Bab 3

1.3K 152 3
                                    

Sheila meluruskan sendi-sendi tubuhnya. Ia melihat jam di dinding ruangan kerjanya. Sudah lewat jam makan siang. Tiba-tiba saja perutnya berbunyi. Ia baru ingat kalau sedari pagi perutnya belum terisi apapun. Maka ia mengambil gawainya dan mulai memesan makan siangnya yang terlambat. Belum selesai ia memesan, sebuah panggilan masuk ke dalam gawainya.

Ia menghela nafas saat melihat nama pemanggilnya. Sampai dering berakhir, Sheila hanya menatap gawainya. Tapi kemudian panggilan kembali masuk. Mau tidak mau Sheila menjawab panggilan itu. Begitu tersambung, suara omelan yang ia dengar.

"Halo Shei, kenapa kamu nggak datang siang ini? Dia hubungin mama, katanya kamu nggak datang. Kamu jangan bikin malu mama Shei."

Sheila hanya diam menyimak omelan mamanya. Dalam hati ia bergumam ternyata pria yang diatur menjadi partner kencan butanya tidak lebih dari seorang pengadu.

"Nanti mama kirimin nomornya, kamu telfon dan bilang minta maaf sama dia. Sekalian kamu atur ulang janji temu kalian. Mama nggak mau tahu ya Shei, kamu harus mau sama dia. Semua nasib perusahaan kita ada di tangan dia."

Sheila lagi-lagi menghela nafas. Tapi kali ini bukan karena lelah mendengar rancauan mamanya yang tidak berhenti. Tapi karena hatinya sakit. Ternyata mamanya mengatur perjodohan untuknya bukan sebagai bentuk perhatian, tapi lagi-lagi demi bisnis. Ia marah karena ia hanya dianggap sebagai investasi oleh mamanya. Lagipula siapa sih orangnya sampai bisa menggulingkan Hartono Grup. Hartono Grup bukan perusahaan kecil yang mudah digulingkan. Tapi kenapa mamanya begitu khawatir. Ah, sudahlah, bukan urusannya. Ia tidak mau ikut andil dalam rencana mamanya.

"Halo Shei, kamu masih disana? Kamu dengerin Mama kan?"

"Kenapa nggak mama aja yang datang menemui dia?" Tanya Sheila begitu dingin.

"Apa maksud kamu? Kamu jangan gila! Dia serius suka sama kamu Shei. Lagipula dia nggak tahu kalau kamu udah punya anak. Harusnya kamu bersyukur masih ada pria yang mau sama kamu. Jangan sok jual mahal kamu."

Suara Mamanya di seberang sana bagai palu yang menghantam dadanya. Apakah seperti itu sikap ibu kepada anaknya? Ia mengepalkan tangannya hingga kuku bercat merah menyala itu menusuk kulit tangannya.

"Lalu apa dia akan menolakku jika tahu kalau aku sudah punya anak, itu pun di luar nikah?" Tanya Sheila dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu bisa titipin anak kamu sama mbok Kinan kalau kamu jadi sama dia. Pelan-pelan,  kamu akan kasih tahu sama dia soal Elang."

"Aku nggak mau," jawab Sheila lirih.

"Kamu nggak boleh nolak! Lagipula kamu nggak pernah mau kasih tahu atau menunjukkan siapa ayah kandung Elang. Jadi buat apa kamu pertahankan status kamu sekarang?!"

Suara bentakan Mamanya membuat kepalan tangannya makin kuat.

"Itu pilihan aku Ma. Aku minta mama bersikaplah seperti selama ini. Tidak peduli sama aku dan seterusnya begitu. Biar aku sendiri yang urus hidup aku. Aku nggak mau mama ikut campur." Setelah mengatakan itu Sheila mematikan ponselnya, tidak peduli teriakan mamanya memanggilnya.

Sheila menadahkan wajahnya ke atas agar air matanya tidak mengalir. Lalu ia memejamkan matanya erat. Rasanya sesakit itu. Ia tidak butuh laki-laki. Ia hanya butuh orang tuanya yang ada untuknya, yang mau mengerti keadaannya. Makanya sebisa mungkin, ia berusaha agar Elang mendapatkan kasih sayangnya meski itu tanpa ayah.

Sheila beranjak berdiri, keluar dari ruangannya dan menghampiri Rara.

"Setelah ini jadwal saya kosong kan?"

"Iya bu."

"Saya akan jemput anak saya lalu langsung pulang. Kalau ada yang mencari saya, langsung hubungkan ke telepon rumah saya."

Brian dan Sheila ( Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang