Bab 9

1.2K 161 9
                                    

"Mama! Mama sudah pulang?!" Teriakan nyaring dari suara kecil Elang membuat Sheila mendorong tubuh Brian sekuat tenaga. Jantungnya berpacu dengan sangat cepat. Dan kali ini rasanya berbeda. Kalau tadi jantungnya berpacu kencang karena ciuman Brian, kini jantungnya berpacu kencang akibat suara Elang.

Sialan! Sheila mengumpat dalam hati. Kenapa bisa-bisanya ia terlena oleh permainan panas yang ditawarkan oleh Brian, hingga ia lupa untuk mengusir pria itu dari rumahnya. Dan sekarang suara Elang pasti sudah jelas terdengar oleh indra pendengar Brian. Keringat dingin mulai membasahi pakaiannya. Ia menatap Brian yang tengah menoleh ke arah pintu rumah. Ia memejamkan matanya erat saat melihat Elang berjalan ke arahnya dengan raut bingung, menangkap keberadaan orang asing sedang bersama ibunya.

"Mama lagi ada tamu?" Tanya Elang sembari mencium tangan Sheila. Detak jantung Sheila berpacu cepat, melirik ke arah Brian dan Elang bergantian.

"Iya,"cicit Sheila diantara suaranya yang terdengar bergetar ketakutan.

"Hai om, kenalin namaku Elang. Om siapa?" Tanya Elang ramah sembari mengulurkan tangan ke arah Brian.

Sheila melirik Brian yang berdiri diam sembari terus menatap Elang. Lalu ia melihat Brian menyambut uluran tangan Elang.

"Saya Brian," jawab Brian dengan kaku.

"Salam kenal om Brian. Om teman kerjanya Mama ya?" Tanya Elang lagi dengan wajah polosnya.

Sekali lagi Sheila melirik Brian. Ia ketakutan dengan jawaban yang akan diberikan oleh Brian pada Elang. Sungguh, ia tidak ingin Elang tahu kebenaran mengenai siapa Brian, terlebih dari mulut Brian. Jika memang Elang harus tahu mengenai ayahnya, ia sendiri yang akan memberitahunya dengan perlahan.

Ketika Sheila melihat Brian akan menjawab pertanyaan Elang, buru-buru Sheila menyergahnya.

"Elang habis dari mana?" Tanya Sheila berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia berlutut, menyamakan tubuhnya dengan tinggi Elang dan memegang kedua bahu anak semata wayangnya tersebut.

"Oh, tadi Elang lagi belajar kelompok di rumah Firman, yang rumahnya ujung komplek itu ma."

"Sudah makan?" Tanya Sheila lagi.

"Udah ma, tadi di rumah Firman di paksa makan sama ibunya, padahal Elang udah tegas menolak. Elang nggak enak aja, makanya ikut makan."

"Ya udah nggak apa. Sekarang Elang gosok gigi dan tidur ya?" Elang mengangguk dan berjalan menuju kamar tidurnya diikuti oleh Bibi Kinan di belakangnya.

Setelah Elang berlalu, Sheila kembali berdiri dan melihat Brian yang masih menatap kepergian Elang. Brian menatap Sheila sejenak sebelum kembali melihat ke arah Elang menghilang menuju kamarnya.

"Itu tadi anakku kan?" Tanya Brian datar dengan mata tetap ke arah kamar Elang.

Seakan di siram oleh api yang membara, Sheila naik pitam oleh pertanyaan Brian.

"Anak kamu? Atas dasar apa Elang itu anak kamu?" Tekan Sheila dengan suara tajam.

Brian menoleh, menatap Sheila tajam, dan Sheila tak gentar. Ia harus mempertahankan apa yang seharusnya ia pertahankan.

"Oh, kamu lupa siapa yang berkontribusi membuat Elang bisa ada di rahim kamu?"

Sheila berdecih. Berkontribusi?

"Elang bukan anak kamu. Dia anak aku!" Tegas Sheila.

"Juga anakku." Brian tidak mau kalah.

"Jangan harap Elang akan jadi anak kamu. Kamu hanya orang asing di kehidupan kami. Kamu nggak berhak mengakui Elang sebagai anak kamu. Apa kamu lupa apa yang kamu katakan dulu saat aku hamil?" Tanya Sheila.

Brian menatap Sheila tajam, memegang pergelangan Sheila dengan kuat. Dan dalam sekali sentakan, tubuh Sheila menumbur dada bidang Brian.

"Dengarkan baik-baik! Bagaimanapun Elang akan mengakuiku sebagai Papanya, camkan itu!"

"Brengsek! Aku nggak akan pernah menyerahkan Elang sama kamu." Sheila memberontak, sekuat tenaga melepaskan diri dari Brian.

"Kita  lihat saja nanti! Aku nggak akan melepaskan kalian berdua. Kalian berdua akan menjadi milikku! Bisik Brian di dekat telinga Sheila. Tubuh Sheila meremang, merasakan hawa panas di telinganya. Tubuhnya menggeliat geli saat Brian menjilat rongga telinganya. Sebisa mungkin Sheila agar tidak goyah.

"Aku pergi dulu, besok aku akan kembali," bisik Brian sembari melepaskan Sheila dari dekapannya. Kedua mata mereka saling bersitatap sebelum Brian melangkah pergi dari Sheila.

Sheila mengambil nafas dalam. Prahara kehidupannya akan segera di mulai. Dan ia bertekad untuk tetap menang, mempertahankan Elang kesayangannya.

🌼🌼

Brian memasuki penthouse yang berdiri megah dan mewah. Sudah beberapa tahun ia tinggal di penthouse tiga lantai miliknya. Ia sengaja ingin tinggal terpisah dengan orang tuanya karena tidak tahan terhadap semua aturan dan kekangan yang mereka berikan. Meski penthouse yang ia tempati terlalu besar untuk ia tinggal sendiri dengan hanya beberapa pekerja kepercayaannya, setidaknya di tempat ini ia merasa bebas tanpa di atur kehidupannya.

Beberapa pelayan menyambutnya dengan patuh, membantu melepaskan jas yang ia pakai. Dengan ekspresi datar Brian berjalan menuju lift yang berada di lantai satu.

"Tuan, ingin makan malam?" Tanya salah satu koki di rumahnya.

"Siapkan seperti biasanya. Saya mau mandi dulu," jawab Brian tanpa menoleh sedikitpun. Ia bergegas ke lantai dua menuju kamarnya.

Dibawah guyuran air shower, Brian menyugar rambutnya. Ia terdiam di bawah guyuran air, membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya.

Elang. Satu nama yang terus terngiang di kepalanya. Bocah kecil dengan wajah yang begitu mirip dengannya, tapi mempunyai mata yang sama dengan Sheila. Bocah kecil yang terkesan ceria dan dingin secara bersamaan. Bocah kecil yang entah kenapa membuat sesuatu dalam dirinya bergetar. Bocah kecil yang entah kenapa membuat perasaan ingin melindungi dan menyayangi dalam dirinya muncul begitu kuat. Padahala selama ini ia tidak terlalu suka dengan anak kecil atau peduli dengan orang lain. Tapi melihat Elang, semua terasa berbeda.

Sekali lagi ia menyugar rambut basahnya, membiarkan air mengalir melewati dadanya yang telanjang. Ia mengepalkan tangannya erat. Ada perasaan marah karena Sheila berani menyembunyikan fakta keberadaan darah dagingnya. Tapi ia sadar, semua ini juga salahnya. Kalau saja dulu ia berani mengambil resiko dan tidak bertingkah seperti pecundang, mungkin saat ini ia tengah bahagia dengan keluarga kecilnya.

"SIAL!!" Brian berterima marah, meninju dinding kamar mandi dengan kuat. Ia teringat saat dulu ia masih lemah dan tak berdaya oleh semua aturan yang dibuat oleh Ayahnya. Tapi kali ini ia bukan Brian yang lemah dan hanya pasrah pada keadaan. Ia bertekad akan membuat Elang dan juga Sheila berada di sisinya, meski dengan cara apapun. Mereka akan menjadi miliknya.

🌼🌼🌼
Tbc
Maaf updatenya lama-lama, soalnya lagi sibuk banget. Makasih yang masih nungguin, sayang kalian banyak2 ❤❤

Brian dan Sheila ( Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang