Bab 17

1K 152 6
                                    

"Mau apa kamu?"

"Meminta hakku sebagai suamimu." Brian merangkak naik ke tempat tidur menghampri Sheila. Sheila meringkuk mundur, menghindari Brian. Namun dengan cepat Brian menangkap tangannya dan memenjarakan tubuhnya. Tubuh Sheila terhimpit antara tubuh Brian dan kepala ranjang.

"Pergi selagi aku masih bisa bicara baik-baik," gertak Sheila. Brian tersenyum miring, menikmati raut wajah Sheila yang terlihat marah bercampur gugup.

"Brian Sagara, menyingkirlah dariku sekarang!"

Brian mencoba meraih pipi Sheila, namun Sheila dengan sigap memalingkan wajahnya. Brian tersenyum. Sikap Sheila semakin membuat keinginan Brian bertambah kuat.

Sheila mencoba menahan degub jantungnya. Ia melihat dinding kamar tanpa berniat ingin  menatap wajah Brian yang begitu dekat dengannya.

Hati Sheila mencelos saat kecupan basah bersarang di pipinya, dan perlahan beralih ke arah daun telinganya. Ia mengepalkan tangan kuat saat ia rasakan gigitan kecil di daun telinganya. Ia memejamkan mata, ingin membuktikan ke Brian kalau perbuatan Brian tidak memiliki efek apapun.

"Aku ingin tahu sejauh mana kamu bisa bertahan," bisik Brian tepat di telinganya. Sheila nyaris bergidik saat nafas Brian berhembus mengenai tepat di kulitnya yang terbuka.

Sheila merapalkan berbagai mantra agar dirinya tidak goyah oleh permainan yang ditawarkan oleh Brian. Akan sangat fatal jika sampai ia terseret arus godaan manusia es ini. Ia mengigit bibirnya kuat saat bibir Brian turun, menciumi lehernya dengan kecupan basah dan hangat.

Tangan Sheila lalu mendorong tubuh Brian agar menjauh, tapi sekali lagi, Brian menahan kedua tangan Sheila  dengan tangan besarnya.  Sheila memberontak, tapi percuma. Bibir Brian kembali bergeriliya, menjelajahi setiap lekuk tulang selangkanya. Ketika tangan Brian yang lain bergerak akan melepaskan kancing piyama Sheila, pintu kamar terbuka lebar. Hal itu dijadikan kesempatan Sheila untuk mendorong tubuh Brian menjauh darinya. Brian hampir terjengkang, tapi ia tetap tersenyum.

"Mama, malam ini Elang tidur sama Mama ya?" Suara Elang dengan mata mengantuk, membuat Sheila berjalan mendekat ke anak semata  wayangnya itu. Meski detak jantungnya tadi belum stabil, Sheila berusaha untuk bersikap biasa saja di hadapan Elang. Sheila memeluk Elang, meredam gemuruh dalam dadanya.

"Kenapa sayang?" Tanya Sheila.

"Tadi Elang kebangun terus nggak bisa tidur lagi. Elang pengen tidur sambil dipeluk mama."

"Ya udah, sini tidur sama Mama."

Saat Elang berjalan menghampiri ranjang, Elang berhenti tepat sebelum sampai ke ranjang.

"Kenapa?" Tanya Sheila sambil mengikuti arah pandang Elang.

"Hai Elang." Karena merasa diperhatikan Brian menyapa dengan sedikit canggung.

Elang menoleh pada Sheila dan bertanya dengan polosnya.

"Ma, kenapa om Brian bisa ada di kamar mama?" Sheila menangkap kebingungan Elang. Sama seperti dirinya yang bingung dengan yang terjadi di hidupnya. Tentu saja Elang  bingung. Dirinya lupa kalau ia belum sempat memberitahu Elang perihal pernikahannya dengan Brian. Apalagi saat pernikahannya berlangsung, Elang sibuk mempersiapkan acara campingnya besok. Jadi yang Elang tahu, di rumah mamanya sedang ada acara tanpa tahu kalau acara tersebut adalah acara pernikahan.

Brian tahu Sheila tengah kebingungan menjelaskan statusnya pada Elang. Maka ia pun bangkit dari ranjang dan menghampiri Elang. Ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi Elang. Lalu ia menatap ke dalam mata Elang.

"Elang, Om Brian sekarang adalah papanya Elang," kata Brian mencoba mencari kata yang mudah dimengerti oleh anak seumuran Elang.

Sheila menatap tajam pada Brian. Dalam benaknya ia memaki sikap Brian yang terlalu tiba-tiba mengungkapkan identitasnya. Sheila hanya takut Elang belum bisa menerimanya.

"Kenapa om bisa jadi Papa Elang?" Tanya Elang polos.

"Karena om memang papanya Elang, Papa kandung Elang. Dan tadi Om sudah resmi menikah dengan mama kamu."

"Mama menikah sama Om Brian?"Elang masih terlihat bingung, dan Sheila mulai khawatir. Elang lalu melihat ke arah Sheila, meminta penjelasan.

Sheila ikut berjongkok di samping  Elang.

"Sayang, benar apa yang dibilang sama om eh papa Brian kalau papa Brian ini memang papa kandung kamu. Papa Brian ini papa Elang yang selama ini Elang tunggu."

Tidak ada reaksi dari Elang. Elang masih diam sambil bergantian memandang Sheila dan Brian. Perasaan Sheila mulai was-was. Perasaan Brian apalagi, sungguh tidak  bisa dibayangkan bagaimana perasaannya saat ini. Rasanya seperti ia tengah menunggu vonis dari hakim. Brian mungkin tidak akan sanggup jika Elang menolak dirinya, menolak keberadaannya. Mungkin ia akan menyalahkan dirinya sendiri selama sisa hidupnya.

Lalu terdengar isak tangis. Brian dan Sheila serempak melihat Elang yang sudah berlinang air mata.

"Ma, om Brian beneran Papa Elang?" Tanya Elang  diantara isakannya.

Sheila mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

"Papa yang selama ini Elang tunggu Ma?" Pertanyaan Elang kembali membuat Sheila mengangguk.

"Ini bukan mimpi kan ma? Elang sekarang beneran punya papa kan?"

"Bener sayang, kamu sekarang punya papa," jawab Sheila dengan suara tercekat.

"Mama nggak bohong kan?" Tanya Elang dengan isakannya.

"Nggak sayang, mama nggak bohong." Sheila mengerjap guna mencegah airmatanya jatuh.

Elang lalu beralih menatap mata Brian yang sudah memerah. Sungguh rasanya ia ingin menghajar dirinya sendiri melihat Elang saat ini.

" Om beneran Papa Elang?"

"Iya sayang," jawab Brian dengan suara tercekat. Lalu tanpa disangka oleh Brian, Elang memeluk dirinya erat. Isakan Elang semakin keras.

"Aku kangen banget sama papa. Makasih pa, karena sudah pulang. Makasih karena masih ingat sama Elang sama mama, hiks. Elang rindu sama Papa."

"Papa juga rindu sama Elang. Rindu sekali. Maafin papa ya karena lama nggak pulang." Air mata Brian tak bisa dibendung lagi, didekapnya putra semata wayangnya dengan penuh kasih sayang.

"Elang udah maafin papa asal papa nggak akan pergi lagi. Elang udah belajar giat biar pintar. Kata mama asal Elang jadi anak pintar dan nurut, papa bakalan pulang."

"Iya, papa nggak akan pergi kemana-mana lagi. Papa akan selalu bersama Elang dan mama."

"Papa."

"Iya sayang?"

"Papa."

"Cup cup cup." Brian tersenyum diantara tangisnya. Tangannya menepuk lembut punggung kecil Elang.

Sheila sudah tidak bisa lagi membendung tangisnya. Ia terharu melihat betapa Elang bahagia mendapatkan papanya kembali. Selama ini ia berjuang untuk memisahkan ayah dan anak tersebut tanpa tahu kalau Elang sangat merindukan figur seorang ayah.

🌼🌼
Tbc
Dahlah, bukannya air mata yg keluar makah ingusku yang keluar. Maaf.

Sorry ya lama update, sibuk ngurus keluarga soalnya.

Selalu jaga kesehatan dimanapun dan kapanpun. Semoga kita semua diberi kesehatan dan kesabaran.

Brian dan Sheila ( Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang