Bab 12

1.2K 149 12
                                    

"Jadi, mari kita selesaikan urusan kita secepatnya, honey." Ucapan Brian dengan senyum  liciknya mampu membuat ketakutan Sheila membuncah. Ia memegang erat simpul handuk yang melilit di tubuhnya. Ia semakin waspada ketika Brian terus merapat ke arahnya.

"Menjauh dariku brengsek!" Geram Sheila.

Brian tersenyum miring dan mencengkeram rahang Sheila.

"Ternyata mulut manismu semakin lancar saja mengucapkan makian. Aku semakin tertantang ingin merasakannya. Apakah rasanya akan seperti dulu?" Kekeh Brian tapi dengan sorot mata membara.

Sheila menampik tangan Brian dari rahangnya. Ia melihat ke dalam mata Brian dengan ekspresi marah.

"Aku nggak akan membiarkannya terjadi."

"Oh ya? Aku yakin kamu nggak akan bisa menolaknya."

"Cih." Sheila meludah ke samping tubuhnya, memberi peringatan ke lelaki itu kalau ia sudah muak dan jijik.

Brian tertawa keras. Perempuan keras kepala di depannya ini terlalu menggairahkan untuk dilewatkan. Sheila begitu menggemaskan, membuat dirinya semakin mendamba.

"Sheila sayang, penolakanmu nyatanya semakin mengobarkan gairah dan semangatku untuk mendapatkanmu," Bisik Brian tepat di dekat telinga Sheila. Tubuh Sheila meremang merasakan hembusan nafas hangat dari mulut Brian. Tubuh Sheila menegang kaku saat tangan Brian bergerak perlahan dengan gerakan sensual di pipinya, rahangnya dan semakin turun, membelai area leher dan tulang selangkanya.

Sheila memejamkan matanya dan merapatkan bibirnya serapat mungkin. Sedikit saja ia bersuara, ia yakin hanya suara desahan yang keluar dari bibirnya. Terlebih saat ia merasakan bibir Brian bermain di lehernya.

Tangan Brian yang lain memegang tangannya yang tengah mencengkeram erat simpul handuk. Brian berusaha menjauhkan tangan Sheila yang terus mencengkeram, namun Sheila tetap bertahan. Jantung Sheila serasa mau meledak dengan nafas yang memburu.

"Arghh!" Teriakan Sheila yang lebih pantas disebut desahan keluar begitu saja saat bibir Brian menggigit kulitnya, bersamaan dengan handuknya yang terlepas.

Brian menjauhkan tubuhnya sedikit, lalu mata mereka bertemu dengan intens. Brian menyusuri wajah indah milik Sheila lalu turun mengamati tubuh Sheila yang polos. Melihat mata Brian yang semakin hitam pekat, membuat Sheila seolah tertampar oleh kesadarannya.

Brian tidak bisa berkedip menyaksikan pemandangan yang luar biasa indah di depannya. Sesuatu dalam dirinya menegang, memberontak dan ingin pelepasan. Ia ingin sekali memilik perempuan ini. Lalu ia merasakan  tubuhnya didorong ke belakang hingga mundur beberapa langkah.

Sheila tergesa mengambil handuknya setelah mendorong Brian. Berlari cepat keluar dari kamar mandi dan bergegas menuju walk in closet miliknya serta asal mengambil setelan baju kerja. Ia tidak ada waktu untuk memilih. Yang ada dalam kepalanya sekarang ia harus segera berpakaian.

Setelah berpakaian, ia memasukkan beberapa kosmetik  ke dalam tas kerjanya yang lagi-lagi ia ambil secara asal. Mengambil sepatu kerja, ia berlari keluar dari kamar. Sebelum benar-benar keluar, ia melirik ke arah kamar mandi yang pintunya masih terbuka. Ia tidak peduli jika lelaki itu masih disana.

Sheila berjalan cepat menyusuri ruang tamu dan bernafas lega setelah keluar dari rumah.

Ia memakai sepatu dan merapikan rambutnya yang lupa ia sisir. Urusan memakai make up bisa ia lakukan di dalam mobil nanti.

Sheila meletakkan tas kerja di jok belakang mobil. Saat  tengah menghidupkan mesin, ia terkejut saat tiba-tiba Brian masuk dan langsung duduk di kursi penumpang.

"Mau apa lagi kamu?!" Bentak Sheila kesal.

"Anterin ke kantor, aku nggak bawa mobil," jawab Brian dingin.

"Pesan ojol, atau taksi kan bisa. Aku sibuk dan sudah terlambat," ketus Sheila.

"Ngga bawa uang!"

Sheila pusing. Mana mungkin seorang Brian keluar tanpa membawa uang. Konglomerat apaan?

"Aku nggak peduli. Keluar!"

"Kamu ingin semakin terlambat?"

"Nggak!"

"Ya udah cepat jalan!"

"Ish." Menyebalkan. Sheila benar-benar kesal dengan sikap Brian yang seenaknya sendiri.

Suasana  hening di dalam mobil  mendominasi. Sheila fokus menyetir tanpa mau peduli dengan keberadaan Brian di sampingnya. Ia mensugesti dirinya kalau kursi penumpangnya kosong atau setidaknya anggap saja sebagai kardus bekas.

Laju kendaraan yang lambat diakibatkan jalanan yang padat, membuat kesabaran Sheila nyaris habis. Ia mengklakson dengan kencang saat kendaraan di depannya berjalan bak siput. Perasaannya belum bisa tenang selama ada makhluk tak beradab di dekatnya. Berbagi udara di ruangan yang sama dengan Brian sungguh membuatnya stres.

"Ternyata kamu masih lihai dalam hal melarikan diri." Suara disebelahnya tidak membuat Sheila menoleh. Matanya menatap lurus ke depan.

"Aku nggak tahu kalau kamu setakut itu padaku."

"Padahal aku ingin sekali reunian bareng kamu.... ehm.. di kasur." Lagi-lagi suara yang membuatnya muak terdengar. Sheila menggerutu dalam hati karena terjebak di situasi dan kondisinya saat ini. Lagipula kenapa Brian bisa secerewet ini? Rasanya ia ingin menyumpal mulut kotor Brian.

Brian tersenyum miring. Perempuan di sebelahnya memang luar biasa keras kepala. Ia benar-benar tidak dianggap keberadaannya.

"Aku suka Elang. Kira-kira kapan kamu bakal kasih tahu kalau aku adalah papanya?"

Sheila berdecih dan menoleh singkat pada Brian," kamu masih berharap diakuin sebagai papa setelah semuanya ini terjadi?"

"Tentu. Karena bagaimanapun dia adalah darah dagingku."

"Darah daging? Helloww... apa kabar kamu yang dulu nyuruh aku aborsi? Udah lupa?" Kesal Sheila.

Brian kalah telak. Dirinya hanya bisa membisu, tidak tahu harus memberikan perlawanan seperti apa. Faktanya ia memang sepengecut dan sebrengsek itu.

Setelah hening beberapa saat, suara Brian kembali terdengar.

"Turunkan aku di depan sana!"

Sheila menghentikan mobilnya di pinggir jalan tepat sesuai yang ditunjukkan oleh Brian tadi. Ia sama sekali tidak menoleh dan menunggu Brian turun dari mobilnya.

Cup. Sebuah kecupan terasa di pipinya. Sheila menoleh cepat dan melotot ke arah Brian.

"Thanks buat tumpangannya. Dan aku harap kamu berpikiran terbuka soal aku dan Elang." Sheila tidak menjawab dan memilih memalingkan wajahnya.

Setelah mendengar pintu tertutup, Sheila menoleh dan melihat Brian berjalan ke arah seorang lelaki yang tengah duduk di atas motor gede.

"Dasar bunglon!" Gerutu Sheila.  Ia kembali menjalankan mobilnya. Dalam perjalanannya ke kantor, otaknya berpikir keras mengenai pertanyaan Brian tadi. Haruskah ia memberitahu Elang tentang siapa Brian sebenarnya? Tapi ia masih takut dengan yang terjadi setelahnya.

🌼🌼🌼
Tbc
Dah lah aku ga tahu part ini membingungkan atau ga, yang penting up, hehehe, lagi ga mood soalnya.

Maaf banyak typo, dan makasih buat votemennya.

Brian dan Sheila ( Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang