07

1.3K 90 1
                                    

Eum hi! Lama ga jumpa wkwkwk, maap baru update. Akhir-akhir ini lagi asik sama dunia sendiri ga liat yang laen sksksk maap lagi yak.

Dah itu aja, happy reading guys!

***

Aneh, perasaannya menjadi aneh melihat pemandangan di depan sana. Rumah tua yang menurutnya mengerikan luar dan dalam itu banyak sekali penjaga berbadan besar berbaju hitam di sekelilingnya. Mungkin posisinya tidak akan ketahuan, sebab dia bersembunyi di balik pohon beringin besar tak jauh dari rumah itu.

Sudah dua kali dia mengikuti Papanya, tujuannya masih sama seperti kemarin. Tempat apa itu?

Romeo mengingat, kemarin sepulang sekolah, ia melihat mobil yang ditumpangi Papanya berjalan berlawanan dari pintu masuk komplek perumahannya. Seingatnya, jalan keluar yang dilewati mobil itu bukan jalan umum.

Setelah mengikuti secara diam-diam karena curiga, Romeo berhasil mengikuti sampai ke sini. Ada apa sebenarnya? Kenapa perasaannya berkata itu sesuatu yang buruk? Tapi, dia tidak ingin berurusan lagi dengan pria itu. Malas.

***

Nafsu makannya sudah tak selera saat merasakan ada sosok lain yang juga ikut duduk di meja makan. Romeo membanting pelan sendok dan garpu yang ada di tangannya, kemudian mendorong kursi dan bangkit dari duduknya.

"Sudah puas menjadi mata-mata cilik rupanya."

Sial, dia ketahuan.

Tuk

Sendok berbahan aluminium itu dilempar sampai mengenai jidat Romeo. Lelaki itu meringis saking sakitnya yang ia dapat.

"Nanti, datang lah ke tempat kemarin. Jangan sok berlagak tidak tahu. Anak bodoh." Selepas itu, Papanya pergi dari sana meninggalkan Romeo yang mengepalkan kedua tangannya menahan emosi.

Bangsat.

***

"Ayo Rom."

"Anjing, cepet Gi!"

"Kanan Rom, itu anjing musuhnya!"

"Gio bantu gue bangsat! Argh cepet!"

"Bentar-bentar."

Plak

"Asu lo Rom, sabar elah."

"Mati gue bangsat!"

"Hahaha."

Gelak tawa terdengar dari Gio. Sedangkan Romeo memasang muka masamnya.

"Kelamaan, sih, lo."

"Ye ... yang penting menang, Sob."

"Nyenyenye."

Sore ini, Romeo dan Gio memutuskan untuk bertemu setelah beberapa hari tak pernah berjumpa kabar. Mereka berdua memutuskan untuk nongkrong bersama di Kedai Cold.

Nyaman dan sejuk, mendefinisikan tempat ini. Apalagi ada Wi-fi gratis yang menjadikan semangat mereka berdua untuk nongkrong di sana semakin menggebu. Ya untuk bermain game pastinya.

"Permisi Kak, ini pesanannya Ice cream oreo dan Coffe milk. Selamat dinikmati," ucap pelayan kedai sambil menyerahkan dua pesanan mereka.

Gio tertawa. "Ice cream oreo? Wanjayyy Hahaha."

"Bacot," jawab Romeo cuek.

"Oh yah Rom, denger-denger anak sekolah lo ada yang ilang ya?" Romeo mengerutkan alisnya bingung.

"Sumpah lo nggak tahu?" Ia menggelengkan kepalanya. Romeo memang lelaki yang kudet. Terlalu malas mengurusi semua berita yang ada.

"Goblok! Padahal yang ilang tuh satu-satunya cucu perempuan keluarga kolongmerat woy! Tapi maklum, sih. Lo, kan, kudet."

"Ye ... babi lo. Siapa namanya? Kali aja gue kenal."

"Siapa ya ... hmmm." Gio berkata sambil mengingat-ingat nama gadis yang sedang heboh di berita.

"Jul ... Jul ... "

"Juleha? Itu, kan, Kang bengkel." Gio menoyor Romeo pelan. "Bukan goblok!"

"Terus?"

"Jul ... bukan, Ju ... bukan anjing. Saha, sih?! Oh ..." Romeo sedikit tersedak saat Gio berkata di akhir kalimatnya dengan nada tinggi, tak lupa Gio bertepuk tangan juga.

"Anjing lo!" umpat Romeo seraya menyambar minuman Gio.

"Gue tahu!" seru Gio. Romeo menaikkan alisnya menunggu kelanjutan.

"Jean!" serunya lagi.

Matanya melotot. Kemudian tanpa dia sadari, air yang mengalir di tenggorokannya seakan tersendat. Romeo terbatuk-batuk dibuatnya.

"Pelan-pelan."

"Lo nyebut nama yang bener," decak Romeo.

"Bener anjir, namanya Jean. Dia hilang."

"Kok bisa?" tanya Romeo penasaran. Apa jangan-jangan? Tidak, tidak, Romeo menggeleng menghalau pikirannya itu.

Gio pun akhirnya menceritakan bagaimana kisahnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Berarti, kejadian di mana dia meminta pertolongannya mengangkat kursi itu ...

***

Setelah bergulat selama satu jam lamanya, ia memutuskan datang di malam hari. Matanya menatap waspada semua gerak-gerik para penjaga di sini.

Mengerikan.

Apa yang dilakukan Papanya di sini?

Romeo terus berjalan hingga menuju lorong-lorong di mana ada banyak ruang. Hingga dia memutuskan untuk naik ke lantai 2.

Ia merasa aneh.

"Ng-nggak ... jan-jan ... ngan ..."

Deg

Suara itu ...

Romeo menggeleng. Tidak, bukan dia, bukan.

"Jan-ngan ... "

***

Bugh

Bugh

"GOBLOK LO ANJING."

Bugh

Terus dan terus seperti itu kedua tangannya memukul tembok yang sudah banyak bercak darahnya, tak peduli juga kedua punggung tangannya yang sudah basah akan darahnya sendiri.

"Argh," erangnya frustasi.

"Lo goblok! Goblok lo anjing!"

Bugh

Satu pukulan lagi dan akhirnya dia memilih meringkuk di pojok ruangan. Satu air matanya lolos mengingat apa yang sudah dia lakukan.

Marah. Marah pada dirinya sendiri. Memaki dan menyiksa dirinya sendiri itu pun tak bisa mengembalikan tatapan ketakutan itu menjadi tatapan manis baginya.

Apa yang sudah dia lakukan?

"Ma-maaf."

***
TBC

Kasih satu kata yang menggambarkan perasaan kalian saat baca chapter ini?

Mau double update? Say 'ayo!' or anything di komen!

Thx u

ROMEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang