Tiga Puluh Dua

12 6 0
                                    

"Mereka sering bercerita," jawab Tania akhirnya setelah keheningan yang cukup panjang dan canggung.

"Mereka siapa?" tanya Lidya bingung namun penasaran.

"Ya, kau tahu ... para penghuni hutan."

Lidya menatapnya ngeri. "P-penghuni hutan dalam artian ...."

Tania mengangkat kedua tangannya, lalu mengibaskannya di udara. "Bukan itu, bukan. Para hewan, dan beberapa pohon. Ema juga pernah bercerita walau hanya beberapa."

Manggut-manggut mengerti, Lidya berkomentar, "Ah, kukira."

"Lagi pula, memang yang begitu itu nyata?"

"Jika kita saja nyata, kenapa mereka tidak?" sahut Nathan datar.

"Apa kau pernah bertemu dengan mereka? Berkeliaran di dunia ini? Seperti apa bentuknya? Kenapa mereka ada di sini?" tanya Tania bertubi-tubi saking penasarannya.

"Oh, benar. Memangnya apa tugas Demon? Apakah seperti para setan yang sibuk menggoda iman? Atau, bagaimana?" tanya Lidya jadi ikut penasaran.

"Hubungan mereka timbal-balik dengan para Angel dan Fairy. Kekacauan bersumber dari mereka, dan yang bertugas mengatasinya adalah Angel dan Fairy. Sayangnya, para Angel sudah tidak diperbolehkan lagi untuk berurusan dengan segala jenis makhluk yang menghuni bumi. Sehingga, kehidupan para Demon berubah ... entahlah berapa derajat. Intinya, mereka mulai mengalami hal-hal yang kerap disebut sebagai no life," jelas Aru panjang lebar.

Kedua gadis itu saling melempar pandangan, lalu tawa Lidya dan Tania meledak begitu saja. "No life? Elegan sekali," komentar Lidya sembari mengusap setitik air matanya.

"Tapi, sebagian besar Demon yang menetap di bumi, mulai bekerja sebagai agen."

"Ah, memangnya apa tugas agen? Sampai sekarang aku masih tidak mengerti. Terbentuknya mereka di bawah pihak manusia dan kita, rasanya sedikit tidak masuk akal?!" sahut Tania dengan kerutan di keningnya. Ia tidak tahu apa-apa soal pekerjaan asli mereka-—yang sebelumnya telah dibongkar oleh Darren ketika pers.

"Sebagiannya itu menjalankan perintah, sebagian lagi memberontak dalam diam," jelas Nathan singkat.

"Perintah? Perintah apa?" tanyanya lagi. Untuk kali ini, pikirannya tidak berjalan lancar, untuk sekadar menebak saja ia tidak mampu.

"Ada beberapa mutan atau makhluk mitologi yang menyalahgunakan kekuatan mereka, dan para agen bertugas membasminya sebelum terjadi masalah besar. Namun, hanya sebagian saja yang menuruti perintah itu, sedangkan sisanya memberontak dalam diam." Jelas Lidya panjang lebar.

"Membasmi dalam artian ... membunuh?" cicit Tania ngeri, dan Lidya mengangguk dengan senyum tipis.

"Kalau begitu, sebagian dari mereka ada yang disembunyikan, kan? Di mana? Apakah mereka hidup bebas, atau diadili dengan cara sendiri? Ah, satu lagi. Apakah mereka tidak memberontak ketika tahu soal hal yang terjadi belakangan ini?" tanya Tania bertubi-tubi, keingintahuan yang dirasanya mulai sulit dikendalikan, sama halnya dengan pukulan emosi yang tiba-tiba datang. Napasnya menderu dan sorot matanya terus menuntut jawaban.

Hening menyelimuti, hanya suara angin pendingin yang meramaikan. Bunyi kerikil dilindas ban mobil pun menghilang, karena ia tak lagi melaju. Dengan cahaya yang menembus jendela berasal dari bulan dan udara terasa lebih dingin.

"Ini ... di mana?" tanya Kevin begitu sadar.

"Gerbang masuk." Jawab Nathan datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.

Pemandangan di luar sana terlihat tidak terlalu asing, penuh dengan pohon, sama dengan gudang bekas waktu itu. Bedanya kali ini, ada sebuah pagar listrik yang membatasinya, melingkari tempat yang mereka yakini sebagai Laboratorium Barat.

"Kita sudah sampai? Secepat itu?" tanya Lidya tidak percaya.

"Lebih tepatnya, semudah itu," koreksi Aru. Pandangannya tidak lepas dari satu penjaga gerbang yang keluar dari posnya, untuk mengecek kendaraan mereka. Sebelum si penjaga bergerak semakin dekat, jendela mobil bagian pengemudi di buka, salah satu kepalanya melongok keluar. Saat itulah gerbang terbuka, karena si penjaga memberikan arahan pada rekan satu posnya.

Jendela mobil tertutup, pedal gas diinjak, dan mobil kembali melaju. Memasuki pekarangan dan akhirnya mencapai pintu masuk Laboratorium Barat.

"Ini ... memang terlalu mudah," celetuk Kevin setuju.

"Aku dan Aru akan mengecek keadaan sekaligus menjalankan misi, tunggu aba-aba dulu sebelum mengerjakan bagian kalian!" ujar Nathan lewat suara, juga lewat mind link.

Keduanya menghilang dari jarak pandang ketiga remaja itu, lalu kembali muncul di luar mobil. Aru dan Nathan menatap dua mobil yang dinaiki rekan-rekannya, saling melempar pandangan, lalu mengangguk.

Nathan menghilang, sedangkan Aru masih berdiri diam. Tangan kanannya terangkat tinggi di udara, dan sedetik kemudian, tongkat kayu sepanjang tubuhnya mendarat masuk ke dalam genggamannya. Ia menghentakkan tongkat tersebut satu kali, dua kali, tiga kali ... menciptakan ritme tertentu.

Daun berguguran dan mulai berterbangan membentuk pusaran angin, ranting pohon juga ikut melambai. Langit bergemuruh, awan-awan berkumpul tepat di atas pusaran angin. Tanah bergetar halus, melayangkan serpihan batu ke udara yang lantas tertiup sang angin.

Pemandangan ini sangat menyeramkan karena dilihat dari jarak dekat, belum lagi dengan fakta bahwa ini sudah malam. Hanya ada sinar lampu putih yang menerangi kawasan hutan.

"Dia akan membuat tornado ... ?" tanya Jeremy ngeri walau tidak begitu yakin.

"Itu hanya ilusi. Aku tidak melihat banyak," ungkap Samudra tanpa mengalihkan tatapan.

"Oh, benarkah?" tanya Jeremy, seketika itu memusatkan seluruh perhatiannya pada si Ketua OSIS SMA Candramawa.

"Awalnya memang rusuh, tapi perlahan mulai surut, dan terlihatlah kejadian aslinya. Ada walau tak seberapa, ini hanya sebuah gertakan." Jelas Samudra santai.

[]

TBC.

Happy Reading,

Gimana reaksi kalian setelah membaca chapter ini? Ayo komen di bawah dan jangan lupa vote.

Next?

FATE OF LIFE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang