12

5K 452 13
                                    

Arvin menatap Rama tajam. Seolah Rama adalah hama yang sangat sangat sangat mengganggu. Rama tengah duduk disofa ruang tamu. Menunggu Sinta yang sedang membuatkan minum.

"ngapain lo disini?" tanya Arvin sinis.

Rama menelan ludahnya susah payah, sial! Bagaimana bisa seorang Rama Bimasena terintimidasi hanya karena ditatap lawan bicaranya?

Ya kecuali kalau itu Sinta. Jiwa bucin Rama pasti lebih mendominasi.

"mau—" ucapan Rama terpotong.

"tidak menerima alasan klasik!" ujar Arvin.

Rama menghela nafas lalu menarik nafas dalam. Menatap Arvin serius. Entah keberanian dari mana. Hanya saja harga dirinya sebagai laki-laki merasa terinjak. Mentang-mentang Arvin itu sepupunya Sinta. Mentang-mentang dirinya pernah salah bukan berarti Arvin bisa berlaku seenaknya.

"gue dateng kesini, mau merjuangin apa yang harusnya gue perjuangin. Gue mau memperbaiki apa yang harusnya gue perbaiki," ujar Rama serius.

Sedangkan Arvin masih menatap dingin dengan muka datarnya.

"diminum dulu," ujar Sinta ngeri. Hendak duduk tapi bingung antara duduk disamping Rama atau disamping Arvin.

"mau duduk dimana Ta?" peringat Arvin membuat langkah Sinta berbalik menuju Arvin.

Rama mendengus tak suka. Sekali curut tetaplah curut.

Dasar pemaksa! —batin Rama.

"Ar," lirih Sinta. Selain kemarahan sang mama Sinta juga takut dengan kemarahan Arvin.

Arvin menatap teduh untuk menenangkan Sinta. Seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.

"lo bilang mau merjuangin sesuatu juga memperbaiki sesuatu. Bisa apa lo buat ngelakuin semua itu?" tanya Arvin.

Rama terdiam, "gue bakal ngelakuin apapun," ujar Rama.

Arvin tersenyum smirk. Otak jeniusnya sudah merancang apa saja yang harus Rama lakukan. Agar laki-laki itu bisa menjaga mulut juga kelakuannya.

***

Rama sudah basah dengan keringat dingin. Nafasnya juga sesak. Sinta menatap Arvin yang tengah bersidekap menatap Rama yang tampak gelisah.

"berani nggak?" teriak Arvin melihat Rama tak kunjung bergerak.

Demi Sinta, bertahan demi Sinta! Semangat! —batin Rama.

"BERANI!" jawab Rama tanpa ragu.

"udah Ar, Rama tuh punya trauma sama ular," bujuk Sinta pada Arvin.

"bagus dong," jawab Arvin santuy membuat Sinta marah.

"bagus dari mananya sih Ar, jangan becanda deh!"

"gue jadi bisa liat kesungguhan dia," jawab Arvin.

"ya tapi nggak gini caranya," kesal Sinta.

"udah diem Ta, kita lihat aja," ujar Arvin.

Sinta ingin teriak menyemangati Rama tapi malah takut konsentrasi Rama terganggu.

Rama mengambil nafas banyak-banyak. Tangannya kram. Lututnya lemas. Tapi tidak apa-apa. Dia harus berani.

Rama menelan ludahnya berkali-kali. Ular dengan panjang sekitar 150 cm itu nampak jinak. Peliharaan papanya Sinta memang tidak main-main. Ada juga yang lebih panjang juga gemuk. Bermotif unik. Harganya? Jangan ditanya. Sudah pasti bisa untuk membeli mobil atau motor keluaran terbaru.

Rama mulai mendekat, tangannya yang tadinya kram kini bergetar. Dadanya semakin merasa terhimpit.

Sedikit lagi! Sedikit lagi! Demi Sinta! —ujar Rama menyemangati dirinya sendiri.

Klekk

Pintu keranji ular tersebut tertutup. Rama berhasil meletakkan makanan si Geby—nama salah satu ular milik papanya Sinta.

"SINTA! AKU BERHASIL!" teriak Rama semangat. Tapi tak lama kesadarannya terenggut.

Brukkk

Rama pingsan saking takutnya.

"RAMA!" teriak Sinta panik.

***

"apa liat-liat?!" sinis Sinta.

"maaf Ta, lagian biar dia nggak main-main sama kamu," ujar Arvin.

"ya tapi nggak gini caranya, Rama tuh punya trauma masa kecil sama yang namanya ular. Bahkan dulu pernah ketemu ular dihutan waktu kemah akhirnya Rama opnam dirumah sakit. Ini tentang nyawa orang juga Ar, nggak gini caranya!" kesal Sinta. Nafasnya memburu. Sinta khawatir mengingat keadaan Rama dulu. Seharusnya Sinta tadi mencegah semuanya.

"maaf Ta, tapi dia gpp kok," ujar Arvin.

"ya untung aja gapapa, kalau kenapa-kenapa gimana hiks aku nggak mau kehilangan lagi Ar," sudah cukup Sinta kehilangan Damar, jangan Rama juga.

Arvin memeluk Sinta, membisikkan kata maaf berulang kali. Kenapa juga Arvin sampai setega itu. Lagian salah Rama yang sudah memancing emosinya.

"Sin," panggil Rama lirih. Sinta langsung merangsek kepelukan Rama. Meninggalkan Arvin yang berdecak kesal.

"maafin Arvin ya Ram," ujar Sinta disela tangisnya, "kamu gapapa kan? Mana yang sakit?" tanya Sinta.

"aku gapapa, aku yang salah," ujar Rama tersenyum. Jujur saja tubuh Rama lemas bukan main.

"kita ke rumah sakit aja gimana?" usul Sinta.

"nggak usah Sin, aku gapapa kok," tolak Rama.

"kamu pucet banget Ram," ujar Sinta cemas.

Rama mengelus kepala Sinta lembut. Rasanya sangat menenangkan. Rama tidak menyesal melakukan hal yang membahayakan nyawanya kalau gantinya mendapatkan perhatian Sinta kembali.

"aku takut banget hiks," Sinta kembali menangis memeluk Rama. Rama sendiri bingung, sejak kemarin Sinta gampang menangis.

"cup cup aku gapapa Sin, udah nangisnya, baju aku basah kena ingus kamu," ujar Rama.

Sinta langsung melepas pelukannya. Menatap tajam Rama. Sedangkan yang ditatap bingung. Apa Rama salah bicara lagi?

"nyebelin banget sih lo! Serah deh mau sakit kek, pingsan kek, laper kek, terserah!" marah Sinta lalu menghentakan kakinya pergi menuju kamar.

Blammm

Suara pintu kamar Sinta ditutup dengan keras.

Arvin berdecak sinis melihat raut kebingungan Rama.

"emang nyari mati sih lo," sinis Arvin.

"lah gue cuma becanda tadi," ujar Rama membela diri.

"nggak ada becanda dalam kamus cewek pms. Apalagi moodnya lagi nggak bagus gitu," ujar Arvin seketika membuat Rama menghela nafas berat.

Ah sejak kemarin, pms ternyata.

🌻🌻🌻

Guys maklumin Sinta yang labil
Sedetik pake aku-kamu detik berikutnya dah beda lagi:(

Cewek pms tuh nggak serem kok
Cuma rada horor dikiiiittt doang
Paling juga pake mode senggol bacok wkwkwk

Eitss jangan lupa Vomment kalian!
Aku maksa bodoamat
:)

Luvv❤

🌻🌻🌻

Mantan Gak Ada AkhlakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang