8. GARIS TAKDIR

428 73 2
                                    

          Sudah beberapa hari tapi Sumarni belum juga menemuiku atau memang butuh waktu selama itu pikirku? Pikiranku terus mengembara entah kemana. Sore itu aku hanya duduk di balkon samping rumah, sambil melihat-lihat bunga kesukaanku aku bertanya dalam hati "Siapa gerangan Londho yang mau mengambil Sumarni? Sumarni tau atau tidak tentang ini? atau dia memang sudah tau. Tapi kenapa tak ada bercerita denganku?" pikiranku gusar sekali.

"Ndoro, ini ada surat tadi dianter sama tukang pos." Mbok Karsih memegang surat dengan amplop putih sambil berjalan ke arahku dengan badannya agak membungkuk

"Dari sopo mbok?" sambil ku terima surat yang dibawa mbok Karsih

"Ndak tau ndoro, katanya untuk Ndoro Gendhis, saya juga ndak bisa baca itu tulisan opo?" jarinya menunjuk ke arah tulisan di luar amplop dari E untuk Gendhis.

"oh, maaf mbok saya ndak tau."

"Nggih ndak popo Ndoro."

"Mbok, kalau sama saya, ya ndak usah membungkuk koyo ngono, nanti punggungnya sakit piye?"

"Ndak popo Ndoro, memang sudah harus seperti ini. saya pamit mau kebelakang lagi Ndoro"

"Nggih mbok."

Ku buka amplop surat itu dengan pelan dan rapi, karena sebenarnya aku tidak begitu fokus. Pikiranku masih gusar tentang Sumarni.

Mas Panji. Ternyata amplop surat yang bertuliskan 'E' itu dari Mas Panji. Mataku terbelalak, bagaimana kiranya aku menempatkan diri menjadi Gendhis yang sebenarnya dan mengerti semua apa yang disampaikan oleh Mas Panji. Kubacai isi suratnya dengan pasti dan sangat jeli.

"Gendhis. Aku rindu padamu, itu yang pertama. Sebenarnya aku ingin bertemu tapi sekarang memang belum memungkinkan. Kuharap disana kau juga bersabar. Mungkin aku akan pulang barang tiga atau empat hari lagi. Suratku yang terakhir belum juga kau balas, kiranya adakah kau marah kepadaku?

Sahabatmu, Sumarni sepertinya akan dipersunting oleh seorang kumpeni. Lebih tepatnya dipersunting untuk dijadikan Gundik. Pieter Berg namanya. Kau cari tau lah tentang Pieter Berg. Aku juga baru mendengarnya dari temanku, Mas Dayat. Dia juga yang memberitahu aku perihal Sumarni.

Sebenarnya banyak yang ingin kuceritakan padamu kekasihku, tapi kutahan, nanti saja saat kita bertemu.

Percayalah aku disini terus memikirkanmu. Salam rindu Panji."

Tentang perasaan rindu mas Panji aku tidak bisa menafsirkannya untuk diriku, tapi Pieter Berg. Setelah mendengar namanya kurasa aku memang harus mencari tau, tapi bagaimana caranya. Yang kutau menjadi gundik itu ngeri. Dicemooh, dianggap hina, bahkan juga tak sedikit yang disiksa oleh tuannya. Tapi sekiranya Sumarni benar dijadikan gundiknya, semoga saja Pieter Berg adalah orang yang baik.

Tiba-tiba saja aku teringat pemuda londho ganteng itu, Henrick Dehaan. Aku tak tau kenapa tiba-tiba melintas dipikiranku untuk menanyakan tentang Pieter Berg pada Henrick Dehaan. Iya saja kalau memang Henrick tau tentang Pieter, bagaimana kalau tidak? Apa tidak bakal menimbulkan banyak pertanyaan?

Malam itu, aku berbaring di atas kasurku sambil memikir-mikirkan kenapa aku sampai seterlibat ini disini. Apa tak bisa aku hanya makan dan tidur saja dan tak memikirkan apa-apa? Surat mas Panji belum ada aku terniat untuk membalas, aku bingung bagaimana agaknya aku membalasnya, dan dengan kata-kata yang bagaimana pula.

"Ndoro... Ndoro Gendhis.. Non Sumarni ingin ketemu"

Sontak aku kaget dan buru-buru membukakan pintu kamarku. "Iya, masuklah Sum."

"Sudah tidur?"

"Belum" jawabku

Tiba-tiba Sumarni memelukku sambil menangis. "Ngopo Sum? Sum cerita sama Gendhis, kamu kenapa nangis?"

"Aku ndak tau mau cerita ke siapa lagi, ntah kamu itu Gendhis atau Vida, aku tau ne kamu itu temenku. Sebentar lagi aku jadi Nyai-NYai Ndis." Ucap Sumarni sambil sesenggukan dengan airmatanya yang semakin deras. Aku tak tau harus bicara apa yang bisa buat Sumarni jadi lebih tenang, aku tau rasa takutnya. Ku peluk Sumarni sambil ku usap-usap pelan punggungnya. Tiba-tiba dilepaskannya pelukan itu. "Ndis, aku ndak marah sama kamu, aku cuma lagi bingung sama keadaanku, Ibu dan Bapakku dulu pernah utang sama Londho, mandornya dulu sewaktu kerja di perkebunan tebu. Aku ndak tau itu berapa gulden, aku diminta sebagai gantinya Ndis. Ibu dan Bapakku juga sampai sekarang aku ndak tau mereka kemana. Mbahku ndak bisa berbuat apa-apa Ndis, dia sudah jual sawahnya untuk menebus aku, tapi Londho itu memang ndak mau, dia mau aku Ndis" kurasai air mata Sumarni terus bercucuran menetes di punggung tangannya.

"Pieter Berg. Nama lhondo yang mau mengambilmu itu namanya Pieter Berg Sum. Aku tau ini dari mas Panji, kemarin sore dia mengirimiku surat."

"Ndis, aku kasih tau ke kamu, aku udah ndak peduli lagi sama siapa namanya Pieter Berg itu, aku wis pasrah Ndis."

"Sum, aku masih mau cari cara gimana supaya ini ada jalan keluarnya. Kamu ndak usah takut, kamu doain aku yo Sum."

"Ndak usah lah Ndis, aku ndak mau kamu nanti kena getahnya, jangan bikin aku makin merasa bersalah, aku masih menghormati Biung dan Romomu, mereka sudah baik sekali kepadaku dan Mbahku, aku ndak mau kamu kena masalah. Juga Mas Panji, kalian berdua baik sekali kepadaku, aku sangat berterimakasih, semoga kau dan Mas Panji direstui sang Hyang Widi." Aku mengerti yang dimaksudkan Sumarni adalah Allah Swt.

"Direstui? Maksudmu Sum?"

"Jalan hubungan kamu dan Mas Panji ndak mudah Ndis. Semenjak Ayahnya Mas Panji menikahi ibu tirinya, hancur sudah semua Ndis, Perusahaan ternak dan kebun mereka hancur, mereka jatuh miskin, belum lagi sekarang Ayahnya sudah hilang akalnya (gila), dia tak tau rumahnya, tak tau keluarganya, begitu dianggap hina oleh orang-orang sekitar, Mas Panji juga terpaksa berhenti sekolah, dulu Mas Panji dan Mas Eka teman baik semasa sekolah di HBS. Mas Panji sekarang hanya bekerja serabutan, tapi dia juga suka menulis buku-buku, 'Sebagai Pribumi' itu buku karangan Mas Panji." Aku terkejut sambil ku ambil buku 'Sebagai Pribumi' yang ku minta dari Mas Eka dalam lemari bukuku.

"Egidius? Ini nama pena Mas Panji" sambil kutunjuk nama penulis buku itu, kuingat sama persis dengan inisial E di amplop surat sore tadi.

"iyo, jangan kenceng-kenceng Ndis."

"terusin Sum."

"Sekarang Mas Panji ikut bergabung dengan para gerilyawan untuk membebaskan pribumi-pribumi yang dijadikan budak paksa oleh kumpeni-kumpeni itu. Aku juga lega Mas Panji masih mengirimu surat, berarti dia masih aman."

"Iya Sum. Lalu hubungannya Mas Panji dengan Mas Eka?"

"Setahuku hubungan mereka tak baik Ndis, aku pernah diberi tahu mas Dayat mereka dulu sering berselisih paham, puncaknya ya waktu itu Mas Eka menyinggung tentang keluarga Mas Panji, bahkan memperolok-olokannya di depan teman-teman Eropanya. Kamu juga hati-hati Ndis, jangan sampe ada yang tahu kamu berhubungan dengan Mas Panji, Romomu tak menyukainya karena katanya ibu Kandung dari Mas Panji dulunya adalah kekasih Romomu yang dinikahi oleh Ayahnya Mas Panji yang tak lain adalah kawan karib Romomu."

"Ah yang benar saja... rumit sekali hidup disini."

"Hidup kita memang seperti ini Ndis." Timpal Sumarni dengan tertawa renyah.

"Asal kamu tau Sum, ditempatku berasal disana ada Handphone, bentuknya kecil, persegi hampir mirip dengan sabun cuci baju hanya lebih tipis sedikit, bisa kamu buat mangambil foto, dengerin lagu, menelpon orang di luar negeri sekalipun cukup satu genggaman. Disini membosankan, gimana kalau nanti kita sama-sama kesana?" timpalku dengan logat bahasa modern yang membuat Sumarni bingung dan keheranan. Kamarku dipenuhi dengan suara tawa kami berdua, walaupun sebenarnya hati kami sedang perlu bersendu.

SENJA DI LANGIT HINDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang