"Ugh, apa kau baik-baik saja?" tanya Lidya sembari memegangi sisi kanan kepalanya.
"Tak apa. Kau sendiri?" balas Tania disertai ringisan kecil.
Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi, tiba-tiba saja sebuah angin menghisap keduanya masuk ke tempat antah-berantah. Ruangan sempit nan kumuh, dengan pencahayaan remang dan hilang-timbul.
"Ini di mana?" tanya Tania heran.
"Tidak tahu, tapi sepertinya berjalan sesuai rencana," jawab Lidya.
"Berarti di sinilah tempat mereka mengurung para karyawan?" Tania mengedarkan pandangannya dan terus mengobservasi sekitar sewaspada mungkin.
"Benar, tapi masalahnya sekarang adalah ... kita tidak tahu tempat ini memiliki keamanan setinggi apa," jelas Lidya dengan napas gugup, matanya juga ikut bergerak menelusuri sekitar.
Mereka berdua berdiri diam menemani hening dan kedapnya ruangan. Tania menajamkan penglihatannya, ketika mendapati sebuah sulur menyembul dari retakan dinding. Gadis itu mengangkat tangannya, mulai menyalurkan kekuatan. Sulur tersebut perlahan membesar, dan ....
Brak!
Lidya refleks memekik kaget ketika pembatas tersebut meledak dan melemparkan batu ke segala arah.
"Ah, Kak Lidya. Kau tak apa?" tanya Tania cemas.
"Tidak, batu-batunya tidak terlempar setinggi itu." Jawabnya sembari menepuk-nepuk tubuh, guna menyingkirkan debu yang menempel. Mereka beberapa kali terbatuk, dan menutup mata ketika perih menyapa.
"Hai, senang bertemu dengan kalian."
Lidya dan Tania menoleh secepat kilat, lalu segera memasang kuda-kuda. Mereka memicingkan mata, berusaha mengidentifikasi siluet di ruang sebelah. Adrenalin keduanya berpacu, hampir selaras dengan debaran jantung.
"Tadi itu pertunjukkan yang hebat," pujinya dengan nada cempreng, membuat mereka bergidik. Tangan mereka mengepal, pikiran terus berjalan mengobservasi sekitar terutama sang lawan. Akan berakibat fatal jika mereka asal menyerang, tanpa tahu karakteristik dan kekuatan lawan.
Mereka harus melakukan perencanaan singkat yang matang.
"Bagaimana jika sekarang aku ikut menjadi pemerannya?" Ia bertanya dengan nada rendah kali ini, membuat dua gadis itu semakin was-was.
"Tania!" Gadis itu menoleh, lalu membalas anggukan Lidya dengan anggukan juga.
[]
"Serangan kombinasi?" tanya Lidya bingung.
"Ya, benar. Lawan kalian saat ini, bisa dibilang setara dengan para agen. Kuat dan terlatih. Sulit ditaklukkan jika kalian tidak memiliki cukup pengalaman, pengamatan yang akurat, dan tentunya kekuatan yang juga sebanding," jelas Van.
Mereka mulai merasa gugup, dan takut. "Tapi, walaupun begitu ... itu bukan berarti mereka tak terkalahkan. Untuk itu, kita membutuhkan strategi yang pas, yaitu kombinasi."
"Waktu kita untuk melatih dan menyempurnakannya memang sempit, terutama dengan kedatangan Tania baru-baru ini."
"Namun, kita tidak akan tahu sebelum mencobanya."
[]
Tania dan Lidya menajamkan seluruh indera mereka, peka terhadap keadaan sekitar. Tania mengangkat tangannya, kembali menggerakkan sulur raksasa tadi. Tapi, kali ini tidak hanya satu. Ia mulai mencari tumbuhan lain yang merambat di dekat ruangan pengap tersebut.
Ada banyak. Sehingga Tania berasumsi ruangan ini berada di area tersembunyi. Dibiarkan terbengkalai, dan menjadi bagian dari hutan, rumah para tumbuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE OF LIFE (END)
General Fiction[END] Manusia tidak pernah percaya akan keberadaan mereka. Mereka yang minoritas, dianggap monster, cacat, pembawa sial, dan alasan di balik kepunahan manusia suatu hari nanti. Mereka adalah mutan dan makhluk abadi (Minor sci-fi warning) Story by Ic...