Tiga Puluh Enam

12 6 0
                                    

Nathan mendaratkan kakinya dengan mulus di atas sebuah mobil usang. Area hutan ini benar-benar luas, menyimpan banyak tempat terbengkalai di dalamnya. Cocok untuk dijadikan ladang bermain petak umpet tingkat dewa yang membutuhkan kemampuan khusus, seperti mendeteksi keberadaan, juga berpindah tempat secara kilat dan akurat.

Nathan melompat turun dengan santainya, kemudian berjalan di antara banyaknya mobil yang bertebaran bak labirin. Nathan mengedarkan pandangannya barang sebentar, dan langsung berhasil menemukan titik tujuan.

Kakinya menekuk membentuk kuda-kuda sempurna, lalu melompat tinggi dan mendarat tepat sasaran. Di hadapannya, berdiri sebuah pintu dengan kayu lapuk. Berdiri sendiri di atas tanah tanpa bantuan alat lain.

Nathan merenggangkan tubuhnya sebentar, sebelum akhirnya membuka pintu tersebut.

Wush!

Rambutnya melayang berantakan, matanya menyipit dan tangannya terangkat menutupi wajah. Ia berusaha mengintip dari sela-sela jari, namun yang ada malah butiran salju mengenai matanya.

Nathan menggerutu, ia berbalik lalu merentangkan sayap hitamnya dan melindungi tubuhnya. Lantas melangkah masuk, memijakkan kakinya pada tumpukan salju hingga tercipta jejak.

Rasanya ingin membakar seluruh tempat ini, tapi sekalipun dirinya bisa, belum tentu akan sanggup karena itu membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi dan kekuatan yang tidak main-main.

"Revan, Vani, cepat keluar!" sahutnya lewat mind link.

Nathan mencoba mendeteksi keberadaan mereka bak radar, dan berhasil menemukan keduanya di radius tiga ratus meter. Mendekat dengan kecepatan tinggi, Nathan terus mempertahankan radar miliknya. Di saat siluet kedua serigala itu mulai terlihat, Nathan perlahan mundur tanpa membalikkan tubuh. Terus memerhatikan, sampai akhirnya ia bisa melihat wajah dua penunggang dengan jelas.

Nathan menyingkir sedikit ke samping, membuka jalan agar kedua serigala itu tidak perlu memperlambat lajunya untuk keluar melewati pintu.

Wush!

Seperti dibantu angin untuk keluar, dua serigala itu berhasil lewat. Nathan juga berhasil keluar, ia kemudian menutup pintu dan membakarnya dengan memetik jari satu kali.

Tidak butuh waktu untuk berpikir panjang, Nathan langsung menyentuh dua serigala itu di waktu yang sama. Seperti yang terjadi sebelumnya, angin menghisap mereka masuk lalu mendaratkan mereka di tempat yang sudah diatur. Gudang terbengkalai tempat mereka berkumpul, dekat dengan portal untuk pulang-pergi.

"Nathan!" panggil Doni senang.

Pemuda itu hanya melirik kecil, sebelum akhirnya kembali menghilang. "Eh?"

Nathan mendarat di ruang keamanan, ia melangkah penuh waspada. Keadaan di sini masih sama seperti sebelumnya, para penjaga terkapar tak sadarkan diri di lantai. Namun, kali ini ... ada jejak darah memanjang, seperti diseret.

Tatapannya jatuh ke bawah, dan langkahnya mengikuti informasi yang diserap otak. Jejak itu membawanya menuju ruangan kecil, bertuliskan Ruang Penyimpanan. Tangannya terangkat meraih gagang pintu, lalu memutar dan mendorongnya.

Dug.

Pintu tak lagi bisa di dorong, tertahan oleh sesuatu di baliknya. Nathan memutuskan untuk memasukkan tangannyaㅡyang beruntung muat—dan meraih saklar lampu di samping pintu. Cahaya menembus celah pintu, ia mencoba mendorong pintunya lagi, tapi tetap tidak bisa.

"Doppleganger," lirihan itu terdengar jelas di telinganya, dan suaranya yang familiar membuat Nathan tertegun.

"Doni?" tanyanya mulai gugup.

Sret!

Pintu ditarik, dan menampakkan kehadiran rekannya yang terduduk lemas. Darah mengotori bajunya, terutama di bagian perut.

Nathan maju, ia berjongkok hendak merangkul Doni dan membawanya pergi. Pemuda itu menarik temannya berdiri, lalu kembali menghilang.

Kali ini, ia tidak muncul di depan gudang, melainkan di dalamnya. Sesuai perkiraan, hanya ada sekelompok orang yang harus mereka lindungi, bukan yang bertugas sebagai pelindung itu sendiri.

"Tenang dulu, aku ingin kalian menekan lukanya agar ia tidak kehilangan lebih banyak darah. Aku akan keluar sebentar, kalian tetap di sini, jangan ke mana-mana!" instruksinya tegas.

Mereka mengangguk kaku, suasana berubah tegang secepat kedatangan dan kepergian Nathan. Lidya merasakan debaran menakutkan, sama halnya dengan Cyla. Mereka semua merasakan itu.

Tania buru-buru maju dan melepas rompi anti peluru milik Doni. "Kain, aku butuh kain," ujarnya dengan nada bergetar.

Seorang gadis tawanan, melepas jas kantor yang dikenakannya lalu melemparnya. Cyla menahan jas itu agar tidak jatuh dengan kekuatannya, lalu memberikannya pada Tania.

Tania dengan segera menekan luka itu, tangannya tidak berhenti bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca, ia takut sekali.

"Berikan padaku." Ken maju lalu mengambil alih peran Tania.

Gadis itu membiarkannya dan hanya duduk diam. Doni beberapa kali meringis, urat-uratnya terlihat jelas menonjol di balik kulit. Mereka semua hanya diam, benar-benar merasa apa pun yang mereka lakukan setelah ini, hanya akan membawa malapetaka lainnya.

Tidak ada yang bergerak keluar, sekalipun kegaduhan terdengar. Serangan demi serangan, pertahanan dan pelarian. Semua unsur perkelahian tergambar jelas di dalam kepala mereka melalui bantuan suara.

Seharusnya misi ini sudah selesai. Mereka semua sudah kembali, tidak ada lagi tujuan lain selain pulang.

Brak!

Jeritan para gadis terdengar, tubuh Nathan yang diselimuti sayap lebar terkapar di atas lantai. Keringat dingin membasahi pelipis mereka semua, ketika siluet orang yang sebelumnya mereka percayai keluar dari sana.

Pak Akbar.

"Kalian kira bisa lari semudah itu?" tanyanya dengan senyum miring, mengundang rasa jijik dan kesal.

[]

TBC

Jangan lupa untuk klik vote, komen, dan share yup. Biar author semangat untuk lanjut ceritanya.

Gimana komenmu tentang part ini?

Sampai jumpa di bab berikutnya~

FATE OF LIFE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang