum membawaku ke Gereja."

"Ayolah Gendhis, itu tidak sesederhana itu, kau tau aku sangat mencintai kau dan William. Lagipula apa kau siap meninggalkan sembahyangmu dan pergi ke Gereja setiap minggu menyembah Tuhan yang kita yakini berbeda." Jawabnya dengan suara lembut dan mendalam.

"Aku mulai mempelajari injil yang ada di ruang kerjamu. Maaf aku selalu memaksamu menikahiku, kau tau Henrick perasaanku saat William dibilang bukan anakmu, saat aku dianggap sebagai gundikmu?"

"Baiklah, nanti kita lanjutkan kembali pembicaraan ini. aku tak ingin membuatmu sedih." Didekapnya aku kedalam rengkuhan lengan yang besar dan kekar itu.

"Aku akan ke kamar William sekarang."

"Jangan, tidurlah denganku malam ini, temani aku." Tangannya mengunci tanganku yang melonggarkan pelukannya.

Malam itu berlalu dengan gumulan mesra dua jiwa yang sedang gelisah menanti takdir yang akan menemui mereka berdua. Menyatu dan berbagi kasih sayang yang mendalam. Kasih sayang yang lama kelamaan berubah menjadi rindu sepasang kekasih. Aku sendiri juga tak menyangka perasaan ini menjadi begitu hangat kepada Henrick Dehaan, dokter muda kebangsaan Nederland yang sering berkunjung ke rumahku dulu. Ternyata takdir tak main-main soal aturan kehidupan manusia. Pada awalnya perasaan iba dan kasihan memenuhi hubungan ini, tapi tidak ada yang tau bahwa rasa welas asih itu berubah menjadi nyaman yang tidak ingin dilepaskan. Aku ingin bergantung selamanya pada perasaan ini, menerima kasih sayang dari Henrick Dehaan dan mencoba membalas perasaan yang sama padanya.

"Kau tau Gendhis, aku sudah menyukaimu dari awal kita bertemu di rumah Romomu. Tapi aku tau kau adalah kekasih dari seseorang, dan kau terlalu dingin kepadaku sore itu di balkon, aku jadi tak berani mengutarakan perasaanku. Dan kau tau aku berasal dari bangsa penjajah, aku takut kau tak menyukai itu." Jelas Henrick membuka pembicaraan.

"Benarkah itu Henrick? Ku kira kau memungutku dijalanan delapan tahun silam hanya karena kasihan kepadaku."

"Sungguh kau berpikir seperti itu?" ditatapnya mataku dengan tatapan penuh pengharapan. "ik hou van je. Apa kau ingin aku mencari tau tentang Panji?"

"Tidak perlu Henrick, aku bersyukur bisa bersamamu sekarang. Walaupun aku tak tau mas Panji masih hidup atau tidak."

"Gendhis jika kau ingin pulang menemui Romo dan Ibumu, beritahu aku, aku akan mengantarmu kesana."

"Tidak Henrick, seumur hidup aku bersumpah tidak akan menemui mereka lagi dan aku tak ingin mereka tau aku ada disini. Aku begitu membenci mereka dan merasa berdosa karena itu juga."

"Baiklah." Sahutnya singkat sambil memelukku lagi.

***

Pagi yang cerah tadi tiba-tiba mendung disusul dengan rintikan hujan yang mulai deras. Henrick menikmati lagu-lagu khas negeri kincir angin lewat gramofon yang diputarnya di ruang tengah. Sesekali dia bangkit dari duduknya sekedar untuk menari-nari kecil, kemudian duduk lagi sambil memejamkan mata dan menikmati iringan lagu itu. Delapan tahun ini aku menemaninya di rumah ini, baru kali ini ku lihat Henrick sebegitu bahagianya, ah dua kali ini maksudku, yang pertama saat aku melahirkan bayi mungil yang kemudian diberi nama William Dehaan oleh Henrick. Aku percaya dia bukan bagian dari penjajah yang kejam. Dia memperlakukanku layaknya seorang pasangan, bukan budak yang harus patuh kepada tuannya, dia membiarkanku makan di meja yang sama dengannya dan tak membolehkanku duduk bersimpuh di lantai, bahkan dia membiarkanku memanggil namanya tanpa embel-embel Meneer.

"Kopimu." Kataku menawarkan secangkir kopi yang kubawa dan menghampiri Henrick yang duduk di kursi rotan.

"William mana?" tanyanya yang tak meilhat ekorku sedari tadi. Maksudnya adalah William. William memang lebih kelihatan seperti ekor, dia selalu mengekoriku kemana-mana.

"Di teras rumah, dia kecewa karena tak bisa memainkan mobil-mobilan yang kau belikan kemarin di halaman, jadi dia memainkannya disana." Jawabku tersenyum sambil menoleh ke arah teras rumah. Mataku menatap pasti seseorang yang berdiri di depan rumah kami, seorang perempuan dengan payungnya, gaun putih berenda sepanjang lutut, serta sepatu hitamnya, noni belanda? Tapi wajahnya yang tak kelihatan karena tertutup payung itu membuatku semakin penasaran.

"Wie ben jij? (kamu siapa?)" Tanya William yang sedari tadi duduk di lantai sambil mendongakkan kepalanya.

"Dit is het huis Henrick Dehaan? Waar is hij? (Benarkah ini rumah Henrick Dehaan? Mana dia?)" tanyanya dalam bahasa Belanda. Aku yang mendengarnya mencari Henrick langsung beranjak dari dudukku dan bergegas menghampirinya, disusul kemudian Henrick berjalan di belakang mengikutiku.

"Wie ben jij? waarom op zoek naar Henrick? (Ada apa mencari Henrick?)" Belum lagi sempat pertanyaanku dijawab oleh Noni londo itu suara Henrick terdengar dari belakangku.

"Julianna? Apa yang sedang kau lakukan disini? Kapan kau tiba?" Tanya Henrick terkejut.

SENJA DI LANGIT HINDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang