05

1.5K 100 7
                                    

Pppppp yok lah ramein part ini.

Yang nyasar kesini tapi belom baca JEAN, puter balik dulu yu biar tahu begimana awal dari cerita ini.

Yang lupa juga, mau puter balik apa masih lanjut lurus?

Yok yang lurus, selamat membaca.

***

Romeo menghela nafas jengah sembari menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya. Di depan kelas sedang berlangsung perkenalan siswi baru, tapi Romeo nampak malas untuk sekedar mengangkat kepalanya.

"Hai Rom." Nah, kan. Kenapa juga dia menyapanya. Romeo masih tetap pada posisinya.

"Kita bertemu lagi." Ada nada kelegaan disana, tapi Romeo hanya acuh.

Bel istirahat berbunyi, lelaki itu segera bangun dan melarikan diri kemana saja yang penting matanya tidak melihat dia.

"Romeo tunggu!"

"Rom!" Berhenti, langkahnya terhenti saat tangan kanannya di cekal dari belakang. Romeo menghempaskan tangan mulus itu dan menatap risih seorang siswi dengan bandana putih yang menempel di kepalanya.

"Apa, sih?!"

"Temenin gue kek. Gue, kan, anak baru." Romeo sedikit menjauhkan tubuhnya saat gadis itu mencoba menggapai tangannya.

"Bella, risih! Ke kantin sendiri sana! Nggak usah manja, deh! Lagian, gue nggak mau ke kantin." Setelah mengucapkan itu, Romeo berjalan cepat meninggalkan Bella. Siswi baru yang sialnya adalah teman di sekolah lamanya dulu. Teman? Bahkan Romeo sendiri risih jika memiliki teman seperti itu.

"Argh!" Bella menghentakkan kakinya kesal dan berjalan seorang diri menuju kantin. Sia-sia ia ikutan pindah ke sini kalau sikap Romeo masih saja sama seperti dulu.

***

Romeo tetap lah Romeo, seorang lelaki yang selalu saja tidur di mana pun tempatnya saat berada di sekolah. Baik sekolahnya dulu maupun sekolahnya yang baru ini.

Sayang, Gio tidak masuk ke sini sebab di SMAWA ini kalau ada yang tiba-tiba mau pindah, harus melakukan uji test terlebih dahulu. Romeo memang terlihat tidak pintar, tapi aslinya otaknya terlalu encer. Sedangkan Gio, Gio masuk di sekolah tetangga karena uji testnya gagal.

Taman yang begitu sejuk dan enak di pandang, Romeo tersenyum dan segera mengatur posisi di atas kursi taman.

Romeo berterima kasih pada dirinya sendiri yang memiliki otak encer. Selain bisa masuk sini karena nilai uji testnya tinggi, Romeo juga mendapatkan beasiswa. Huh, Romeo menghebuskan nafasnya senang.

"Tadi gue kaya liat dia, deh." Romeo mencoba mengingat-ingat wajah dan tubuh gadis yang dia lihat sebelum berjalan ke sini. Agaknya sedikit mirip dengan gadis pemarah itu.

Romeo terkekeh geli, kenapa juga dia memikirkan gadis pemarah itu. "Mulai nggak waras gue."

***

Romeo tersenyum mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Sudah seminggu dirinya menjadi murid SMAWA dan baru hari ini dia terlihat bahagia.

"Juan," decak Romeo seraya menggelengkan kepalanya geli.

Romeo mengerem mendadak membuatnya sedikit oleng. Matanya menatap aneh sebuah mobil yang berhenti di depan motornya. Firasatnya mengatakan ini buruk.

Belum sempat dia melajukan motornya, empat pria berbadan besar menghalangi jalannya.

"Minggir." Romeo tahu, aura dinginnya keluar.

"Lepas anjing!"

"Bangsat!"

Bugh

Sesaat empat pria itu tidak melawan dan hanya menghindar, tapi lama kelamaan, empat pria itu mulai menghajar Romeo. Jelas, Romeo kalah.

Sebelum matanya menutup, yang Romeo lihat adalah satu pria yang menumpangi motornya.

***

"Sudah bangun kamu?"

Matanya mengerjap menyesuaikan cahaya yang ada. Sekilas, telinganya mendengar suara itu. Suara yang paling dia benci.

Di depannya, pria yang biasa di sebut Papa itu duduk dengan rasa tak berdosanya. Sedangkan Romeo, yang disebut Anak dari pria itu duduk terikat di depannya.

Pria itu selesai mengupas buah apel. Buah kesukaan Romeo, dulu.

"Apakah kamu tidak rindu dengan 'ku?" Matanya masih menatap tajam sang Papa.

"Jangan berikan aku tatapan itu sialan."

Tuk

Sebuah apel utuh dilemparkannya hingga mengenai wajahnya. Romeo semakin membenci pria itu.

"Lepaskan." Papanya tertawa, tawa yang sangat-sangat ia benci.

Dulu, tawa itu menandakan jika dirinya terlihat tersiksa dengan hukuman Papanya. Tidak sekarang, Romeo tidak ingin mengulang kejadian di masa lalu.

"Ternyata kamu mengenalnya ya?" Romeo mengerutkan alisnya bingung. "Wow, kamu mempermudah Papa untuk menghancurkan dia."

"Nggak waras," ucap Romeo pelan.

Pria itu mendengar dan menatap tajam anaknya. Jauh-jauh dia datang ke sini, kenapa lelaki itu tidak menyambutnya dengan baik?

"Kau kira Papa bodoh?"

"Setahun lamanya kamu pergi dan menghancurkan sedikit rencana Papa, sialan." Kepalanya kembali mengenai sebuah apel utuh.

"Awas saja untuk ini, kau hancurkan juga."

"Argh." Pisau dapur itu membelai lengan kirinya. Papanya menyeret ujung pisau yang tajam itu hingga atas siku. Sakit, pisau itu menubruk kulitnya dengan kasar. Memori kelamnya berputar kembali.

"Cabut kaca itu Pa!" Romeo yang saat itu berusia 13 tahun mengerang ketika Papanya dengan sengaja menekan ujung kaca itu pada lengan kirinya.

Pria itu hanya tertawa tanpa dosa, hingga darah segar mengucur deras membasahi ujung sepatunya. "Sepatuku! Bersihkan!" Papanya mencabut pecahan kaca dari tangan Romeo dan menjambak rambutnya, menariknya menunduk melihat sepatunya yang kotor akibat darah Romeo sendiri.

"Sa-sakit ... P-Pa ..." Di usianya yang beranjak remaja, Romeo menahan isakannya agar tidak terlihat lemah. Kemudian menuruti perintahnya dan mengelap sepatu itu dengan kain seragamnya.

"Le-lepaskan ... sialan." Papanya hanya tertawa sambil memakan apel yang dipegangnya. Nafasnya memburu saat darah segar mengalir deras mengenai seragam putih juga celana abu-abunya.

***
TBC

Inget Bella ngga? Ngga. Iya sih Bella jarang muncul soalnya.

Kalo SMAWA? Pasti lah inget, kalo ngga wahhhhh minta diapain nih. Wkwk canda.

Yah di part ini Bapaknya Romeo muncul guys, ada yang tau ngga Bapaknya itu siapa? Di cerita yang pertama pada nebak tuh, bener-bener egak salah 💯

Yaudah, see u di part selanjutnya ya . . .

ROMEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang