Enam

65 16 0
                                    

"Mutan?" tanya Cyla sangat bisa menebak isi pikiran Samudra.

"Bukan, aku hanya ingin mengembalikan penamu." sanggahnya tegas dan datar.

Cyla meringis malu. "Terima kasih,"

Sesaat kemudian ia tersadar soal ucapan Jeremy sebelumnya. "Yakin?" tanyanya dengan nada menggoda. Samudra melirik ke arahnya, "Kakak tidak ingin bertanya-tanya lagi?"

Samudra masih bisa mengontrol ekspresinya, tapi Cyla tahu bahwa Samudra sedang ragu.

"Kakak, bisa melihat ini?"

Cyla mengambil risiko besar dengan menerbangkan pena tersebut dengan keadaan menghilang. Samudra mematung, menatap ke arah pulpen tersebut. Cyla terus memainkan pulpen tersebut, hingga akhirnya Jeremy keluar karena merasakan perasaan Cyla. Adrelanin, takut, bersemangat, dan penasaran, dalam waktu bersamaan. Jeremy tentu tidak dapat melihat pena tersebut, tapi Jeremy yakin Cyla sedang melakukan sesuatu di hadapan laki-laki itu. Jeremy menepis tangan Cyla, sehingga sang empunya terkejut, lalu pena tersebut jatuh dan kembali kasat mata.

Jeremy menatap Cyla penuh tanya. Cyla menatap Jeremy bingung. Sedangkan Samudra menatap mereka berdua penuh selidik.

Samudra berdeham, Jeremy mengalihkan pandangannya, kemudian berujar. "Hei, dia kakakku. Tidak perlu berpikir yang aneh-aneh." Cyla tertawa kecil mendengar hal tersebut.

Tidak heran jika Samudra berpikir hingga ke sana. Ukuran tubuh Jeremy memang besar, dan postur tubuhnya mendukung itu semua. Jika dilihat-lihat, Jeremy dan Samudra memiliki aura yang mirip. Tegas. Walaupun sebenarnya Jeremy agak jauh dari kata tersebut.

Tersadar, Cyla memukul Jeremy. "Sopan santunmu ke mana? Masuk sana! Kau belum masak, kan?" Jeremy mendengus kesal lalu terpaksa masuk ke dalam rumah.

"Maafkan adikku itu. Sepertinya besok kita masih akan bertemu, sudah tidak ada pertanyaan lagi kan? Aku akan masuk, hati-hati di jalan." Cyla tersenyum sopan lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Samudra yang semakin dibuat bingung.

Tak lama kemudian, Cyla kembali muncul dari balik pintu. "Maaf, aku lupa mengambil penanya."

Cyla menjangkau pulpennya dengan mudah, karena jaraknya memang tidak terlalu jauh. "Hati-hati!" Cyla kembali masuk.

Samudra terpaksa harus memendam rasa penasarannya hingga esok hari. Mendapat perlakuan seperti tadi dari Cyla, tidak menuntaskannya sama sekali, malahan pertanyaan dalam benaknya semakin menumpuk.

Di sisi lain, Cyla sedang membantu Jereny memasak di dapur. Orang tua mereka sedang dalam perjalanan bisnis di luar kota. Mungkin akan kembali minggu depan.

Cyla mencuci dan memotong sayuran, sedangkan Jeremy tengah meracik bumbu. "Ambilkan sendok Tra," Cyla tidak menyahut, dia mengayunkan tangannya pelan, otomatis sendok tersebut sudah ada di tangan Jeremy.

"Kau masak apa?" tanya Cyla penasaran.

Selama ini, yang menentukan menu makanan selalu Jeremy. Cyla hanya membantu sesuai yang diperintahkan, lagipula ia tidak jago memasak. Kadang terlalu asin, hambar, pahit, dan segala macam inovasi rasa baru yang sanggup membuat Jeremy merasa keracunan makanan.

"Kare." jawabnya singkat.

"Pakai apa lagi? Hanya sayuran?" tanya Cyla heran.

"Ada sisa ayam, biar aku yang urus. Kau aduk-aduk itu saja."

Cyla merasa kesal karena diremehkan. Tapi ia tahu, dirinya juga tak bisa berbuat banyak. Tidak terima tentunya, namun endadak ia merasa bersalah dan tidak berguna.

"Hei." panggil Jeremy yang ikut merasakan.

Cyla tersenyum kecil, "Entahlah, semuanya akhir-akhir ini terasa gila dan tidak masuk akal." ungkap Cyla sembari menghembuskan napasnya kasar.

FATE OF LIFE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang