6. WAYANG DAN MAS PANJI

477 77 3
                                    

Malam itu kami jadi pergi menonton pertunjukan Wayang di lapangan dekat balai desa, kami yang kumaksud adalah Aku, Sumarni dan Kang Sarip, kami pergi dari rumahku dengan bendi yang dibawa Kang Sarip. Sampai di tempat pertunjukan ternyata kerumunan orang sudah pada menunggu.

Ada kulihat semacam bambu yang dibentuk dan dihias sedemkian rupa seperti gapura tanda selamat datang di tempat pertunjukan, tak jauh dari itu, disebelahnya ada meja dengan kotak kayu berwarna coklat. Kulihat juga orang-orang mengisinya dengan koin, seperti membayar untuk menonton pertunjukan. Aku dan Sumarni, mengikuti apa yang dilakukan orang-orang tersebut sebelum menonton, sementara Kang Sarip tak turut serta, katanya Ia lebih baik diluar menjaga bendi sambil bercakap-cakap dengan penjual jagung rebus, yang tak lain adalah teman kecilnya katanya.

Aku dan Sumarni duduk diatas kursi kecil pendek yang biasa disini disebut dingklik, kami duduk tepat searah angka enam jarum jam, hanya dua baris dari belakang. Pertunjukan baru dimulai, dan aku belum tau cara menikmatinya. Tiba-tiba Sumarni berbisik pelan di telingaku. "Ndhis, disebelah kanan, baju biru gelap, itu Mas Panji-mu."

Mataku spontan melirik kearah sebelah kanan seperti yang dikatakan Sumarni.

"Sopo?" tanyaku penasaran

"Mas Panji. Dari tadi dia seperti mencari-carimu, matanya liar kesana kemari." Goda Sumarni

Saat ku lihat lagi aku terkejut karna mata kami saling bertatapan. Ku buang pandanganku ke pertunjukan Wayang. Aku malu seperti orang yang sedang ketahuan memperhatikan diam-diam. "Mas Panji-ku" Aku tersenyum dan tertawa geli dalam hati mendengar itu tadi. Karna itu, ku lihat sesekali ke arah lelaki berbaju biru gelap itu dan benar saja memang dia sering menatap ke arahku. Tak ku pungkiri memang, aku terpikat walau baru sekali melihatnya, sorot mata yang tajam dan senyum manisnya. Mas Panji, hubungan seperti apa yang sebenarnya dijalin dengan Gendhis.

Akhirnya pertunjukan Wayang selesai, tapi bukan itu tontonan yang kunikmati, melainkan Mas Panji, di kerumunan orang yang riuh, ditundukkan sedikit kepalanya dan tersenyum bak bulan sabit kepadaku.

Kami bergegas pulang dan lebih dulu kuantarkan Sumarni ke rumahnya.

Sesampai di kamar ku buka buku di dalam laci meja riasku. Kucari-cari barangkali ada sesuatu yang bisa kutau tentang Mas Panji. Sambil sibuk tanganku mencari buku didalam laci ku dapati beberapa surat dalam amplop putih, bukan seperti surat cinta kelihatannya. Dan benar saja itu memang surat-surat dari Mas Panji. Ku bacai satu persatu hingga larut malam dengan perasaan yang campur aduk. Ternyata hubungan semacam ini.

SENJA DI LANGIT HINDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang