Mereka sedang berkumpul di depan rumah Ema dan Eric. Bersiap-siap, mengenakan rompi anti peluru, merenggangkan tubuh, melepas rasa gugup, dan masih banyak lagi. Mereka saat ini tengah menunggu kedatangan para tetua yang bertanggungjawab atas perencanaan misi penyusupan ini.
Sebuah meja tiba-tiba melayang melewati mereka, lalu diletakkan di tengah-tengah. Senjata api yang tertidur di atasnya, perlahan ikut melayang dan masuk ke tangan masing-masing dari mereka.
"Kami harus membawa ini?" tanya Samudra heran, ia sibuk mengamati pistol di genggamannya itu. Sama halnya dengan teman-temannya, mereka juga sama penasarannya dengan sang pengaju pertanyaan.
"Senjata cadangan, gunakan saat dalam keadaan genting saja." Jelas Liz yang sudah tiba.
"Bagaimana dengan mereka? Kenapa senjatanya berat semua?" tanya Kevin. Merujuk pada para agen yang sedang sibuk mengalungkan senjata laser panjang ke badannya.
"Mereka di sini bertugas melindungi dan membantu kalian, kita tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan, cara manusia juga dibutuhkan."
Mereka semua manggut-manggut mengerti, tidak lagi melontarkan pertanyaan. Walau persoalan senjata api ini diberikan secara mendadak, mereka tetap menerimanya. Rencana yang kemarin dibicarakan sudah cukup detail, jika terjadi sesuatu, maka merekalah yang harus berimprovisasi.
"Kalian semua sudah siap?" tanya Stef. Mereka semua meneguk ludah gugup, kemudian mengangguk kaku. Membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya, benar-benar menyeramkan.
Stef mengangkat tangannya, lalu memutar jari-jemarinya, membuka lubang besar yang memancarkan sinar biru—sama seperti waktu itu. "Portal ini tidak akan menutup tiba-tiba, kan?" tanya Tania ngeri sendiri.
"Tidak, tapi itu mungkin terjadi. Jadi, bergegaslah!" gurau Stef yang dianggap serius oleh Tania, sehingga gadis itu buru-buru melompat masuk.
Ia merasakan lembeknya tanah begitu berpijak. Mengedarkan pandangan, ia mendapati mereka telah kembali di depan gudang terbengkalai tadi. Gelap. Sinar matahari sepertinya tengah kesulitan menerobos rindangnya pepohonan, belum lagi dengan kehadirannya yang perlahan akan hilang digantikan bulan.
Suara hentakan kaki terdengar di belakangnya, ia menoleh dan mendapati Vani tengah menahan tawa. "Kenapa kau takut sekali, sih?" tanya Vani geli.
"Kayla bilang, kau bisa saja terpotong jika kau baru masuk setengah dan portalnya sudah menutup." Jelasnya.
Sesaat kemudian, Cyla dan Lidya ikut bergabung dengan mereka. "Hm, memang benar. Tapi, kemungkinannya kecil, Nenek Stef sangat pandai mengendalikan portalnya." Komentar Vani.
"Setuju. Ia bahkan pernah memotong ekor Glaurung dengan itu," imbuh Cyla sambil terkekeh.
"Glaurung?" tanya Tania bingung.
Para lelaki berjalan melewati mereka, dan para gadis mendapati adanya perbedaan yang mencolok; santai dan kaku.
Memutuskan untuk tidak terlalu memedulikannya, Lidya menepuk bahu gadis itu. "Kau akan mendengarnya nanti, perlawanan mereka keren sekali."
"Huum, sangat keren," imbuh Vani.
"Kalian akan berjalan selambat itu?" tanya Kevin kesal. Memaut jarak lebih dari satu meter, ia berdiri sendiri di sana, sedangkan yang lainnya terus melanjutkan perjalanan.
Keempat gadis itu akhirnya mempercepat langkahnya sambil tersenyum malu.
[]
"Ini gedung LKPMM?" tanya Tania.
Gedung tinggi dengan desain biasa saja, seperti gedung perkantoran pada umumnya ini memiliki puluhan anak tangga yang memisahkan trotoar dengan pintu masuk gedung.
Mereka masih berdiri termangu, menatap gedung tersebut dengan pikiran yang berkecamuk. Kebanyakan dari mereka sedang sibuk mempertanyakan keadaan di dalam gedung, seperti apa rupa mereka, bagaimana reaksi mereka ketika melihat kedatangan bocah-bocah ini, dan masih banyak lagi.
Walau begitu, hiruk-pikuk kota seolah berhasil menyamarkan keberadaan mereka. Tidak banyak yang berubah, para manusia tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Mungkin, yang membedakan hanya fakta bahwa Kota Kress tidak sepadat biasanya—walau masih tergolong ramai.
"Benar, kita butuh akses untuk pergi ke Laboratorium." Jawab seorang agen, kemudian mengkomando mereka untuk mengikutinya. Maka, mereka mengambil langkah maju, mengekori para agen dengan postur tegap penuh siaga, yang memimpin jalan masuk.
"Ah, omong-omong, kami belum tahu nama asli kalian," celetuk Vani yang segera disetujui dalam hati oleh yang lainnya.
"Rahasia, bagian dari kontrak. Tidak ada yang boleh menyebarkan nama asli, atau apa pun yang berhubungan dengan identitas." Jawab agen yang lainnya.
"Jadi ... kalian berharap kami mengingat kode-kode agen kalian?" tanya Cyla sarkastis, dan agen itu mengangguk.
"Oh, ayolah!" keluh Vani tidak terima.
"Kode 411."
"Kode 466."
"Kode 438."
"Kode 714."
"Kode 723."
"Kode 779."
"Doni, Zio, Brian, Aru, Nathan, dan Agus." Jelas Lidya sembari menunjuk mereka satu persatu.
Langkah mereka semua terhenti tepat di depan pintu masuk yang cukup sepi. Lidya sontak mendapat delikan tajam dari masing-masing pemilik nama. Kevin pun balas menatap mereka kesal, lalu merengkuh Lidya dengan gaya cukup posesif. "Kenapa? Kecewa karena tidak berhasil mempertahankannya?"
Zio, si pemilik kode 466 dengan kategori mendecih kesal. Memutar bola matanya malas, ia menggerakkan kepalanya ke arah gedung, menyuruh mereka masuk secara tidak langsung, dan mereka menurutinya.
Pintu dibuka, dan ... berbagai macam tatapan dilemparkan terang-terangan. Ada yang terlihat kaget, lega, curiga, tegang, dan—walau hanya segelintir—tidak bersahabat.
"Uh, sepertinya ini akan menjadi perjalanan yang panjang," bisik Vani pada Tania yang berjalan di sebelahnya, dan mendapat anggukan sebagai balasan.
[]
Bhaks, bentar lagi end nich. Tapi, gatau juga ... tergantung alur dan penulisnya sendiri gimana, xixixixiCeu next part, vote-komeng jangan lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE OF LIFE (END)
General Fiction[END] Manusia tidak pernah percaya akan keberadaan mereka. Mereka yang minoritas, dianggap monster, cacat, pembawa sial, dan alasan di balik kepunahan manusia suatu hari nanti. Mereka adalah mutan dan makhluk abadi (Minor sci-fi warning) Story by Ic...