14. RINDU MEMBAWA CELAKA

301 38 3
                                    


          Pagi masih terlalu petang tapi aku dan Mas Panji sudah bersiap untuk pulang ke rumahku dengan dokar yang disewa mas Panji. Entah apa kiranya yang akan terjadi hari ini aku enggan membayangkan dan menerka-nerkanya.

"Mas, aku pulang sendiri saja. Kamu istirahat lah disini, kamu masih belum pulih benar."

"Aku akan mengantarmu." Jawab mas Panji dengan tegas.

Dokar yang kami tumpangi seakan tak terasa sudah hampir setengah jalan. Pikiranku kacau memikirkan apa yang akan aku hadapi. Cerita malam tadi bersama mas Panji pun tak sempat mampir di dalam kepala. Cerita dua anak manusia yang saling menumpahkan rindu. Rindu tak kepalang tanggung yang sudah membuat hati begitu menderita.

Sesekali kulihat mas Panji, dia hanya diam menatap lurus ke depan. Ku genggam tangannya dan dibalas mencium punggung tanganku.

"Kamu ndak usah takut ya. Aku yang akan mengantarmu sampai di rumah. Aku akan bicara dengan Romo dan Ibumu, juga mas Eka."

"Ndak usah mas, ini bukan waktu yang tepat."

"Kamu ndak usah khawatir.."

"Mas, tolonglah, bukan kali ini. kasih aku waktu untuk mempersiapkan diri. Ini ndak mudah mas. Kali ini, biarkan dulu aku melewati masalah ini."

"Baiklah, lain kali saja. Aku hanya khawatir"

"Ndak popo mas, dimarahin karena kesalahan kita itukan wajar. Lagian mereka kan keluargaku, ndak mungkin melebihi batas."

"Baiklah."

***

Dokar berhenti agak jauh dari rumah, aku pamit dan kemudian turun berjalan ke arah rumahku. Ku lihat Kang Sarip dan Mbok Karsih berdiri di depan rumah dengan wajah khawatir dan cemas melihatku.

"Ndoro...."

"Ssstt....ini masih gelap, ngapain mbok dan Kang Sarip berdiri disini? Mbok ayo bantu saya masuk dari belakang ke jendela kamar saya" Tanyaku dengan suara berbisik.

"Anu Ndoro.. dari tadi malem Tuan Romo, Ndoro Ayu, dan Tuan Muda tidak tidur nungguin Ndoro Putri pulang." Ujar kang Sarip dengan mimik wajah ketakutan.

Aku hanya bisa menghela napas panjang dan tak tau harus berbuat apa. Dengan segala keberanian kuhadapi Romo, Ibu, dan mas Eka, kupikir memang semua harus dihadapi. Benar saja memang di ruang tengah Romo duduk di atas kursi dengan mimik wajah marah. Kulihat juga Ibu duduk menangis. Senyum ramah mas Eka juga tak kudapati lagi.

"Kulonuwun.. Romo, Ibu, mas Eka."

"Dari mana kamu?"

"Anu Romo, Gendhis kemarin belajar menjahit di..."

"Menjahit opo? Menjahit kebohongan iyo?" Tanya mas Eka langsung yang memotong kalimatku.

"mas dengerin aku sik..."

"Kamu diem dulu." Sambil tangannya diacungkan ke arah ku. Aku tak percaya mas Eka bisa semarah ini.

"Aku, Romo dan Ibu wis ngerti kabeh Ndis. Ngirim surat, menjahit iku kabeh bohong. Bahkan ono sing aneh belakangan ini, tukang antar surat kabar beberapa hari lalu mencurigakan, dan ternyata setelah ku cari tau, dia itu Dayat, temannya Panji. lunga belajar pirang dino iki ternyata cuma untuk mengelabui kami men biso bertemu karo Panji hahhh??!!!" Bentak mas Eka.

Belum pernah kulihat mas Eka semarah ini, kulihat ibu semakin menangis menjadi-jadi. Aku hanya berdiri gemetaran tak bisa menyangkal apapun. Air mata juga malah menambah suasana kacau di rumah ini.

"Kamu semalaman ndak muleh, dimana kamu nginep nduk?" Tanya ibu kepadaku. Tak kujawab hanya aku semakin menangis melihat ibu seperti itu.

"Ojo ngomong kamu nginep neng omahe anak'e wong edan iku? (Jangan bilang kamu bermalam di rumah anak orang gila itu?). Jawab Ndis.. kamu dimana semalam?" Tanya mas Eka sambil mengguncang-guncangkan bahuku. Tetap tak kujawab pertanyaan mas Eka, karena aku tau itu hanya akan menambah kacau keadaan.

"Bener kamu nginep di rumah Panji nduk?" Tanya ibu lagi padaku. Ku jawab hanya dengan anggukan .

"Dasar bajingan!!!.kubunuh dia.."

"Mas jangan mas. Jangan mas Eka." Seketika aku bersimpuh dibawah kaki mas Eka. Air mataku sungguh semakin deras menghujani pipiku. Aku terus memohon-mohon kepada mas Eka, aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada mas Panji. tak sampai disitu aku juga memohon kepada Romo, ku hampiri Romoku dengan berjalan jongkok ke arahnya.

"Romo.." kataku sambil kedua tanganku bersimpuh dikakinya, tapi tiba-tiba telapak tangan Romo yang besar itu mendarat di pipi sebelah kiriku. 'Plakkk'

"Murahan, ndak nduwe isin, ndak nduwe toto kromo. Pingit dia di kamar ujung"

"Wis cukupppp." Teriakan ibu memenuhi ruangan, tak hanya aku dan ibu yang terkejut, juga kulihat wajah mas Eka mulai menciut melihatku seperti ini.

"Iki anakmu mas." Ujar ibu kepada Romo sambil memelukku

"Kamu ndak boleh koyo ngene karo anakmu dewe." Kata Ibu kepada Romo dengan yakin.

"Ra usah ikut campur kowe, selama iki aku diem dan terlalu memanjakan dia. Opo meneh iki urusane karo cah edan kuwi, aku ndak biso terimo, aku ndak biso tolerir meneh."

"Romo.. opo ndak keterlaluan ngurung Gendhis di kamar ujung?" ujar mas Eka dengan wajah agak memelas.

"Supaya dia paham akibat dari perbuatannya, diem-diem menipu Romo dan Ibunya, berhubungan dcngan bajingan koyo ngono."

"Romo maafin Gendhis." Kataku sambil berurai air mata.

"Karsih.." panggil Romo kepada mbok Karsih dengan suara lantang dan keras

"Nggih Tuan." Sahut mbok Karsih seraya menghampiri kami di ruang tengah, sekilas kulihat wajah Mbok karsih melihat ke arahku dengan mimik sedih.

"Bersihkan kamar ujung. Bereskan barang-barang seperlunya untuk Gendhis di kamar itu. Hanya beri dia makan dan minum sesuai waktu makan. Pastikan kunci pintu dari luar. Sarip mana?"

"Nggih Tuan Romo, saya disini." Kang Sarip pun turut menghampiri.

"Kunci mati jendela kamar ujung."

"Nggih Tuan, siap."

"Tega kamu mas karo anakmu dewe."

"Ini belum ada apa-apanya, sebagai seorang bapak, aku menghukum kesalahan anakku, dia hanya ku pingit di dalam kamar, tidak ku pasung, tidak ku cukur habis rambutnya."

"Kamu keterlaluan mas. Lagian apa salahnya kalau Gendhis punya hubungan dengan Panji?"

"Dia itu anak seorang bajingan, paham kowe?"

"Aku tau mas bukan itu yang satu-satunya jadi alasan, kau masih menyimpan dendam dengan ayahnya Panji karena telah menghamili Ibunya Panji yang tak lain adalah kekasihmu pada waktu itu kan, padahal kau dan ayahnya Panji adalah sahabat dekat. Bukan hanya itu, jabatan sebagai mandor kebun yang telah dijanjikan kepadamu dulu juga dengan licik berpindah tangan kepada ayahnya Panji. Aku tau mas, aku tau semuanya, hanya selama ini aku diam karena aku menghormatimu." Cecar Ibu dengan aliran deras airmata dipipinya.

Plakkk, tamparan yang tadi lebih dulu kurasakan sekarang juga mendarat di pipi Ibu yang basah oleh airmata.

Ibu seketika menatap Romo dengan tatapan tajam kemudian berlalu ke kamarnya tanpa berbicara sepatah katapun. Mas Eka kemudian setengah berlari menyusul Ibu ke kamarnya. Hanya tinggal aku, Romo, mbok Karsih dan kang Sarip di sana.

"Bawa dia" ujar Romo kepada mbok Karsih dan kang Sarip.

"Nggih Tuan." Sambil memboyongku ke kamar ujung. Aku menurut dan tak melakukan perlawanan, ku toleh kan kepalaku melihat Romoku yang terduduk lagi di atas kursinya dengan wajah sedih penuh penyesalan atas kejadian tadi, setidaknya itu yang bisa kulihat untuk terakhir kali sebelum hanya dinding dan langit-langit kamar di ruang petak itu yang sehari-hari akan kulihat.

SENJA DI LANGIT HINDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang