Bab 5

1.3K 159 6
                                    

"Nanti kalau mama nggak bisa jemput, kamu hubungin Mang Sholeh ya? Soalnya hari ini mama ada rapat sampai sore." Mang Sholeh adalah ojek langganan Sheila.
Sheila mengelus putra semata wayangnya dengan sayang. Elang mengangguk lalu turun dari mobil setelah berpamitan dengan Sheila.

Dari dalam mobil Sheila melihat sosok Elang yang berjalan masuk melewati gerbang sekolah. Hatinya masih terasa tercubit, membayangkan anaknya menerima bullian karena tidak punya ayah. Makin terasa perih saat pagi ini Elang sama sekali tidak mengungkit mengenai papanya lagi. Kadang Sheila merasa sikap Elang lebih dewasa daripada umurnya.

Setelah memastikan Elang masuk ke sekolah, Sheila bergegas menuju kantornya. Agenda hari ini cukup padat dan mungkin akan menyita waktu serta tenaganya.

Begitu sampai di lobi hotel, sekretarisnya sudah menunggu dengan segudang agenda rapat. Setelah mengambil beberapa berkas, Sheila dan sekretarisnya langsung meluncur ke bagian aula hotel bersama klien yang akan menyewa aula tersebut untuk sebuah acara pesta.

Sudah lewat jam makan siang dan pertemuan dengan klien baru selesai. Perut Sheila sudah melilit karena kelaparan. Jika diingat, sedari pagi perut Sheila hanya diisi secangkir kopi dan beberapa potong apel.
Ia  akan menghubungi sekretarisnya saat sebuah nomor asing masuk ke dalam notifikasi pesannya.

Kamu melupakan janji bertemu kita. Apa kamu pikir aku akan menyerah?

Sheila mengernyit  bingung,  sebuah pesan dari nomor yang sama yang memintanya bertemu di sebuah restoran. Dengan pikiran bingung, Sheila membalas pesan tersebut.

Kamu siapa? Saya tidak kenal sama kamu. Dan saya tidak pernah menyetujui janji temu dengan kamu.

Kamu kenal saya. Dan sekarang aku sedang menunggumu di lobi hotel.

Maaf, tapi saya tidak punya waktu untuk meladeni kamu.

Setelah itu tidak ada balasan lagi. Sheila mengedikkan bahu dan bergumam tidak jelas. Ia lantas meminta sekretarisnya untuk menyiapkan makan siangnya yang terlambat.

Tok tok

Tanpa mengalihkan perhatiannya dari menscroll layar laptop, Sheila mempersilahkan masuk. Sheila berpikir, kenapa sekretarisnya cepat sekali memesankan makan siangnya. 

"Re, kok kamu bisa cepet ba..." kalimat Sheila terhenti dengan mulut ternganga melihat siapa gerangan yang tadi mengetuk pintu ruang kerjanya.

"Segitu sibuknya ya sampai ga sempat menyambut kedatanganku," ucap seorang pria dengan setelan kemeja warna maroon. Potongan rambutnya sedikit ikal. Wajahnya seperti blasteran arab atau turki, ditambah dengan beberapa cambang kasar di sekitar dagu dan pipi yang mungkin sengaja di pelihara oleh sang pemilik. Mata lelaki itu sedikit cekung dengan garis hidung yang cukup tinggi. Sheila mengingat-ingat siapa gerangan pria tampan di depannya ini.

"Astaga! Haris!! Kamu beneran Haris?"

"Yes, it's me. Please hug me, i really miss you."
Pria bernama Haris itu merentangkan tangannya dan secepat mungkin Sheila berlari ke pelukan Haris.

"I miss you too. Kok nggak kasih kabar kalau kamu balik dari New York?" Todong Sheila begitu pelukan mereka terurai.

"Sengaja, buat ngasih kejutan kamu."

"Kangen banget nih sama Elang. Dia udah segede apa ya sekarang? Dulu pas aku tinggal ke New York, dia masih berwujud bayi merah."

"Nanti kamu bakal tahu sendiri kalau udah ketemu."

Interupsi dari sekretaris Sheila membuat keduanya melihat ke arah pintu. Setelah menerima seporsi makan siangnya yang terlambat, Sheila mempersilahkan Haris duduk.

"Sorry, aku makan dulu ya? Habis ketemu klien, jadi belum sempat makan. Kamu udah makan?"

"Udah tadi sempat mampir di resto hotel. Makanan di hotel kamu lumayan juga ya?"

"Bukan hotelku tapi punya papa kali. Lumayan enak kan tapi makanannya?"

"Yah, lumayan menguras kantong maksudku. Tapi sesuai lah dengan rasanya."

"Harus dong," Sheila mengacungkan jempolnya setelah menyuap satu suap makanannya.

Setelah hening beberapa menit, suara Haris kembali terdengar.

"Kamu makin cantik aja. Sayang banget dulu nolak lamaran aku."

"Jangan mulai deh. Kalau dulu kuterima lamaranmu, yang ada sekarang  kita nggak akan duduk santai seperti ini."

"Masa?"

"Udahlah nggak usah bahas lagi." Sheila kembali menikmati makanannya, tidak tahu bahwa Haris memperhatikannya dengan tatapan yang sama seperti dulu.

🌼🌼

Haris menunggu Sheila hingga selesai bekerja di sore hari. Begitu keluar dari lobi hotel, sebuah mobil mewah keluaran baru bertengger gagah di depan lobi hotelnya.

"Itu mobil kamu Ris?" Tanya Sheila sambil menunjuk mobil hitam metalik di depannya.

"Bukan. Itu bukan mobilku. Buat apa aku beli mobil semahal itu, mending uangnya buat lamar kamu lagi."

"Menghayal," seloroh Sheila sambil menoyor pelan bahu Haris.

"Menghayal perlu, siapa tahu jadi kenyataan," jawab Haris sembari cengengesan.

"Serah deh. Ini mungkin mobil tamu hotel kali ya?" Tanya Sheila sambil melirik ke arah mobil mewah tersebut.

Tidak berselang lama, sang pemilik mobil keluar dari dalam mobil. Sosoknya yang jangkung, berbadan tegap dan kekar di balik kemeja slimfit yang ia pakai. Tapi bukan itu yang membuat nafas Sheila nyaris sesak. Bukan pula wajahnya yang terpahat begitu sempurna seperti patung Yunani. Melainkan sosok yang kini berjalan ke arahnya yang membuat jantungnya berdetak sangat kencang hingga nyeri rasanya. Sosok jangkung itu tersenyum miring ke arahnya tapi ia hanya terpaku seperti mayat hidup.

🌼🌼🌼
Maaf ya baru up sekarang. Dan maaf cuma up sedikit, semoga terhibur.
Jangan lupa votemennya,

Thank you

Brian dan Sheila ( Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang