Tiga Puluh Empat

14 5 0
                                    

Nathan tiba di depan pintu keluar dari tangga darurat, tangannya sama sekali tidak ragu untuk mendorong pintu tersebut.

Sinar merah remang dari area tangga, perlahan meredup ketika pintu tertutup. Bunyi yang dihasilkan juga menggema di sepanjang koridor.

"Ah, benar-benar datang, ya?" tanya sebuah suara.

Senyum miring terukir secepat tubuhnya yang ikut berputar menghadap si lawan bicara. "Seharusnya, memang tidak semudah itu."

Ia menjentikkan jarinya sembari tersenyum senang. "Benar sekali."

Selang beberapa detik, ada sekitar lima orang berjalan mendekat lalu berdiri diam di belakangnya.

"Kau masih bermain dengan cara licik ini?" cemooh Nathan dingin. Ia mengenali wajah-wajah itu, karena mereka adalah target dari misi penyelamatan yang saat ini tengah dijalankan.

"Tentu saja! Jika tidak begini, siapa yang akan terhibur? Aku? Tidak sama sekali," Pria paruh baya itu kembali memetik jarinya. "Maka dari itu, tolong dinikmati acaranya."

Lima orang yang sedari tadi berdiri diam di belakangnya, mulai berjalan mendekat dengan tatapan mengerikan. Seolah mereka ingin segera membunuh dan mencabik-cabik Nathan, lalu mendapat kepuasan tersendiri setelahnya.

"Terlalu naif," komentar Nathan remeh.

Matanya perlahan berubah warna menjadi merah, sepekat darah, bahkan mungkin lebih dari itu. Bunyi tulang yang bergeser, patah, dan remuk terdengar memekakkan telinga. Sepasang sayap hitam mirip kelelawar, selebar kurang lebih tiga meter terlihat mencuat dari belakang tubuhnya.

Ia menyeringai puas ketika melihat lawannya terdiam. "Majulah."

Walau tubuh mereka gemetar ketakutan, mereka tetap maju. Hanya saja, posisi siap dan kuda-kuda sudah tidak lagi dipasang. Mereka hanya berjalan biasa ke arahnya, dengan tatapan takut dan linglung. Nathan membiarkan mereka melewatinya, dan berdiri di belakangnya.

"A-apa?" Pria paruh baya yang sebelumnya sibuk menyombongkan diri, kini menatap adegan di hadapannya penuh ketidakpercayaan.

Nathan tertawa sinis. Ia perlahan berjalan mendekat, namun lawannya malah tersaruk mundur hingga jatuh terduduk. "Kau terlalu meremehkan para agen. Hanya karena kau hidup dua puluh tahun lebih lama dariku, bukan berarti kemampuanku masih jauh di bawahmu. Mengejar ketertinggalan, aslinya tidak sulit bagi kami para anak muda. Maka belajarlah dari itu, wahai Pak tua."

"Aku tidak berniat melakukannya sejahat ini, tapi apa boleh buat ...."

"A-apa yang akan kau lakukan? M-m-mau apa kau?" tanyanya histeris.

"Membunuh? Aih, tidak. Menurutku, kita harus berduel barang sejenak. Jadi, bangunlah, Ardan!"

Ardan masih terduduk kaku, bahkan bibirnya mulai bergetar. Jantungnya berdebar begitu keras, sampai-sampai ia merasa seperti organ itu akan melompat keluar, jika ia tidak berusaha untuk kembali menetralkannya.

"T-tunggu dulu!" serunya dengan tangan terangkat. Ia buru-buru mengubah posisinya, bersujud di kaki Nathan sembari menyatukan kedua telapak tangannya di atas kepala, kemudian berujar, "Sungguh, maafkan aku. Ini semua hanya perintah Darren, bukannya kita sekutu?"

Mendecih kesal, Nathan menatapnya penuh hina. "Sekutu? Haha, yang benar saja. Kau membunuh mereka, tidak memberikan kesempatan kedua atau menyerahkannya kepada Van."

"Di sini kau juga akan melakukan hal yang sama!" balasnya tidak terima.

"Memang, tapi aku tahu lawanku siapa dan apa yang telah mereka perbuat. Kau sudah diberi puluhan kesempatan untuk berbalik, tapi apa? Pilihanmu terus saja kembali ke bocah sialan itu," tukasnya dingin.

"Selamanya akan tetap begitu," balas Ardan sembari tersenyum puas, pandangannya di belakang Nathan.

Lebih tepatnya, para tawanan yang kini berhasil jatuh di bawah kendalinya. Kali ini, ia tidak akan lengah dan membiarkan Nathan menang.

Ia memetik jarinya, lalu tersenyum puas.

"Let the real show, begin."

Nathan ikut menyeringai, pergerakan yang terjadi di belakangnya sangat terasa. Ia bisa memprediksi hingga detail-detailnya, sehingga mudah baginya untuk menghindari serangan yang dilancarkan.

Nathan membentangkan sayapnya, lalu mengambil langkah maju tanpa ragu ke tempat Ardan berdiri. "Aku berubah pikiran, lebih baik diselesaikan secepatnya."

Kali ini, Nathanlah yang memetik jari. "Sampai jumpa." Mengukir senyum miring dengan tatapan bengis.

Teriakan kesakitan terdengar, tubuh Ardan seolah dibakar api tak terlihat. Perlahan memerah, mengelupas hingga akhirnya berubah hitam. Nathan kembali memetik jarinya dan tubuh itu pun hancur menjadi butiran-butiran debu tak berarti.

Nathan menepuk seluruh tubuhnya, menyingkirkan debu-debu yang menempel. Lantas memutar-balikkan tubuhnya, menatap para tawanan. "Saatnya pulang."

[]

"Ah, sialan!" Hanya itu yang bisa ia katakan, tatkala melihat kedatangan tiga orang yang selama ini dibencinya.

"Hei, Aru. Bukankah seharusnya kau menyambut kami? Kenapa malah mengumpat?" tanya gadis berambut perak sepinggang.

"Dia cantik," gumam Cyla dari balik kaca mobil.

"Sayangnya, ia berada di pihak yang salah," timpal Vani.

Aru tertawa sinis. "Baiklah, Nona-nona. Sambutan terbaik dari Tuan Aru, agar kalian bisa segera enyah."

"Oh, mengecewakan sekali," balas gadis lainnya dengan rambut perunggu sepunggung.

"Benar, padahal tidak ada salahnya jika, kita bermain-main sebentar." Timpal gadis berambut emas sebahu.

"Ara, Ari, Are, dan Aru. Bukankah kita empat bersaudara yang sempurna?" tanya Ari, si rambut perak.

"Uhum, sempurna sekali. Sepuluh dari sepuluh!" timpal Are, si rambut perunggu.

"Diamlah, aku tidak punya waktu meladeni kalian bertiga," ujar Aru dengan tangan terangkat, menutup mulut ketiganya tanpa ragu.

"Ish, semakin hari, kau semakin menyebalkan!" rengut Ara, si rambut emas.

Aru memutar bola matanya malas, ketiga saudarinya yang keras kepala ini akan menjadi lawan yang melelahkan. Bukan sulit, hanya saja ia jadi harus menahan diri.

"Rasakan ini!" Ari menepuk kedua tangannya, melemparkan gelombang angin yang berhasil memutar-balikkan mobil-mobil.

"Oh, Aru. Trik itu lagi? Kau benar-benar ingin dikalahkan, ya?" tanya Are remeh.

"Mungkin saja," balas Aru acuh tak acuh. Ia mengangkat tongkatnya tinggi, lalu memutar-balikkan segala jenis serangan. Mulai dari bongkahan tanah seruncing anak panah, tebasan angin setajam pedang, dan dedaunan gila pengalih perhatian. Setelah serangan itu mengenai ketiganya, Aru memiringkan tongkatnya sedikit, dan terkurunglah mereka di dalam kubah tak kasat mata.

"Pulanglah," ujarnya prihatin, sebelum akhirnya kubah itu menelan dirinya sendiri dan hilang.

Menghela napas lega, sekarang saatnya kembali fokus bekerja.

[]

TBC.

HAHAI, PALEPALE PAPALE.

Me akhirnya kambek, gaiz!
Huhu, kangen nulis cerita ini yang bentar aggie bakal selesai. Huft, me harus berjuang!

Semangat untuk diri ini!
Sampai jumpa di next chapter, iya?!

FATE OF LIFE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang