Setelah mas Panji pergi, ku tuntun sepedaku ke rumah Sumarni, agak jauh memang tapi rasanya aku pun tak punya semangat untuk mengayuhnya lagi.
"Ndis, ngopo toh kamu tadi buru-buru?" Tanya Sumarni langsung kepadaku yang rupanya sedari tadi dia sudah menungguku dengan tak sabar didepan rumahnya.
Pertanyaannya tak ku jawab hanya kupeluk Sumarni dengan diam seribu bahasa.
"Lah lah cah iki ngopo koyo ngene?, hei ngopo toh Ndis?"
"mas Panji pergi Sum, kali ini jauh aku tak tau itu dimana, tapi yang pasti akan lama, kalian berdua bakal ninggalke aku disini kan?" kupandang Sumarni dengan wajah sendu tanpa airmata. Akan malu kalau menangis pikirku.
"Ojo koyo ngono toh Ndis, aku jadi sedih. Ini juga bukan kemauanku, aku mana tega ninggalin mbahku dan kamu disini, tapi ya mau bagaimana? Kita bisa buat apa?"
Kupeluk Sumarni tanpa kata-kata dan Sumarni juga memelukku lama, seperti pelukan untuk merayakan perpisahan yang sebentar lagi akan datang.
***
Pekan yang dimaksud Sumarni akan berangkat ke buitenzorg adalah hari ini. aku langsung pamit kepada Ibuku untuk menemui Sumarni sebelum berangkat dan membawa beberapa bingkisan sebagai ole-ole supaya ada yang dikenangnya dari Gendhis. Ku kayuh sepedaku dengan pikiran yang senang tapi sedih. Setelah sampai dipelataran rumahnya aku berlari-lari kecil ke arah rumahnya, kupanggili tapi tak ada yang menyahut, ku lihatjuga rumah Sumarni sepi tak seperti biasanya. Kemana Sumarni dan Mbah?
"Cari sopo nduk?" Tanya seorang mbok penjual nasi tiwul yang kebetulan lewat sambil menjual dagangannya.
"Sumarni mbok"
"oh wis lunga isuk-isuk, sik peteng mau, omonge ning buitenzorg digowo lhondoe sing wingi mbengi teka."
"Hahhh bener toh mbok?"
"iyo cah ayu. Yo wis kulo pamit sik yo, mau jualan dulu. Parem."
"Monggo, suwon nggih mbok."
Pada akhirnya Sumarni pergi tanpa memberitahuku. Aku tak tau kenapa. Air mataku tak sanggup lagi kubendung. Seperti orang bodoh aku ditinggalkan dua orang sekaligus. Harapanku semoga Sumarni baik-baik disana.
***
Beberapa bulan sudah berlalu mas Panji belum juga kembali hanya surat-suratnya yang bisa menyapa dari kejauhan. Pintaku tak banyak hanya mudah-mudahan dia selamat dan selalu dalam lindungan Ilahi. Kubacai lagi satu persatu suratnya, surat terakhir satu bulan yang lalu...
"Gendhis.. maafkan aku jika membuatmu tersiksa rindu. Akupun merasakan yang sama. Tapi teman-teman seperjuanganku disini banyak yang tertangkap oleh para keparat itu. Aku tak tau bagaimana nasib mereka, bisa jadi mereka tewas karna disiksa tanpa ampun. Aku dan mas Dayat juga terpisah. Kami harus berpencar untuk mengelabui penyergapan tiba-tiba yang dilakukan koloni-koloni itu. Kuharap kau disana baik-baik saja Ndis, supaya tetap ada harapanku untuk kembali. Aku rindu senyummu. Berdoalah untukku, jangan khawatirkan aku, setidaknya kalaupun kekasihmu ini mati, dia mati dalam keadaan yang baik, dia mati membela Negara, dia mati di negeri ini dan untuk negeri ini,bukan mati tanpa harga diri."
Surat itu mengundang bulir-bulir bening yang mengalir riang di pipi. Aku kembali seperti di awal masuk ke zaman ini, sendirian lagi. Temanku satu pergi membela negeri dan satu lagi diambil oleh penjajah negeri.
Meneer Van Dalen sore itu sedang bertamu dan berbincang dengan Romo diruangannya, entah apa yang mereka bicarakan, aku juga tak ambil peduli. Aku hanya berdiri di balkon samping sambil melipat kedua tangan, pandanganku lurus kosong menatapi halaman rumput dan jalanan diluar pagar bambu itu. Tak ada satupun orang yang lewat.
"Selamat sore" Sapa Henrick Dehaan yang tak lain adalah keponakan Meneer Van Dalen dengan bahasa melayu agak terbata-bata.
"Sore Meneer" ku balas sapaan Henrick Dehaan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku
"Henrick saja tidak usah pakai Meneer." Mencoba mengakrabkan percakapan diantara kami
"bukankah memang harus seperti itu Meneer? Akan lancang kalau didengar oleh orang Eropa yang lain." Kataku dengan tatapan agak sedikit sinis
"Mmmm.. baiklah kalau begitu ku panggil kau Nona."
"Kenapa Nona?"
"Karena Noni sudah untuk Juffrownya Nederland. Lebih baik kau dipanggil Nona. Siapa nama Nona?" kukira kali ini dia sedikit melucu.
"Gendhis" jawabku singkat
"Baiklah ku panggil Nona saja"
Kubalas hanya dengan senyuman datar. Henrick Dehaan hanya ikut berdiri disampingku menatapi halaman rumput itu, tak tau apa yang menarik dari sana, tapi tatapan kami berdua sama masih tak ingin pindah.
"Mau saya ambilkan teh atau kopi Meneer?"
"Tidak usah, Dankjewel. Saya sudah minum di dalam, hanya saya ingin keluar sebentar karena pembicaraan mereka sepertinya tidak ingin diganggu."
Sore itu hanya dengan berdiri di samping balkon memandangi halaman rumput dan menikmati hambusan angin bersama Henrick Dehann. Dan berlalu seperti itu saja.
***
Pukul sembilan malam, rumah seperti biasa sangat sepi. Hanya suara jangkrik dan katak yang kadang bergantian sahut-menyahut. Romo tak biasanya duduk di ruang tamu sendirian, hanya ditemani kopi sambil membaca lembaran-lembaran kertas. Mungkin Ibu sudah bersiap untuk tidur di kamarnya. Aku hanya merebahkan tubuhku di atas kasur sambil pikiranku melanglang buana entah kemana. Belakangan ini kurasai semangatku pergi entah kemana. Setelah beberapa saat ku dengar suara pintu dibuka, tak lama suara Romo juga terdengar.
"Anak lanangku wis tekan. Samirah, anakmu mule iki loh."
"Le, wis tekan? Kesel tah le?" suara ibu juga kemudian terdengar
Mas Eka pulang pikirku. Kubuka pintu kemudian kuhampiri mas Eka.
"Kok malem-malem pulangnya mas?" sambil ku salim tangan mas Eka.
"Iya, ada urusan tadi sebentar dengan temanku."
"temen opo temen?" godaku sambil cekikikan
Mas Eka hanya membalas dengan senyum manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA DI LANGIT HINDIA
Historical FictionHidup disini ku kira akan mengobati hatiku. Ternyata aku juga tak punya kuasa atas diriku sendiri. Tahu apa mereka tentang perasaan? ~ Gendhis Sasmaya Historical Romantic (Cerita ini fiksi dan hanya berdasarkan imajinasi penulis) Background Picture...